Fatwa Ulama’ Sunnah tentang Demonstrasi & Mogok Makan
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah
menetapkan bahwa seseorang tidak boleh memberontak kepada pemerintah,
membangkang, durhaka, menyebarkan aibnya, baik lewat majalah, mimbar,
pertemuan (majelis), dan lainnya, karena hal itu akan menimbulkan
kerusakan; menyebabkan masyarakat tidak lagi segan, hormat, dan cinta kepada
pimpinannya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا
يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا
فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang melihat sesuatu ia benci
dari pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar atasnya, karena barang siapa yang
meninggalkan jama’ah dengan sejengkal, lalu ia mati, kecuali ia akan mati
seperti matinya orang jahiliyyah”. [HR. Al-Bukhariy
dalam Shohih-nya (13/5), Muslim dalam
Shohih-nya (3/1477), Ahmad dalam
Al-Musnad (1/275), dan lainnya]
Hadits ini menjelaskan bahwa seorang tidak boleh
durhaka kepada pemerintah, walaupun dalam perkara yang dianggap
"sepele", karena yang sepele kadang jadi besar, parah, dan
rawan. Berangkat dari hadits ini, para ulama kita mengharamkan demonstrasi,
karena demo merupakan salah satu bentuk kedurhakaan, dan pembangkangan kepada
pemerintah yang dilarang keras oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
. Karena banyaknya yang menyangka demo adalah perkara boleh,
maka kami turunkan berikut ini fatwa-fatwa para ulama’ kaum muslimin dari
kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menjelaskan haramnya demonstrasi:
Fatwa Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz
Ibn Baz-rahimahullah Ta’ala-
Beliau –rahimahullah– berkata, “Cara
yang bagus merupakan sarana terbesar diterimanya kebenaran. Sedang cara yang
keliru dan kasar merupakan sarana yang paling berbahaya ditolaknya dan tidak
diterimanya kebenaran, atau bisa mengobarkan kekacauan, kezhaliman, permusuhan,
dan saling menyerang. Dikategorikan dalam permasalahan ini apa yang dikerjakan
oleh sebagian orang berupa demonstrasi yang menyebabkan keburukan yang banyak
bagi para da’i. Maka berkonvoi di jalan-jalan dan berteriak bukanlah
merupakan jalan untuk memperbaiki dan dakwah. Jadi, cara yang benar
adalah dengan menziarahi (pemerintah), menyuratinya dengan cara yang bagus.
Nasihatilah para pemimpin, pemerintah, dan kepala suku dengan metode seperti
ini. Bukan dengan cara kekerasan dan demonstrasi. Nabi –Shollallahu alaihi
wasallam- ketika tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau tidaklah pernah
menggunakan demonstrasi dan berkonvoi, serta tidak mengancam orang lain untuk
menghancurkan harta-bendanya, dan membunuh mereka. Tak ragu lagi, cara ini akan
membahayakan dakwah dan para da’i, akan menghalangi tersebarnya dakwah, membuat
para pemimpin teras memusuhinya dan melawannya dengan segala yang mungkin bisa
dilakukannya. Mereka (para pelaku demo) menginginkan kebaikan dengan cara
seperti tersebut, akan tetapi malah terjadi yang sebaliknya. Maka hendaknya
seorang da’I ilallah menempuh jalannya para rasul dan pengikutnya, sekalipun
memakan waktu yang panjang. Itu lebih utama dibandingkan perbuatan yang
membahayakan dan mempersempit (ruang gerak) dakwah, atau dihabisi. Walaa haula
walaa quwwata illa billah”. [Lihat Majallah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah, edisi ke-38, (hal.310)]
Beliau -rahimahullah- pernah ditanya,
“Apakah demonstrasi yang dilakukan oleh kaum pria dan wanita melawan pemerintah
bisa dianggap termasuk sarana dakwah? Apakah orang yang meninggal di dalamnya
dianggap mati syahid?”
Maka beliau –rahimahullah- memberikan
jawaban: “Saya tidak memandang demonstrasi yang dilakukan para kaum hawa dan
juga oleh kaum Adam sebagai suatu solusi . Akan tetapi itu merupakan sebab
timbulnya fitnah (baca: musibah), keburukan, sebab dizholiminya sebagian orang,
dan melampaui batas atas sebagian orang tanpa haq. Akan tetapi, cara-cara yang
syar’i (menasihati pemerintah) adalah dengan cara menyurat, menasihatinya, dan
mendakwahinya menuju kepada suatu kebaikan dengan cara damai. Demikianlah yang
ditempuh paara ulama’. Demikianlah para sahabat Nabi-Shollallahu alaihi
wasallam- dan para pengikut mereka dalam kebaikan.Cara mereka menasihati dengan
menyurat dan berbicara langsung dengan orang yang bersalah, pemerintah, dan
penguasa. Dengan cara menghubunginya, menasihatinya, dan menyuratinya, tanpa
membeberkan aibnya di atas mimbar-mimbar dan tempat-tempat lainnya (dengan
berteriak): “Pemerintah Fulan melakukan begini dan begini, lalu hasilnya
begini dan begini !! ”, Wallahul Musta’an”. [ Simak Kaset :
Muqtathofaat min Aqwaal Al-Ulama’ ]
Demonstrasi bukanlah uslub (cara)
berdakwah yang benar. Bukan seperti yang dikatakan oleh seorang da’i hizbi,
Safar Al-Hawaly. Dia berkata dalam kasetnya yang berjudul
“Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah” (no.185),
”Sesungguhnya demonstrasi yang dilakukan oleh kaum
wanita merupakan salah satu di antara uslub (cara) berdakwah dan memberikan
pengaruh”.
Senada dengan ini, A’idh Al-Qorny
berkata, “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sungguh telah keluar di Al-Jaza’ir dalam satu hari 700.000 wanita muslimah yang
berhijab menuntut ditegakkannya syari’at Allah”.
Adapun Salman bin Fahd Al-Audah,
maka tak jauh beda dengan kedua temannya tadi. Dia berkata dalam kaset
“Lin Nisaa’ Faqoth”, ”Sungguh
kita telah mendengar di beberapa negara lain suatu berita yang menggembirakan
adanya kembali (kesadaran) yang jujur-khususnya di kalangan pemudi- kepada
Allah. Setiap orang dengar adanya demonstrasi lantang di al-Jaza’ir. Sedangkan
pemimpinnya adalah sekelompok wanita. Jumlah mereka lebih dari ratusan ribu
orang”.
Syaikh Abdul Malik Al-Jaza’iry
- Hafizhahullah – berkata dalam
mengkritik kekeliruan tiga orang di atas, “Demi Allah, Sesungguhnya
urusan mereka ini benar-benar aneh! Tidaklah pernah dibayangkan kalau Jazirah
Arab –setelah adanya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- akan melahirkan
orang-orang semacam mereka!? Apakah setelah kehidupan yang dihiasi dengan
menjaga kehormatan yang dijaga oleh kaum muslimin Jazirah, akan datang Safar,
Salman, dan Al-Qorny ke hadapan para wanita untuk mengeluarkan mereka dari rumah
kemuliaan mereka dengan memperbanyak jumlah dan kekuatan dengan para wanita!?
Safar menjelaskan pengaruh yang dalam ketika keluarnya para wanita tsb untuk
berdemo, sedang Al-Qorny menguatkannya dengan sumpah!! Sedang Salman
membangkitkan semangat mereka agar tetap bersabar menghadapi tank-tank. Duh,
Alangkah anehnya agamanya!”. [Lihat Madarik An-Nazhor
(hal.419-420), cet. Dar Sabiil Al-Mu’minin.]
Apa yang dinyatakan oleh tiga orang ini jelas
salah, karena menasihati pemerintah adalah dengan secara rahasia dan tersembunyi
seperti menziarahinya, menyuratinya, menelponnya, atau menghubunginya lewat
temannya,dan semacamnya, sebab inilah merupakan prinsip dakwah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Nabi-Shollallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ
بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ
بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ
لَهُمَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ
عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ
فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa yang ingin menasihati seorang
penguasa, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi
hendaknya ia mengambil tangannya, dan berduan dengannya. Jika ia terima, maka
itulah (yang diharap). Jika tidak, maka ia telah melaksanakan keawjiban atas
dirinya ”.[HR.Ibnu Abi Ashim dalam
As-Sunnah (1096). Syaikh Al-Albany -rahimahullah-
berkata dalam Zhilal Al-Jannah (hal.514),
“Sanadnya shohih”] .
Fauzy bin Abdillah
Al-Atsary -hafizhahullah- berkata,
”Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemerintah dengan cara rahasia,
bukan dengan cara terang-terangan, dan bukan pula membeberkan aibnya di atas
mimbar-mimbar, pesta-pesta, masjid-masjid, koran-koran, majalah dan lainnya
sebagai suatu nasihat”. [Lihat: Al-Ward
Al-Maqthuf (hal.66)]
-
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin –rahimahullah-
Beliau –rahimahullah Ta’ala – ditanya:
“Apakah Demonstrasi bisa dianggap sarana dakwah yang disyari’atkan?”
Beliau menjawab, “Alhamdu lillahi Rabbil
alamin wa shollallahu ala Sayyidina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam
wa man tabi’ahum bi ihsan ilaa yaumiddin. Amma ba’du: Sesungguhnya demonstrasi
merupakan perkara baru, tidaklah dikenal di zaman Nabi –shollallahu alaihi
wasallam-, dan para sahabatnya –radhiyallahu anhum-. Kemudian di dalamnya
terdapat kekacauan dan huru-hara yang menjadikannya perkara terlarang, dimana
didalamnya terjadi pemecahan kaca-kaca, pintu-pintu, dan lainnya. Juga terjadi
padanya ikhtilath (campur-baur) antara pria dan wanita, orang tua dan anak muda,
dan sejenisnya diantara kerusakan dan kemungkaran. Adapun masalah tekanan atas
pemerintah. Jika pemerintahnya muslim, maka cukuplah bagi mereka sebagai
penasihat adalah Kitabullah Ta’ala, dan Sunnah Rasul –Shollallahu alaihi
wasallam-. Ini adalah sesuatu terbaik disodorkan kepada seorang muslim. Jika
pemerintahnya kafir, maka jelas mereka tak akan memperhatikan para peserta
demonstrasi. Pemerintah tersebut akan “bermanis muka” di depan mereka, sementara
itu hanyalah merupakan kejelekan yang tersembunyi di batin mereka. Karenanya,
kami memandang bahwa demonstrasi merupakan perkara mungkar
!!Adapun alasan mereka: “Demo inikan aman-aman saja”.
Memang terkadang aman-aman saja di awalnya atau pertama kalinya, lalu kemudian
berubah menjadikan perusakan. Aku nasihatkan kepada para pemuda agar mereka mau
mengikuti jalannya Salaf. Karena Allah –Subhanahu wa Ta’ala- telah memuji para
sahabat Muhajirin dan Anshor, serta juga orang-orang yang mengikuti mereka dalam
kebaikan”. [Lihat Al-Jawab Al-Abhar(hal.75) karya
Fu’ad Siroj]
Fatwa Fadhilah Asy-Syaikh Al-Allamah
Sholeh bin Ghoshun-rahimahullah- Fadhilah Asy-Syaikh Al-Allamah Sholeh
bin Ghoshun -rahimahullah-
berkata,
“Jadi seorang da’I, orang yang memerintahkan
kebaikan, dan melarang dari kemungkaran, wajiblah bagi dirinya untuk menghiasi
dirinya dengan kesabaran, mengharapkan pahala dan ganjaran (di sisi Allah),
menanggung segala sesuatu yang ia dengarkan atau terkadang ia dicemooh dalam
dakwahnya. Adapun seorang da’I menempuh cara kekerasan, atau dia -wal’iyadzu
billah- menempuh cara dengan menyakiti manusia, mengganggu orang, atau menempuh
cara perselisihan dan pertengkaran, dan memecah belah kesatuan. Ini merupakan
perkara-perkara setan. Dia adalah prinsip dakwah Khawarij. Inilah prinsip dakwah
Khawarij !! Mereka itulah yang mengingkari kemungkaran dengan senjata,
mengingkari sesuatu perkara-perkara yang mereka anggap tidak boleh dan
menyelisihi keyakinan mereka dengan cara perang, menumpahkan darah, mengkafirkan
orang, dan beberapa perkara lain. Maka bedakanlah antara dakwah para sahabat
Nabi-Shollallahu alaihi wasallam- dan Salafush Sholeh dengan dakwah Khawarij dan
orang yang menempuh manhaj (jalan hidup) mereka, dan menjalani jalan mereka.
Dakwahnya para sahabat dengan cara hikmah, nasehat, menjelaskan kebenaran,
dengan penuh kesabaran, dengan berhias kesabaran, dan mencari pahala dan
ganjaran. Sedangkan dakwah Khawarij dengan cara membunuh manusia, menumpahkan
darah mereka, mengkafirkan mereka, memecah-belah kesatuan, dan merobak-robek
barisan kaum muslimin. Ini adalah perbuatan-perbuatan keji dan bid’ah.
Sepantasnya orang-orang yang mengajak kepada perkara-perkara seperti ini
dijauhkan dan dijauhi, diburuk-sangkai. Mereka itu telah memecah-belah kesatuan
kaum muslimin. Padahal Persatuan itu merupakan rahmat,sedangkan perpecahan
merupakan sengsara dan adzab-wal’iyaadzu billah-. Andai suatu penduduk negara di
atas kebaikan, bersatu di atas satu kata, niscaya mereka akan memiliki kharisma
dan wibawa. Akan tetapi penduduk negara kita sekarang sudah berkelompok-kelompok
dan terkotak-kotak. Mereka telah sobek, berselisih, musuh dari kalangan mereka
masuk ke tengah-tengah mereka, dari sebagian mereka atas sebagian yang lainnya.
Ini merupakan cara bid’ah, dan keji. Merupakan jalan seperti yang telah berlalu
keterangannya, datang dari orang-orang yang mau memecah-belah kesatuan, dan
orang-orang yang telah membunuh Amirul Mukminin Ali-radhiyallahu anhu- dan
orang-orang yang bersama beliau dari kalangan sahabat, peserta bai’at Ridhwan.
Mereka telah membunuh beliau sedang mereka menginginkan “kebaikan”!! Sedang
mereka itu adalah pemimpin kerusakan, pemimpin bid’ah,dan pemimpin perpecahan.
Mereka itulah yang memecah-belah persatuan kaum muslimin, dan melemahkan barisan
kaum muslimin. Demikian juga sampai orang-orang yang berpendapat bolehnya,
mengadopsinya, dan menganggapnya baik. Maka orang seperti ini jelek aqidahnya,
dan harus dijauhi.Aku tahu-wa’iyaadzu billah- bahwa ada seorang yang disiapkan
untuk membahayakan ummatnya dan teman-teman majelisnya, serta orang-orang yang
ada disekitarnya. Nasihat yang haq, hendaknya seorang muslim menjadi seorang
bekerja, membangun, mengajak kepada kebaikan, dan mencari kebaikan
sebenar-benarnya. Dia harus mengucapkan kebenaran, berdakwah dengan cara yang
benar dan lembut, berbaik sangka terhadap saudaranya, serta mengetahui bahwa
kesempurnaan merupakan sesuatu yang sulit diraih, bahwasanya yang ma’shum adalah
Nabi-Shollallahu alaihi wasallam- , dan andaikan para pemerintah tsb
hilang/pergi, maka tak akan datang orang yang lebih bagus dibandingkan mereka.
Andaikan semua orang yang ada hilang/pergi-sama saja diantara mereka ada
pemerintah, penanggung jawab, atau para penuntut, atau rakyat. Andaikan ini
semuanya pergi/hilang-rakyat negara mana saja-, niscaya akan datang pemimpin
yang lebih jelek darinya !! Karena tak akan datang suatu masa kecuali yang
berikutnya lebih buruk. Jadi, orang yang menginginkan agar orang sampai pada
derajat kesempurnaan, atau menjadi orang-orang yang ma’shum dari segala
kesalahan dan kejelekan. Orang (yang berpemikiran) macam ini adalah orang sesat.
Mereka ini adalah orang-orang Khawarij. Mereka inilah yang memecah-belah
persatuan manusia dan menyakiti mereka. Ini merupakan tujuan orang-orang yang
memusuhi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan berbagai bid’ah dari kalangan orang
Rofidhoh, Khawarij, Mu’tazilah, dan seluruh jenis pelaku kejelekan dan
bid’ah”. [Lihat Majallah Safinah An-Najaah ,
edisi 2, Januari 1997 M.]
Inilah beberapa fatwa ulama’ besar di zaman ini.
Semuanya sepakat mengharamkan demonstrasi, karena menimbulkan kerusakan dalam
segala lini kehidupan, secara langsung atau tidak. Fakta yang ada di lapangan
telah membuktikan bahwa demo menyebabkan banyak kerusakan. Intinya,
demo adalah haram dalam Islam, baik demonya dalam bentuk damai tak
menimbulkan kerusuhan saat demo, apalagi yang disertai kekasaran, dan sesuatu
yang memancing emosi, serta merendahkan wibawa pemerintah.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 26 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu
Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong
Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah).
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk
berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp.
200,-/exp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar