Anak, Antara Harapan
dan Impian
Penulis: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Sungguh, tiada mampu terperikan bila Al-Qur`an
ditinggalkan. Orangtua pun lalai dari zikir (mengingat) Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Rumah dipenuhi dengan suara hiruk pikuk tetabuhan musik, dendang nasyid
nan memabukkan jiwa, dan tembang lagu yang membangkitkan syahwat. Apatah lagi
yang bisa diharapkan dari rumah yang sarat racun yang mematikan qalbu. Dahsyat!
Ini merupakan upaya sistematis dari kalangan setan untuk memalingkan anak
sehingga ternodai fitrahnya.
Sebagai insan beriman, selaiknya untuk tiada
henti-henti menabur rasa syukur dalam hidupnya. Syukur, atas beragam nikmat dan
karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepadanya. Betapa banyak
curahan nikmat dan karunia yang direguk, tiadalah diri mampu untuk membilangnya.
Ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya: وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan
jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(An-Nahl: 18) Bagi insan beriman yang pandai mensyukuri nikmat, tentulah
Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak menambah kenikmatan itu. Ini sebagaimana telah
Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan: وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Dan
(ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7) Juga,
bagi insan beriman yang secara cerdas menyikapi kucuran beragam nikmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dirinya kelak memperoleh keberuntungan, kesuksesan, dan
kemenangan. Firman-Nya: فَاذْكُرُوا ءَالاَءَ اللهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ “Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Al-A’raf: 69) Satu dari beragam nikmat yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah anak.
Firman-Nya: وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُونَ “Allah
menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu
dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari
yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari
nikmat Allah?” (An-Nahl: 72) Firman-Nya: لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ
يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ
يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit
dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak
perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada
siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan
perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa
yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
(Asy-Syura: 49-50) Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan segala
sesuatu atas manusia. Termasuk dalam pemberian anak. Maka, segala nikmat yang
ada pada manusia, semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman: وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ “Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl:
53) Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu membagi nikmat ke dalam dua
bagian. Pertama, an-ni’mah al-muthlaqah. Yaitu kenikmatan yang bisa
mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Seperti nikmat dalam berislam dan
mengikuti As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk memohon
meraup nikmat ini. Memohon agar mendapat hidayah untuk menempuh jalan
orang-orang yang meraih nikmat ini: وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ
رَفِيقًا “Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu
nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih.
Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69) Kedua, an-ni’mah
al-muqayyadah. Yaitu kenikmatan yang digambarkan seperti nikmat memperoleh
kesehatan, kekayaan, kekuatan jasad, kedudukan, banyak anak dan memiliki para
istri yang baik, serta nikmat-nikmat yang sejenis. Kenikmatan semacam ini
diberikan kepada orang yang berbuat kebaikan, juga kepada orang yang berbuat
kemaksiatan, mukmin maupun kafir. Kenikmatan seperti di atas, bila diberikan
kepada orang kafir, merupakan bentuk istidraj (dalam bahasa Jawa: dilulu) dengan
kenikmatan itu, mengarahkan dirinya kepada azab, petaka. Hakikatnya dia tidak
memperoleh nikmat, tapi sesungguhnya dirinya memperoleh bala (sesuatu yang bisa
menyusahkan). Firman-Nya: فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ
فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا
ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ “Adapun
manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya
mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku’.”
(Al-Fajr: 15-16) [Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah, hal. 33] Kata Ibnu Katsir
rahimahullahu bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (dalam ayat di atas)
sebagai bentuk pengingkaran terhadap orang yang berkeyakinan apabila Allah
Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rizkinya berarti dirinya mendapat kemuliaan.
Padahal tidak demikian. Bahkan hal itu merupakan bentuk bala dan ujian.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan: أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا
نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ(55)نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل
لَا يَشْعُرُونَ “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami
berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”
(Al-Mu`minun: 55-56) Demikian pula sebaliknya, apabila mengalami bala, ujian
dan kesempitan rizki, dirinya berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menghinakannya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: كَلاَّ (Sekali-kali tidak
demikian). Permasalahannya tidaklah seperti yang dia yakini. Tidak seperti ini
dan tidak seperti yang ini pula. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan harta kepada siapa yang Dia suka dan yang tidak Dia suka.
Menyempitkan harta kepada yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Sesungguhnya
titik pijak dari itu semua adalah ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam (menyikapi) dua keadaan: apabila dia sebagai orang yang berkecukupan
(kaya), hendaknya dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas yang
demikian ini. Apabila dia fakir, hendaknya menyikapinya dengan sabar.” (‘Umdatut
Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibni Katsir, Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu,
3/683) Karenanya, seseorang yang telah dikaruniai anak hendaknya menjaga anak
tersebut agar tidak menghadirkan bala dan malapetaka. Kehadirannya tidak menjadi
fitnah (ujian) yang menyeret orangtuanya kepada sesuatu yang dimurkai Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan
bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian). إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ
وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya harta
dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
(At-Taghabun: 15) Maksud ayat ini, harta dan anak adalah bala (sesuatu yang
bisa menyusahkan), ujian dan cobaan yang membawamu ke arah perbuatan yang haram
dan menghalangi dari hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, janganlah menaati
mereka dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Qadir,
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, 5/317) Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga diri, istri dan anak-anaknya
dari api neraka. Membimbing dan mengarahkan mereka untuk menetapi apa yang telah
disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bagian dari kewajiban
memberikan pendidikan terhadap anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim:
6) Dari Abdullah bin ‘Umar c, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَأَمِيرُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap diri kamu adalah pemimpin, maka dia bertanggung
jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir (penguasa) yang membawahi
rakyatnya adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang
suami adalah pemimpin atas penghuni rumahnya (keluarga) dan dia bertanggung
jawab terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan
anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang budak adalah
pemimpin atas harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadapnya. Ingatlah,
tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap
yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829) Islam
mendorong setiap pemeluknya, dalam hal ini para orangtua, untuk memenuhi
kewajibannya dalam mendidik anak. Islam tak menghendaki kehidupan generasi ke
depan diliputi keterpurukan akidah, melemahnya iman, dan ketiadaan paham
terhadap syariat. Sesungguhnya seorang yang beriman yang memiliki kekokohan iman
tentu lebih baik dan lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang
lemah. Abu Hurairah z mengungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ
مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai
Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664) Menurut Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, yang dimaksud ‘mukmin yang kuat’
yakni (kuat) dalam keimanannya. Bukan kuat dari aspek fisik (tubuh). Karena,
kekuatan tubuh seseorang bisa mendukung pada sesuatu yang berbahaya bila
kekuatan itu digunakan untuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kekuatan
tubuh sendiri, secara zat, tidaklah dikategorikan sebagai satu hal yang terpuji
atau tercela. Bila seseorang menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat di
dunia dan akhirat, maka jadilah kekuatan tubuh itu sebagai suatu yang terpuji.
Adapun bila difungsikan guna membantu dalam kemaksiatan kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, maka kekuatan tubuh itu menjadi satu hal tercela. Maka, kekuatan yang
dimaksud dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ bermakna قَوِيُّ الْإِيْمَانِ (kuat iman). Sebab kata
الْقَوِيُّ kembali kepada sifat yang mendahuluinya yaitu kata al-iman. Seperti
perkataan الرَّجُلُ الْقَوِيُّ (laki-laki yang kuat), artinya laki-laki itu
perkasa (jantan). Begitu juga dengan kalimat الْمَؤْمِنُ الْقَوِيُّ yaitu kuat
dalam masalah keimanannya. Sesungguhnya seorang mukmin yang kuat, kokoh, tangguh
keimanannya akan mengarahkannya untuk menegakkan kewajiban yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala embankan pada dirinya. Pun dirinya akan menambah dengan
amalan-amalan nawafil (sunnah), dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala
tentunya. Sedangkan bila diliputi dengan lemah iman, kelemahan imannya tak akan
menghasung dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang wajib serta meninggalkan
perkara-perkara yang diharamkan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/318) Tak bisa
diabaikan peran strategis orangtua dalam mencelup sosok anak menjadi insan
beriman. Memiliki fitrah bertauhid yang tetap terjaga. Tidak terjerembab, jatuh
dalam beragam penyimpangan. Sebagaimana dimaklumi, anak yang lahir ke alam fana
ini telah memiliki fitrah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia diciptakan
dalam keadaan di atas tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لاَ يَعْلَمُونَ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30) وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ
الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ
فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ “Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka
menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.”
(Al-A’raf: 172) Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan
bahwa penetapan tentang rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengarahkan anak
kepadanya merupakan perkara yang bersifat fitrah. Adapun kesyirikan merupakan
sesuatu yang baru (ada setelah anak berinteraksi dengan lingkungan atau
terpengaruh pendidikan, pen.). Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda: كُلُّ مَوْلُودٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah. Maka, kedua orangtuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari
no. 1384, dan Muslim no. 2658, dari hadits Abu Hurairah z) Lebih lanjut,
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menyatakan bahwa lantaran pendidikan
yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng, terjadilah perubahan arah
(dalam penetapan tauhid) pada diri anak. Dari sanalah anak melakukan bentuk
taklid (melakukan proses imitasi/ meniru) pada orangtua mereka dalam kesesatan
dan penyelewengan. (‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 28) Faktor bi`ah (lingkungan,
termasuk di antaranya lingkungan keluarga) memiliki pengaruh yang besar terhadap
tumbuh kembang anak. Keluarga yang harmonis, sehat dan senantiasa mendapat
siraman nilai-nilai syariat, akan memberi pengaruh positif yang luar biasa
terhadap pendidikan anak. Sebaliknya, keluarga yang buruk umumnya memberi
pengaruh yang buruk pula pada pendidikan anak. Maka, peran orang tua memberikan
kontribusi yang besar bagi pendidikan anak. Sebab, bila sebuah keluarga baik,
maka kebaikan itu akan memberi pengaruh kepada anak. Biidznillah, dengan izin
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya, keshalihan dan amal shalih orangtua
sangat besar pengaruhnya dalam membentuk sosok kepribadian anak yang shalih.
Sebaliknya, kehampaan dari amal shalih dan perilaku buruk dari orangtua justru
bisa menghancurkan pendidikan anak. Bahkan tak hanya itu. Keadaan orangtua yang
semacam ini bisa mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menjauhkan berkah
dari-Nya. Memupus sakinah (ketenangan) di dalam rumah. Maka, sikap shalih dan
giat beramal shalih dari orangtua merupakan suluh yang memercikkan seberkas
cahaya bagi pendidikan anak. Betapa tidak. Bukankah orangtua yang senantiasa
membaca Al-Qur`an, membaca surat Al-Baqarah, al-mu’awwidzat dan lainnya, bisa
mendatangkan sakinah, rahmah dan menjadikan para setan lari? Dari Abu
Hurairah z, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَمَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ
وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ
فِيْمَنْ عِنْدَهُ “Dan tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu dari
rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mempelajarinya di
antara mereka, kecuali akan turun atas mereka sakinah, tercurah atas mereka
rahmah, para malaikat pun mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka
pada siapa yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699) Juga berdasar hadits
dari Abu Hurairah z, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ
مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ “Janganlah kalian
jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah
yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780) Sungguh,
tiada mampu terperikan bila Al-Qur`an ditinggalkan. Orangtua pun lalai dari
zikir (mengingat) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rumah dipenuhi dengan suara hiruk
pikuk tetabuhan musik, dendang nasyid nan memabukkan jiwa, dan tembang lagu yang
membangkitkan syahwat. Apatah lagi yang bisa diharapkan dari rumah yang sarat
racun yang mematikan qalbu. Dahsyat! Ini merupakan upaya sistematis dari
kalangan setan untuk memalingkan anak sehingga ternodai fitrahnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا
شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ
الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا
يَفْتَرُونَ “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
(Al-An’am: 112) Maka, tatkala rumah hampa dari zikir, di situlah setan
bercokol. Setan mengembuskan pertikaian, permusuhan, dendam kesumat,
ketidakharmonisan, kegalauan, dan sekian banyak keburukan lainnya. Tak ada
berkah dan sakinah. Bagaimanakah anak akan bisa tumbuh manis dalam suasana rumah
seperti ini? Nas`alullah al-’afiyah. Sekali lagi, keshalihan dan amal shalih
orangtua sangat memberi pengaruh bagi anak. Telisiklah, bagaimana kisah Musa dan
Khidhir ‘alaihissalam kala tiba di tengah penduduk suatu negeri. Mereka minta
dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tak mau menjamu
keduanya. Lantas, keduanya mendapati dinding rumah yang nyaris roboh, maka
Khidhir menegakkan dinding itu. Musa pun berkata kepada Khidhir: قَالَ لَوْ
شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا “Musa berkata: ‘Kalau engkau mau,
niscaya engkau mengambil upah untuk itu’.” (Al-Kahfi: 77) Perihal peristiwa
ini, Khidhir pun memberitahu kepada Musa: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ
لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا
وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي
ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا “Adapun dinding rumah itu
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta
benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah keduanya adalah seorang yang
shalih. Maka Rabbmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi:
82) Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, bunyi ayat: وَكَانَ أَبُوهُمَا
صَالِحًا “Ayah keduanya adalah seorang shalih.” merupakan dalil bahwa
seorang yang shalih akan dijaga keturunan-keturunannya, termasuk keberkahan
ibadahnya bagi anak-anaknya di dunia dan akhirat dengan syafaatnya kepada
mereka. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/121) Hal yang sama diungkapkan pula
oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu, bahwa sungguh
(bagi) hamba yang shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaganya dan menjaga
anak-anaknya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 521) Ini merupakan berkah dari
keshalihan orangtua, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara dan merahmati
anak-anaknya. فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا
كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ “Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai
kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82) Sebagai orangtua atau pendidik dituntut untuk
senantiasa mengarahkan dan membimbing anak. Segenap upaya dikerahkan agar
memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Tak semata kemampuan intelektual yang
ingin dicapai, seperti banyaknya menyerap hafalan, ilmu dan lain-lain. Namun,
ingin dicapai pula pembentukan kepribadian yang tersinari nilai-nilai akhlak
Islami, akidah yang murni dan ibadah yang baik. Keadaan semacam ini adalah
sesuatu yang idealis dan menjadi harapan semua pihak. Tapi pada kenyataannya,
sebagai orangtua atau pendidik dihadapkan pada satu kasus yang di luar keinginan
dan harapannya. Anak yang dicitakan mampu menyerap dan mengamalkan nilai-nilai
Islam ternyata memendam sejumput masalah. Perilakunya senantiasa mengundang
masalah. Ada saja ulahnya yang tiada terpuji. Bagi orangtua atau pendidik,
selain harus tetap berupaya membimbing, mengarahkan dengan berbagai nasihat,
juga tidak lupa untuk selalu memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagai orangtua atau pendidik harus meyakini sepenuhnya bahwa yang memberi
hidayah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah
yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah
orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 178) فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ
وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ “Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8) Hadits
dari Sa’id bin Al-Musayyab, dari ayahnya, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,
mengungkapkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak memiliki daya
untuk memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib. Sehingga
pamannya mati dalam kekafiran. Maka turunlah ayat: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada
orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (Al-Qashash: 56) Kisah ini bisa dilihat dalam Shahih Al-Bukhari,
hadits no. 4772. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah memerinci masalah
hidayah menjadi dua macam. Pertama, al-huda (petunjuk) dengan makna ad-dalalah
(tuntunan) dan al-bayan (penjelasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى
الْهُدَى “Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi
mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu.” (Fushshilat:
17) Kedua, al-huda (petunjuk) dengan makna at-taufiq dan al-ilham. Inilah
yang tidak ada pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada
kekuasaan pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk memberi hidayah)
kecuali (hidayah ini dari) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana
firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56) [Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hal.
8-9) Dengan memahami dan meyakini masalah hidayah ini, setidaknya bisa
melecut diri untuk senantiasa bersabar dalam menunaikan kewajiban mendidik anak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ
لِلْمُتَّقِينَ “Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah
bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49) Pendidik (orangtua) harus tetap
gigih mengarahkan, membimbing, menuntun dan memberi keteladanan pada anak.
Mudah-mudahan dengan segenap upaya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah
dan taufiknya kepada anak. Semoga. Wallahu
a’lam. http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=699
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar