Keutamaan
Bersiwak
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu dari pohon
araak) merupakan perbuatan yang sangat disukai oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ada beberapa waktu yang sangat dianjurkan oleh syariat untuk
kita bersiwak. Bila kita mampu menjalankan ajaran Rasulullah ini Shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak hanya mulut kita yang menjadi bersih, namun pahala dan
keridhaan Allah pun insya Allah bisa kita raih.
Bersiwak (membersihkan mulut
dengan kayu dari pohon araak) merupakan perbuatan yang sangat disukai oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa waktu yang sangat
dianjurkan oleh syariat untuk kita bersiwak. Bila kita mampu menjalankan ajaran
Rasulullah ini Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya mulut kita yang
menjadi bersih, namun pahala dan keridhaan Allah pun insya Allah bisa kita
raih.
Kata siwak bukan lagi sesuatu yang asing di tengah sebagian kaum
muslimin, meskipun sebagian orang awam tidak mengetahuinya disebabkan
ketidaktahuan mereka tentang agama. Wallahul musta’an. Pengertian siwak
sendiri bisa kembali pada dua perkara: Pertama, bermakna alat yaitu
kayu/ranting yang digunakan untuk menggosok mulut guna membersihkannya dari
kotoran. Asalnya adalah kayu dari pohon araak. Kedua, bermakna fi’il atau
perbuatan yaitu menggosok gigi dengan kayu siwak atau semisalnya untuk
menghilangkan warna kuning yang menempel pada gigi dan menghilangkan kotoran,
sehingga mulut menjadi bersih dan diperoleh pahala dengannya (Fathul Bari 1/462,
Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 3/135, Subulus Salam 1/63, Taisirul ‘Allam Syarhu
‘Umdatil Ahkam, 1/62). Dengan demikian, disenangi bersiwak dengan kayu siwak
dari araak atau dengan apa saja yang bisa menghilangkan perubahan bau mulut,
seperti membersihkan gigi dengan kain perca atau sikat gigi. (Nailul Authar,
1/154) Namun tentunya bersiwak dengan menggunakan kayu siwak lebih utama.
Karena, hal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan ditunjukkan dalam hadits-hadits yang berbicara tentang siwak. Hukum
bersiwak ini sunnah –tidak wajib– dalam seluruh keadaan, baik sebelum shalat
ataupun selainnya. Dan ini merupakan pendapat yang rajih yang dipegangi oleh
penulis. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama, menyelisihi sebagian ulama
yang memandang wajibnya perkara ini. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu
mengatakan: “Kami tidak mengetahui ada seorang pun yang berpendapat bersiwak itu
wajib kecuali Ishaq dan Dawud Azh-Zhahiri.” (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, bab
As-Siwak wa Sunnatul Wudhu). Dalil tidak wajibnya bersiwak ini diisyaratkan
dalam hadits:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Seandainya aku tidak memberati
umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali
berwudhu.” Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini
ada dalil bahwa siwak tidaklah wajib. Seseorang diberi pilihan (untuk melakukan
atau meninggalkannya, pent.). Karena, jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan mereka, baik mereka merasa
berat ataupun tidak.” (Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, bab
As-Siwak). Kekhawatiran memberatkan umatnya merupakan sebab yang mencegah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mewajibkan bersiwak ini. (Taudhihul
Ahkam min Bulughil Maram, 1/195) Bersiwak merupakan ibadah yang tidak banyak
membebani, sehingga sepatutnya seorang muslim bersemangat melakukannya dan tidak
meninggalkannya. Di samping itu, banyak faedah yang didapatkan berupa
kebersihan, kesehatan, menghilangkan aroma yang tak sedap, mewangikan mulut,
memperoleh pahala dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Taisirul
‘Allam, 1/62) Banyak sekali hadits yang berbicara tentang siwak sehingga
Ibnul Mulaqqin rahimahullahu dalam Al-Badrul Munir mengatakan: “Telah disebutkan
dalam masalah siwak lebih dari seratus hadits.” (Subulus Salam, 1/63) Karena
perkara bersiwak ini disenangi oleh Rasul kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak pernah beliau tinggalkan sampai pun menjelang ajalnya,
sementara kita diperintah dalam Al-Qur`an untuk menjadikan beliau sebagai
qudwah, suri teladan, maka pembahasan tentang siwak tidak patut kita abaikan.
Ditambah lagi, bersiwak ini termasuk sunnah wudhu dan termasuk thaharah yang
kita dianjurkan untuk melakukannya. Semoga apa yang kami tuliskan ini menjadi
ilmu yang bermanfaat dan mudah-mudahan dapat diamalkan oleh kita semua.
Amin!
Kesenangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bersiwak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian senang bersiwak.
Beliau tidak melupakannya sampai pun pada detik-detik menjelang beliau dijemput
kembali ke sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. ‘Aisyah radhiyallahu 'anha
mengabarkan:
دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا
مُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي، وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ
بِهِ، فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَصَرَهُ،
فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضَمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا قَطُّ
أَحْسَنَ مِنْهُ، فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ: فِي الرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى
-ثَلاَثًا- ثُمَّ قَضَى
‘Abdurrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
'anhuma masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan dadaku
menjadi tempat sandaran beliau. ‘Abdurrahman membawa siwak yang masih basah yang
dipakainya untuk bersiwak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat
pandangan mata beliau, melihat siwak itu. Aku pun mengambil siwak tersebut lalu
mematahkan ujungnya (dengan ujung gigi) serta memperbaikinya dan
membersihkannya, kemudian aku berikan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau kemudian bersiwak dengannya. Aku tidak pernah melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak sebagus yang kulihat kali itu. Tidak
berapa lama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari bersiwak,
beliau mengangkat tangannya atau jarinya kemudian berkata: “Pada teman-teman
yang tinggi (Ar-Rafiqil A‘la)1.” Lalu beliau pun wafat. (HR. Al-Bukhari no. 890,
4438) Dalam satu lafadz, ‘Aisyah radhiyallahu 'anha
mengatakan:
فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَعَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ
السِّوَاكَ. فَقُلْتُ: آخِذُهُ لَكَ؟ فَأَشَارَ بِرَأْسِهِ أَنْ نَعَمْ
Aku
melihat beliau memandangi siwak tersebut dan aku tahu beliau menyukai bersiwak.
Maka aku katakan: “Apakah aku boleh mengambilkannya untukmu?” Beliau
mengisyaratkan “iya”, dengan kepala beliau (mengangguk untuk mengiyakan/sebagai
persetujuan). (HR. Al-Bukhari no. 4449)2
Bersiwak Membersihkan Mulut dan
Diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala ‘Aisyah radhiyallahu 'anha mengabarkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ
لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai
oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad, 6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu‘allaq.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i,
Al-Misykat no. 381, Irwa`ul Ghalil no. 65) Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma
juga mengabarkan hal yang senada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
عَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ فَإِنَّهُ مَطْيَبَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ
لِلرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Seharusnya bagi kalian untuk bersiwak.
Karena dengan bersiwak akan membaikkan (membersihkan) mulut, diridhai oleh
Ar-Rabb tabaraka wa ta’ala.” (HR. Ahmad 2/109, lihat Ash-Shahihah no.
2517)
Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak Bersiwak adalah sunnah
(mustahab) dalam seluruh waktu. Namun ada lima waktu yang lebih ditekankan bagi
kita untuk melakukannya (Al-Minhaj 1/135, Al-Majmu‘ 1/328, Tharhut Tatsrib fi
Syarhit Taqrib 1/225). Waktu-waktu tersebut adalah sebagai berikut: 1. Setiap
akan shalat dan wudhu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ
عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Seandainya
aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak
setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad 2/400, Malik dalam Al-Muwaththa` no. 143
dengan Syarh Az-Zarqani. Disebutkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam
Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul
Ghalil no. 70) Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 887) dan Al-Imam
Muslim dalam Shahih-nya (no. 588) juga mengeluarkan hadits di atas, hanya saja
lafadz akhirnya adalah: مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ (setiap kali hendak mengerjakan
shalat). Selengkapnya adalah:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali
setiap kali hendak mengerjakan shalat.” Permasalahan disunnahkannya bersiwak
ketika hendak shalat dan berwudhu ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat. Di
antaranya Abu Hurairah, Zaid bin Khalid, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-’Abbas bin
Abdil Muththalib, Ibnu ‘Umar, Abdullah bin Hanzhalah, dan selain mereka
radhiyallahu 'anhum ajma’in. (Sunan At-Tirmidzi, kitab Ath-Thaharah, bab Maa
Ja’a fis Siwak) Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu berkata: “Rahasia
dianjurkannya kita bersiwak saat hendak shalat adalah kita diperintahkan dalam
setiap keadaan taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
untuk berada dalam kesempurnaan dan kebersihan, dalam rangka menampakkan
kemuliaan ibadah.” Ada pula yang berpendapat bahwa perkaranya berkaitan
dengan malaikat. Karena malaikat akan terganggu dengan aroma tidak sedap yang
keluar dari mulut seseorang. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab
As-Siwak)
2. Ketika masuk rumah Syuraih bin Hani` pernah bertanya
kepada ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ؟ قَالَتْ:
بِالسِّوَاكِ
“Apa yang mulai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan
apabila beliau masuk rumah?” Aisyah menjawab: ‘Beliau mulai dengan bersiwak’.”
(HR. Muslim no. 589)
3. Saat bangun tidur di waktu malam Hudzaifah
ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْصُ فَاهُ
بِالسِّوَاكِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
bangun di waktu malam beliau menggosok mulutnya dengan siwak.” (HR. Al-Bukhari
no. 245, 889, 1136 dan Muslim no. 592, 594) Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma
mengabarkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
لاَ يَنَامُ إِلاَّ وَالسِّوَاكُ عِنْدَهُ، فَإِذَا اسْتَيْقَظَ بَدَأَ
بِالسِّوَاكِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tidur
melainkan siwak berada di sisi beliau. Bila terbangun dari tidur, beliau mulai
dengan bersiwak.” (HR. Ahmad 2/117, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam
Al-Jami’ush Shahih 1/503) Alasan disenanginya bersiwak pada saat seperti ini,
kata Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu, adalah karena tidur menyebabkan
berubahnya bau mulut. Sedangkan siwak merupakan alat untuk membersihkan mulut.
Sehingga disunnahkan bersiwak tatkala terjadi perubahan bau mulut. (Ihkamul
Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak) Dalam hal ini sama saja, baik
bangunnya untuk mengerjakan shalat atau tidak. ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu
mengabarkan:
قُمْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبَدَأَ فَاسْتَاكَ ثُمَّ تَوَضَّأَ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي وَقُمْتُ
مَعَهُ...
“Aku pernah bangkit bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu beliau mulai bersiwak. Setelah itu beliau berwudhu. Kemudian beliau
bangkit untuk mengerjakan shalat dan aku pun bangkit bersama beliau…” (HR. Ahmad
6/24, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503,504)
4.
Ketika hendak membaca Al-Qur`an Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
السِّوَاكُ مَطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ
لِلرَّبِ
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR.
Ahmad 6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Al-Imam Al-Bukhari
meriwayatkannya dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381,
Irwa`ul Ghalil no. 65) Sementara membaca Al-Qur`an tentunya menggunakan
mulut.
5. Saat bau mulut berubah Perubahan bau mulut bisa terjadi
karena beberapa hal. Di antaranya: karena tidak makan dan minum, karena memakan
makanan yang memiliki aroma menusuk/tidak sedap, diam yang lama/tidak membuka
mulut untuk berbicara, banyak berbicara dan bisa juga karena lapar yang sangat,
demikian pula bangun dari tidur. (Al-Hawil Kabir 1/85, Al-Minhaj,
1/135)
Bersungguh-sungguh dalam Bersiwak Ketika seseorang bersiwak,
hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Musa Al-Asy‘ari radhiyallahu
‘anhu menceritakan:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ. قَالَ: وَطَرَفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ
وَهُوَ يَقُوْلُ: أُعْ، أُعْ. وَالسِّوَاكُ فِي فِيْهِ كَأَنَّهُ
بَتَهَوَّعُ
“Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ketika itu beliau sedang bersiwak dengan siwak basah. Ujung siwak itu di atas
lidah beliau dan beliau mengatakan “o’, o’3" sedangkan siwak di dalam mulut
beliau, seakan-akan beliau hendak muntah.” (HR. Al-Bukhari no. 244 dan Muslim
no. 591) Hadits di atas menunjukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersungguh-sungguh dalam bersiwak, sampai-sampai hendak muntah karenanya. Selain
itu, menunjukkan disenanginya bersiwak menggunakan siwak yang basah sebagaimana
dalam hadits Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang telah lewat tentang
bersiwaknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya. Di
samping itu, hadits ini menunjukkan bahwa selain digunakan untuk membersihkan
gigi, siwak dapat pula digunakan untuk membersihkan lidah. (Fathul Bari 1/463,
Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)
Cara Bersiwak Kata
Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu, disenangi menggunakan siwak secara melintang
ketika menggosok permukaan gigi dan bagian dalamnya. Dan siwak dijalankan di
atas ujung-ujung gigi dan pangkal gigi geraham agar semuanya bersih dari kotoran
warna kuning dan perubahan bau yang ada. Dijalankan pula di atas langit-langit
dengan perlahan untuk menghilangkan bau yang ada. (Al-Hawil Kabir,
1/85) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan tentang permasalahan
cara menggunakan siwak, apakah memanjang atau melintang: “Memungkinkan untuk
dikatakan: cara penggunaannya kembali kepada apa yang dituntut oleh keadaan.
Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak dengan memanjang, maka dilakukan dengan
memanjang. Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak dengan melintang, maka
dilakukan dengan melintang. Karena tidak adanya sunnah yang jelas dalam hal
ini.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)
Bersiwak dengan Tangan Kanan atau
Tangan Kiri? Manakah yang lebih utama bersiwak dengan menggunakan tangan
kanan atau tangan kiri? Zainuddin Abul Fadhl Abdurrahim bin Al-Husain
Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata: “Sebagian orang belakangan dari kalangan
Hanabilah yang pernah aku lihat menyebutkan bahwa ia bersiwak dengan tangan
kanannya. Karena terdapat dalam sebagian jalan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha
yang masyhur bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi
mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, mengenakan sandal, bersuci,
dan bersiwak.4 Saya sendiri pernah mendengar dari sebagian guru kami dari
kalangan Syafi’iyyah bahwa perkaranya dibangun di atas permasalahan apakah siwak
itu termasuk bab tath-hir (pensucian) dan tathyib (mewangi-wangikan), atau
termasuk bab menghilangkan kotoran? Bila kita menganggapnya termasuk bab
tath-hir dan tathyib maka disenangi menggunakan siwak dengan tangan kanan. Namun
bila kita menganggapnya termasuk bab menghilangkan kotoran, maka disenangi
menggunakannya dengan tangan kiri. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu 'anha yang menyatakan bahwa tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang kanan beliau gunakan untuk bersuci dan untuk makan, sedangkan
tangan kiri beliau gunakan untuk cebok dan untuk perkara yang bersentuhan dengan
kotoran. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih.5 Abu
Dawud meriwayatkan pula dari hadits Hafshah bintu ‘Umar radhiyallahu
'anhuma:
كَانَ يَجْعَلُ يَمِيْنَهُ لِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَثِيَابِهِ،
وَيَجْعَلُ شِمَالَهُ لِمَا سِوَى ذلِكَ
“Beliau menggunakan tangan kanan
beliau untuk makannya, minumnya dan berpakaiannya. Sedangkan tangan kiri beliau
gunakan untuk selain itu.”6 Namun sebenarnya dalil yang dijadikan sandaran
oleh kalangan Hanabilah tersebut7 tidaklah mendukung pendapatnya (yaitu bersiwak
menggunakan tangan kanan). Karena yang dimaukan dengan hadits tersebut adalah
memulai bagian/belahan kanan dalam bersisir, memulai kaki kanan dalam memakai
sandal, memulai dengan anggota kanan dalam bersuci/wudhu, memulai dengan sisi
yang kanan dari mulut dalam bersiwak sebagaimana telah lewat. Adapun bila
dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan tangan kanannya
untuk melakukan hal itu, maka hal ini butuh penukilan (riwayat). Yang dzahir,
bersiwak termasuk bab menghilangkan kotoran sebagaimana menghilangkan ingus dan
semisalnya, maka dilakukan dengan tangan kiri. Abul ‘Abbas Al-Qurthubi dari
kalangan Malikiyyah secara jelas menyatakan pendapat ini. Beliau berkata dalam
Al-Mufhim menghikayatkan dari Al-Imam Malik: “Tidak boleh bersiwak dalam masjid
karena bersiwak termasuk menghilangkan kotoran. Wallahu a‘lam.” (Tharhut Tatsrib
1/233) Namun larangan bersiwak dalam masjid ini tidak ada dalilnya, sehingga
boleh dilakukan di dalam maupun di luar masjid bila memang diperlukan,
berdasarkan keumuman hadits:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali
setiap kali hendak mengerjakan shalat.” Namun, sepantasnya seseorang tidak
berlebih-lebihan dalam melakukannya, hingga sampai pada tingkat hendak muntah
padahal berada di masjid. Karena khawatir dia akan muntah atau mengeluarkan
darah sehingga mengotori masjid. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts
Al-‘Ilmiyyah wal Ifta`, no. 2432, 5/128) Ibnu Qudamah rahimahullahu
menyatakan disenanginya tayammun (mendahulukan bagian yang kanan) dalam bersiwak
dan disenangi mencuci siwak dengan air untuk menghilangkan kotoran yang mungkin
menempel padanya. Sebagaimana ‘Aisyah radhiyallahu 'anha
mengabarkan:
كَانَ نَبْيُّ اللهِ صَلىَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَاكُ فَيُعْطِيْنِي السِّوَاكَ لأَغْسِلَهُ، فَأَبْدَأُ بِهِ فَأَسْتاَكُ
ثُمَّ أَغْسِلُهُ، ثُمَّ أَدْفَعُهُ إِلَيْهِ
“Nabiyullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersiwak, lalu memberiku siwak tersebut untuk kucuci.
Lalu aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian mencucinya, setelahnya
menyerahkannya kepada beliau8.” (HR. Abu Dawud no. 52). (Al-Mughni, kitab
Ath-Thaharah, fashl Al-Istiyak ‘alal Asnan wal Lisan) Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ulama berbeda pendapat, apakah bersiwak
dilakukan dengan tangan kanan atau tangan kiri. Sebagian mereka mengatakan:
dengan tangan kanan, karena siwak itu sunnah. Sementara sunnah merupakan
ketaatan dan amalan qurbah (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dengan demikian bersiwak tidak dilakukan dengan tangan kiri, karena tangan kiri
itu digunakan untuk menghilangkan kotoran, berdasarkan kaidah bahwa tangan kiri
digunakan untuk kotoran sedangkan tangan kanan untuk yang selainnya. Apabila
siwak ini dianggap ibadah maka asalnya dilakukan dengan tangan kanan. Ulama
yang lain mengatakan: ‘Bersiwak menggunakan tangan kiri lebih utama.’ Ini
pendapat yang masyhur dalam madzhab ini (Hanabilah). Karena siwak itu untuk
menghilangkan kotoran, sedangkan menghilangkan kotoran dilakukan dengan tangan
kiri seperti halnya istinja` (cebok) dan istijmar (bersuci dengan menggunakan
batu). Sebagian Malikiyyah berkata: “Dalam hal ini dirinci. Bila ia bersiwak
untuk mensucikan mulut sebagaimana bila ia bangun dari tidurnya atau
menghilangkan makanan yang tersisa maka dia bersiwak dengan tangan kiri, karena
berkaitan dengan menghilangkan kotoran. Bila ia bersiwak untuk memperoleh amalan
sunnah maka dilakukan dengan tangan kanan, karena ia bersiwak dengan tujuan
untuk melakukan qurbah (mendekatkan diri pada Allah), sebagaimana bila ia baru
saja berwudhu dan ia bersiwak ketika wudhu, kemudian ia hendak mengerjakan
shalat. Maka ia bersiwak untuk memperoleh pahala amalan sunnah. (Namun yang
benar, pent.) perkaranya lapang dan tidak dibatasi, karena tidak adanya nash
yang jelas yang menetapkannya.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)
Boleh
Bersiwak saat Berpuasa Dalam hal ini ada hadits dari ‘Amir bin Rabi’ah
radhiyallahu ‘anhu:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا لاَ أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Aku melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa kali yang tidak bisa aku
hitung, beliau bersiwak dalam keadaan beliau puasa.” Namun hadits yang
diriwayatkan oleh Ar-Tirmidzi, Abu Dawud dan lain-lainnya ini dha’if/lemah,
karena adanya perawi yang lemah sebagaimana dijelaskan dalam Irwa`ul Ghalil
(hadits no. 68). Karena dha’if, berarti hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai
sandaran/hujjah. Sehingga permasalahan bolehnya bersiwak ketika sedang puasa,
kembali kepada dalil-dalil yang umum. Seperti hadits yang berisi anjuran untuk
bersiwak ketika hendak shalat dan saat berwudhu. Al-Imam At-Tirmidzi
rahimahullahu menyatakan: “Al-Imam Asy-Syafi’i berpandangan bahwa tidak mengapa
bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak pada awal dan akhir siang. Sementara
Al-Imam Ahmad dan Ishaq memakruhkannya bila dilakukan di akhir siang.” (Sunan
At-Tirmidzi, kitab Ash-Shaum, bab Ma Ja’a fis Siwak lish-Sha`im) Di antara
yang berpendapat disunnahkannya bersiwak secara mutlak, saat puasa ataupun
tidak, adalah Abu Hanifah dan Malik. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu
Taimiyyah. Dan pendapat ini yang penulis rajihkan. Al-Imam Asy-Syaukani berkata:
“Yang benar adalah disunnahkan siwak bagi orang yang puasa, baik di awal siang
ataupun di akhirnya. Ini merupakan madzhab jumhur.” (Nailul Authar,
1/159) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Isyarat dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ
أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا
“Siapa yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu bersama orang-orang yang Allah berikan
kenikmatan kepada mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan
orang-orang shalih. Mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (An-Nisa`: 69) 2
Hadits di atas menunjukkan beberapa hal: - Disenanginya menggunakan siwak
yang basah - Sebelum digunakan sebaiknya siwak diperbaiki/dibaguskan terlebih
dahulu - Boleh menggunakan siwak milik orang lain setelah dibersihkan -
Boleh bersiwak di hadapan orang lain, yakni bersiwak bukan perkara yang harus
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Seorang pemimpin/tokoh tidaklah tercela bila
melakukannya di hadapan orang yang dipimpinnya/bawahannya sebagaimana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang rasul/imam dan pimpinan umat
melakukannya di hadapan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
'anhuma (Ihkamul Ahkam, kitab Thaharah, bab As-Siwak, Fathul Bari 1/464 ) 3
Yakni mengeluarkan suara seperti orang yang hendak muntah, karena
bersungguh-sungguhnya beliau bersiwak. (Fathul Bari, 1/463) 4 Haditsnya
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, namun tanpa penyebutan bersiwak,
tambahan ini ada dalam riwayat Abu Dawud, no. 4140 5 Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Misykatul Mashabih, 1/348 6 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami‘ Ash-Shaghir, 2/4912 7Yaitu hadits yang menyatakan:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan yang kanan
ketika menyisir rambutnya, mengenakan sandal, bersucinya, dan bersiwaknya. 8
Dalam ‘Aunul Ma‘bud Syarah Abi Dawud disebutkan: “Setelah beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menggunakan siwak untuk membersihkan mulutnya, beliau
menyerahkan kepada ‘Aisyah untuk dihilangkan kotoran yang mungkin menempel pada
siwak tersebut agar tabiat itu tidak merasa jijik untuk menggunakannya pada kali
yang lain. ‘Aisyah pun menyatakan: “Aku mencucinya”, yakni mencuci siwak
tersebut untuk mengharumkan dan membersihkannya. “Aku menggunakannya”, kata
‘Aisyah, yakni memakai siwak tersebut pada mulutku sebelum dicuci agar
mendapatkan barakah mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”. (Kitab
Ath-Thaharah, bab Ghaslus
Siwak)
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=408
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar