Di antara perkara yang wajib
diketahui dalam hal ini adalah menyikapi setiap permasalahan sesuai porsinya,
tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kurang dari kadar semestinya. Demikian
pula dalam hal menyikapi adanya perselisihan yang terjadi di kalangan para
Ulama. Ada perkara-perkara yang bisa ditolerir yang memerlukan sikap lapang dada
dalam menghadapi adanya khilaf tersebut, ada pula yang membutuhkan sikap tegas
bahkan sampai kepada tingkat memperingatkan umat dari bahayanya pendapat yang
keliru tersebut.
Nah, barangsiapa yang berpendapat bahwa masalah
khilafiyyah ijtihadiyyah tidak boleh ada pengingkaran atau tahdzir padanya maka
sungguh dia telah melakukan suatu kesalahan yang fatal. Seperti apa yang
disebutkan oleh al akh Firanda : “……..atau diterapkan pada perkara-perkara yang
sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr
seperti perkara-perkara yang merupakan masalah ijtihadiyyah”[2].
(Kaidah-Kaidah Penerapan Hajr
(Boikot) terhadap Ahli Bid’ah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah
(Menyikapi Sejumlah Kesalahan
Penerapan Hajr di Indonesia, penulis Al Akh Firanda Ibnu ‘Abidin Abu ‘Abdil
Muhsin as-Soronji, hal 8, tanpa penerbit [3] ).
Sungguh benar apa yang
dikatakan oleh seorang penyair :
ليس كل خلاف
جاء معتبرا إلا خلاف له حظ من النظر
“Tidak semua khilaf yang datang itu
bisa dianggap Kecuali jika khilaf tersebut memiliki sisi pandang”
Bila
kita telah memahami masalah ini, maka disaat kita mendapati adanya permasalahan
yang diperselisihkan di kalangan para Ulama, maka sikap pertama bagi seorang
muslim adalah menimbang masalah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan pemahaman Salafus Soleh.
Sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥۹﴾ [النساء:
٥۹]
Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. [QS An Nisaa: 59]
Dan firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا ﴿۳٦﴾
[الأحزاب: ۳٦]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [QS Al Ahzaab: 36]
Dan
firman-Nya:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٦٥﴾ [النساء:
٦٥]
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS
An Nisaa: 65]
Dan nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam perkara
ini masih sangat banyak. Maka jika muncul satu pendapat dari seorang alim
atau yang lainnya yang menyelisihi nash yang shorih (jelas), maka bukanlah hal
yang tercela apabila pendapat tersebut diingkari dan diperingatkan umat
(tahdzir), agar mereka menjauhi pendapat itu. Bahkan hal itu termasuk dalam
nasehat yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam
sabdanya:
(( الدين
النصيحة))
“Agama itu adalah
nasehat” (HR.Muslim dari Abu Ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-Dari Radiyallahu ‘anhu
).
Oleh karenanya masih saja para Ulama mengeluarkan bantahan-bantahannya
dan memperingatkan umat dari bahayanya mengambil suatu pendapat, yang telah
jelas menyelisihi apa yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassallam. Disini akan kami nukilkan beberapa contoh tentang apa yang kami
sebutkan:
1) Nikah mut’ah, yang telah jelas
haramnya berdasarkan dalil-dalil yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassallam bahwa beliau mengharamkannya. Saya kira tentang keharamannya bukanlah
perkara yang samar bagi kita sekalian, sehingga tidak perlu kita menyebutkan
dalil-dalilnya, namun itu bukan tujuan kita bahas disini. Namun yang perlu
diketahui bahwa di kalangan para ulama bahkan shahabat ada yang menghalalkannya,
sebagaimana yang telah tsabit dari Abdullah bin Abbas , diantara yang masyhur
berpendapat demikian adalah Ibnu Juraij Abdul Malik bin Abdil Aziz rahimahullah
Ta’ala. Lalu jika ada orang di zaman kita ada yang mau melakukan nikah mut’ah,
apakah kita tidak mengingkarinya? Apakah kita tidak mentahdzirnya? Dengan alasan
bahwa ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah - menurut bahasanya Al-Akh Firanda- ?
Tentunya orang yang sedikit pengetahuannya tentang kaidah-kaidah dalam manhaj
Salaf pun bisa menjawab hal ini.
2) Nikah dengan cara tahlil, yaitu
menikahi seorang wanita yang telah bercerai dengan suami pertamanya,yang
dimaksudkan -dengan menikahinya – diapun mencerainya, sehingga dia bisa kembali
kepada suami pertamanya. Atau telah terjadi kesepakatan diantara mereka bahwa
jika ia menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia harus mencerainya agar
dapat kembali ke suaminya yang pertama. Adapun jumhur para Ulama mengharamkan
pernikahan model ini. Berkata Umar : “Tidaklah ada orang yang didatangkan
kepadaku melakukan nikah tahlil melainkan akan aku rajam keduanya”. Namun
diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membolehkannya. Lalu jika ada orang yang
melakukannya pada hari ini, apakah anda tidak memberi peringatan (tahdzir) dari
pendapat tersebut - dengan alasan - masalah ini termasuk ijtihadiyyah
khilafiyyah ? Jawablah dengan jawaban seorang Salafi yang ikhlas dalam mengikuti
manhaj Salaf ! Silahkan lihat ucapan Syaikhul Islam tentang pembahasan nikah
tahlil dalam Majmu’ Fatawa : 20/266-dst Jilid 32/93 dan hal:96-97 serta di
tempat yang lainnya.
3) Jama’ah Tabligh, jama’ah
Shufiyyah, dimana para Ulama telah mentahdzirnya dan memberi peringatan darinya.
Hal ini adalah perkara yang sudah ma’ruf di kalangan kita sekalian. Akan tetapi
ternyata masih ada juga yang memberi pujian pada mereka, seperti Syaikh Abu
Bakar Jabir Al-Jazairi, bahkan mengarang sebuah kitab sebagai bentuk pujian
terhadap mereka yang akhirnya kitab tersebut dijadikan tameng oleh Jama’ah
Tabligh. Maka silahkan ditanyakan kepada Al-Akh Firanda –hadanallahu wa iyyah- :
“Apakah anda tidak mengingkari Jama’ah Tabligh dan mentahdzir darinya?” Atau
anda masih menganggap bahwa ini masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak
boleh ada pengingkaran dan tahdzir padanya ? Kalau anda memberi jawaban pertama,
maka anda telah merobohkan kaedah yang anda gunakan sendiri. Dan kalau anda
memilih jawaban yang kedua, maka anda perlu untuk mengintrospeksi kembali
terhadap manhaj anda.
4) Masalah demonstrasi. Baru-baru ini
ketika Syaikh Ali Hasan hafidzahullah berkunjung ke Makasar, dalam salah satu
pertemuan beliau ditanya tentang hukum berdemonstrasi. Beliaupun menjawab bahwa
ini termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para Ulama, walaupun yang rajih
menurut beliau adalah terlarang. Saya sendiri belum mengetahui siapa di kalangan
para Ulama Ahlus Sunnah yang membolehkan demonstrasi, namun kalaulah apa yang
disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan tersebut benar, apakah jika ada yang
membolehkan demonstrasi bahkan melakukannya, apakah tidak diperbolehkan
mentahdzir darinya dengan alasan bahwa ini termasuk masalah khilafiyyah
ijtihadiyyah? Kita tunggu jawaban dari Al-Akh Firanda.
5) Masalah haramnya musik. Kita
tentunya telah mengetahui berdasarkan banyak dalil baik dari Al-Qur’an maupun
As-Sunnah yang menjelaskan tentang diharamkannya musik. Dan ini adalah pendapat
jumhur dari kalangan para Ulama. Namun di kalangan para Ulama masih ada juga
yang menghalalkan, seperti Ibnu Hazm rahimahullah Ta’ala. Jika demikian
keadaannya, lalu tanyakanlah kepada al-akh Firanda: “Apakah anda tidak
mentahdzir dari musik karena termasuk masalah ijtihadiyyah
khilafiyyah?”.
6) Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb,
Salman dan Safar Hawali. Dimana para Ulama telah menjelaskan dan mentahdzir dari
kesesatannya, seperti Al-Allamah Al-Albani, Asy Syaikh Ibn Baaz dan Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahumullah Ta’ala. Bahkan telah dinyatakan bahwa mereka ini
tergolong diantara kaum Neo Khawarij. Namun bukankah Al-Akh Firanda juga
mengetahui bahwa masih ada juga yang membela mereka, seperti Syaikh Abdurrahman
Jibrin, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dan mungkin masih ada yang lainnya
yang ana tidak ketahui. Lalu silahkan tanyakan kepada Al-Akh Firanda: “Apakah
anda termasuk yang membela mereka atau yang mentahdzir ? Atau mungkin anda
memiliki jawaban rinci ?” Mungkin itu yang kita tunggu.
Saya kira
beberapa contoh ini sudah cukup mewakili yang lainnya, sebab masih banyak lagi
contoh yang disebutkan oleh para Ulama, diantaranya Syaikhul Islam dalam Majmu’
al-Fatawa dan Ibnu Qoyyim dalam kitabnya yang sangat bermanfaat, “A’laam
al-Muwaqqi’in”.
Bila hal ini telah kita pahami, maka sesungguhnya para
Ulama masih saja memperingatkan dari bahayanya suatu pendapat yang menyelisihi
dalil, walaupun di kalangan para Ulama ada yang berpendapat dengannya. Sebab
tidak seorang pun dari kalangan para ulama melainkan Ia memiliki zallah
(ketergelinciran/kekeliruan). Berkata Al-Auza’i rahimahullah Ta’ala:
(نجتنب أو نترك من قول أهل العراق خمسا ومن قول
أهل الحجاز خمسا من قول أهل العراق شرب المسكر والأكل في الفجر في رمضان ولا جمعة
إلا في سبعة أمصار وتأخير صلاة العصر حتى يكون ظل كل شيء أربعة أمثاله والفرار يوم
الزحف ومن قول أهل الحجاز استماع الملاهي والجمع بين الصلاتين من غير عذر والمتعة
بالنساء والدرهم بالدرهمين والدينار بالدينارين يدا بيد وإتيان السناء في
أدبارهن)
“Kita menjauhi atau meninggalkan lima
pendapat ulama Irak dan lima pendapat ulama Hijaz, “Diantara pendapat ulama Irak
adalah bolehnya minum yang memabukkan, makan di waktu fajar telah masuk di bulan
Ramadhan, tidak ada sholat Jum’at kecuali pada tujuh negeri, bolehnya
mengakhirkan sholat Ashar hingga bayangan sesuatu empat kali lipatnya, bolehnya
melarikan diri dari medan pertempuran.” Dan ucapan penduduk Hijaz yaitu:
“Bolehnya mendengarkan musik, menjamak antara dua sholat tanpa udzur, menikahi
wanita dengan nikah mut’ah, bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham dan
satu dinar ditukar dengan dua dinar secara kontan dan bolehnya menggauli wanita
lewat duburnya”.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifat Uluum
al-Hadits:65 dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam Sunannya: 10/211).
Beliau
rahimahullah juga mengatakan:
من أخذ
بنوادر العلماء خرج من الإسلام
“Barangsiapa yang mengambil pendapat
ganjil para ulama, maka dia keluar dari Islam” (diriwayatkan
Al-Baihaqi:10/211)
Juga berkata Ismail bin Ishaq Al-Qadhi:
من أباح
المسكر لم يبح المتعة ومن أباح المتعة لم يبح الغناء والمسكر وما من عالم إلا وله
زلة ومن جمع زلل العلماء ثم أخذ بها ذهب دينه
“(Ulama) yang membolehkan minum yang
memabukkan, dia tidak membolehkan nikah mut’ah. Dan Ulama yang membolehkan nikah
mut’ah, tidak membolehkan nyanyian dan yang memabukkan. Tidak seorang alim pun
melainkan dia memiliki ketergelinciran (kekeliruan, pen). Dan barangsiapa yang
mengumpulkan ketergelinciran para Ulama, maka akan hilang agamanya.”
(Diriwayatkan Al-Baihaqi:10/211).
Berkata pula Yahya bin Sa’id
Al-Qoththon rahimahullah Ta’ala:
لو أن رجلا عمل بكل رخصة : بقول أهل الكوفة في
النبيذ وأهل المدينة في السماع وأهل مكة في المتعة لكان فاسقا
“Kalaulah sekiranya seseorang
mengamalkan setiap rukhshah (yang ringan ) : “Pendapat ahli Kufah tentang nabidz
[4] , dan pendapat penduduk Madinah tentang musik, pendapat penduduk Makkah
tentang (nikah) Mut’ah, maka dia menjadi orang fasik.” (Aunul
Ma’bud:13/187)
Berkata Sulaiman At-Taimi:
لو أخذت برخصة كل عالم أو زلة كل عالم اجتمع فيك
الشر كله
“Jika engkau mengambil rukhshah
setiap alim atau kekeliruan setiap alim, maka telah berkumpul padamu setiap
kejelekan” (Musnad Ibnu Ja’ad:1319, Hilyah Al-Auliya’:3/323, Tadzkirotul
Huffadz:1/151)
Ibnu Hazm rahimahullah tatkala
menyebutkan tentang sedikitnya jumlah ijma’ yang tsabit, lalu beliau
berkata:
ولو أن امرأ لا يأخذ إلا بما اجتمعت عليه الأمة
فقط ويترك كل ما اختلفوا فيه مما قد جاءت فيه النصوص لكان فاسقا بإجماع
الأمة
“…Kalau sekiranya seseorang tidak
mengambil kecuali apa yang disepakati umat ini, lalu meninggalkan setiap apa
yang diperselisihkan padanya dari sesuatu yang telah datang padanya nash, maka
dia menjadi seorang yang fasik”. (Al-Ihkam,Ibnu Hazm:2/208).
Berkata
Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala tatkala beliau menjelaskan tentang batilnya
perbuatan hilah [5] : “Perkataan mereka, ‘Bahwa permasalahan khilaf tidak ada
pengingkaran atasnya’, tidaklah benar, sebab sikap pengingkaran ada kalanya
diarahkan kepada sebuah ucapan, fatwa atau amalan. Adapun yang pertama, maka
apabila ucapan tersebut menyelisihi Sunnah atau ijma’ yang masyhur, maka wajib
mengingkarinya berdasarkan kesepakatan. Jika tidak demikian (maksudnya tidak ada
kesepakatan-pen) maka menjelaskan kelemahannya dan penyelisihannya terhadap
dalil, maka tetap ada pengingkaran yang semisalnya. Adapun suatu amalan, maka
apabila menyelisihi Sunnah atau ijma’, maka wajib mengingkarinya berdasarkan
tingkatan-tingkatan dalam mengingkari. Lalu bagaimana mungkin seorang faqih
menyatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran terhadap berbagai masalah yang
diperselisihkan, sementara para fuqoha’ dari seluruh golongan telah menyatakan
dengan jelas bahwa akan dibatalkannya keputusan hukum seorang hakim, jika
menyelisihi al-Kitab atau as-Sunnah walaupun telah disetujui oleh sebagian
ulama. Adapun bila dalam permasalahan tersebut tidak ada Sunnah, atau ijma’, dan
ijtihad diperbolehkan padanya. Maka tidak diingkari orang yang melakukannya
karena berijtihad atau bertaqlid. Dan sesungguhnya munculnya pengkaburan ini
disebabkan karena orang yang mengatakannya meyakini bahwa permasalahn khilaf itu
adalah masalah ijtihad, sebagaimana yang disangka oleh beberapa orang dari
kalangan manusia yang tidak memiliki sifat tahqiq (pengecekan secara benar)
dalam berilmu.
Yang benar adalah apa yang diyakini
oleh para imam bahwa permasalahan ijtihad selama tidak ada dalil yang wajib
diamalkan secara dzahir, seperti hadits yang shohih yang tidak ada yang
menyelisihinya, maka diperbolehkan padanya –jika tidak ada dalil yang zhahir
yang wajib diamalkan- berijtihad, sebab adanya dalil-dalil yang terlihat saling
bertentangan serta karena terkaburkannya dalil-dalil didalamnya. Dan pada ucapan
seorang alim, “Sesungguhnya masalah ini qoth’i atau yaqini dan tidak
diperbolehkan padanya ijtihad, bukanlah merupakan cercaan terhadap yang
menyelisihinya ,tidak pula dinisbahkan kepadanya bahwa dia sengaja menyelisihi
kebenaran. Sementara permasalahan yang diperselisihkan padanya oleh Ulama Salaf
maupun khalaf, dalam keadaan kita telah meyakini kebenaran salah satu dari dua
pendapat tersebut, banyak...”
Lalu beliau menyebutkan sekian banyak
contoh dalam hal ini, setelah itu beliau mengatakan, “Yang jelas, tidak ada
udzur di sisi Allah Azza wa Jalla pada hari Kiamat bagi siapa yang telah sampai
kepadanya apa yang terdapat dalam suatu permasalahan,baik masalah ini atau yang
lainnya, berupa hadits-hadits dan atsar yang tidak ada yang menyelisihinya, jika
dia melemparnya di belakang punggungnya, lalu dia taqlid pada orang yang
dilarang untuk taqlid kepadanya dan yang telah mengatakan kepadanya, “Tidak
halal bagimu untuk mengikuti ucapanku jika menyelisihi Sunnah. Maka jika telah
shohih suatu hadits, maka jangan engkau pedulikan ucapanku”. Kendatipun dia
tidak mengatakan itu kepadamu, maka sesungguhnya itu adalah suatu hal yang wajib
yang tidak ada pilihan lain bagimu. Bahkan kalaupun dia mengatakan kepadamu
selain itu, maka tidak ada leluasa bagimu kecuali mengikuti hujjah. Kalau saja
dalam masalah ini tidak terdapat hadits dan atsar sama sekali, maka sesungguhnya
seorang mukmin mengetahui secara pasti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassallam tidak pernah mengajari para shahabatnya cara hilah seperti ini dan
tidak pula membimbing kepadanya, ‘kalaulah sekiranya sampai kepadanya berita
bahwa ada seseorang melakukannya niscaya akan diingkarinya’. Dan tidak pernah
seorang pun dari para shahabat yang memfatwakannya dan tidak pula
mengajarkannya. Sebab yang demikian termasuk perkara yang dipastikan oleh setiap
orang yang sedikit menelaah tentang keadaan mereka, sejarah kehidupan mereka dan
fatwa-fatwanya. Hal ini tidaklah membutuhkan dalil lebih dari sekedar mengetahui
hakekat agama yang Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya dengannya.” (A’laam
al-Muwaqqi’in,Ibnul Qoyyim:3/300-301)
Footnote : 2. Dalam
ucapan ini ada dua permasalahan yang perlu pembahasan: masalah mengingkari dan
tahdzir dari permasalahan khilafiyah dan yang kedua adalah masalah hajr. Untuk
edisi ini kita hanya membahas bagian pertama.
3. Buku ini saya dapatkan
foto kopinya dari Al-Akh Al-Ustadz Ibnu Yunus hafidzahullah. Dan saya tidak
memiliki bukunya yang sudah dicetak.
4. Sejenis tape dari korma
atau anggur atau yang lainnya yang disimpan pada sebuah tempat lalu dibiarkan
dalam waktu beberapa lama yang dapat menyebabkan ia menjadi sesuatu yang
memabukkan.
5. Hilah adalah jenis
khusus dari suatu amalan yang mana pelakunya berpindah dari satu keadaan menuju
kepada keadaan lainnya. Biasanya dilakukan untuk mengaburkan sesuatu yang
terlarang baik secara syari’at, akal ataukah kebiasaan.(A’laam
Al-Muwaqqi’in,Ibnul Qoyyim: 3/252). Dengan kata lain hilah adalah mengamalkan
muamalah dengan cara yang terlarang dengan cara yang samar, yang tidak ada yang
mengetahui keharamannya kecuali orang memperhatikannya secara
seksama.
|