Menanti Tanda-tanda
Kekuasaan Allah di Akhir Zaman
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari
bin Jamal Al-Bugisi
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Pada hari datangnya sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Rabbmu, yang merupakan kejadian yang luar biasa, yang
dengannya diketahui bahwa kehancuran telah demikian dekat, dan kiamat tidak lama
lagi. Maka tidak bermanfaat keimanan dari satu jiwa yang sebelumnya tidak
beriman atau yang belum membuahkan kebaikan dalam keimanannya, yakni apabila
telah dijumpai sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
tidak bermanfaat keimanan seorang yang kafir apabila dia hendak beriman.
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا
إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا
خَيْرًا قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُوْنَ “Pada hari datangnya sebagian
tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri
yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam
masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu
(pula)’.” (Al-An’am: 158)
Penjelasan Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Pada hari datangnya sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Rabbmu, yang merupakan kejadian yang luar biasa, yang
dengannya diketahui bahwa kehancuran telah demikian dekat, dan kiamat tidak lama
lagi. Maka tidak bermanfaat keimanan dari satu jiwa yang sebelumnya tidak
beriman atau yang belum membuahkan kebaikan dalam keimanannya, yakni apabila
telah dijumpai sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
tidak bermanfaat keimanan seorang yang kafir apabila dia hendak beriman. Tidak
pula bermanfaat bagi seorang mukmin yang kurang beramal untuk semakin bertambah
keimanannya setelah itu. Namun yang bermanfaat bagi dia adalah keimanan yang dia
miliki sebelum itu serta kebaikan yang dia miliki yang diharapkan (bermanfaat)
sebelum datangnya sebagian dari tanda-tanda tersebut. Dan hikmah dari semua itu
jelas, di mana keimanan yang mendatangkan manfaat adalah keimanan terhadap
perkara yang ghaib, dan merupakan pilihan dari seorang hamba (untuk beriman).
Adapun bila tanda-tanda kekuasaan tersebut telah nampak, maka telah menjadi
perkara yang disaksikan (bukan ghaib), sehingga keimanan tidak lagi berfaedah.
Sebab, hal tersebut menyerupai keimanan yang terpaksa. Seperti keimanan orang
yang tenggelam, yang terbakar, dan orang-orang semisalnya yang apabila telah
melihat kematian, dia pun berusaha melepaskan apa yang dahulu dia yakini.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا
قَالُوا آمَنَّا بِاللهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِيْنَ.
فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيْمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللهِ
الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُوْنَ “Maka
tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata: ‘Kami beriman hanya kepada
Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan
dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah
melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya.
Dan di waktu itu, binasalah orang-orang kafir.” (Ghafir: 84-85) Dan banyak
hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan sebagian dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
terbitnya matahari dari tempat terbenamnya. Dan di saat manusia melihatnya, maka
mereka pun beriman. Namun keimanan mereka tidaklah bermanfaat dan telah tertutup
pintu taubat atas mereka. Tatkala ini merupakan janji yang dinanti terhadap
orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka
beserta para pengikutnya menantikan kehancuran dan musibah, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyatakan: ‘Katakanlah: tunggulah (munculnya salah satu dari tanda
tersebut), sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang menunggunya,’ sehingga
kalian akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih berhak mendapatkan
keselamatan.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman) Al-Qurthubi rahimahullahu berkata:
“Para ulama berkata: ‘Tidak bermanfaatnya keimanan seseorang di kala terbitnya
matahari dari tempat terbenamnya, karena telah masuk ke dalam hati mereka
perasaan takut yang melenyapkan setiap syahwat hawa nafsunya dan melemahkan
setiap kekuatan dari kekuatan tubuhnya. Sehingga, manusia seluruhnya beriman
karena mereka yakin akan dekatnya hari kiamat. Seperti keadaan orang yang
mendekati kematian, yang memutuskannya dari berbagai dorongan melakukan
perbuatan maksiat serta melemahkan tubuh-tubuh mereka. Barangsiapa bertaubat
dalam keadaan seperti ini tidaklah diterima taubatnya, seperti tidak diterimanya
taubat orang yang mendekati kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ
يُغَرْغِرْ “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang
hamba selama nyawa belum sampai ke tenggorokan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dihasankan Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Al-Jami’ no. 1903) Yaitu, selama ruhnya belum sampai ke ujung
tenggorokan. Waktu itu merupakan saat di mana seseorang melihat secara langsung
tempatnya di dalam surga atau neraka. Maka orang yang menyaksikan terbitnya
matahari dari tempat terbenamnya juga seperti itu (keadaannya). Oleh karenanya,
sepantasnyalah setiap orang yang telah menyaksikan peristiwa tersebut atau yang
memiliki hukum yang sama dengan yang menyaksikannya, taubatnya tertolak selama
hidupnya. Sebab ilmunya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta janji-janji-Nya telah menjadi sesuatu yang
terpaksa.” (Tafsir Al-Qurthubi) Ibnu Katsir rahimahullahu juga mengatakan:
“Jika seorang kafir menampakkan keimanannya pada saat itu, maka tidak diterima
darinya. Adapun bila dia seorang mukmin sebelum hari itu, jika dia baik dalam
beramal, maka dia dalam kebaikan yang besar. Namun jika dia mengotori (imannya),
lalu dia bertaubat saat itu, maka tidak diterima taubatnya.” (Tafsir Ibnu
Katsir)
Tertutupnya Pintu Taubat Ayat yang mulia ini menjelaskan
tentang akan munculnya suatu waktu di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lagi
menerima taubat orang-orang yang hendak bertaubat di masa itu. Yaitu di kala
terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, yang menandakan akan berakhirnya
zaman dan bangkitnya hari kiamat. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tentang
penafsiran sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa yang
dimaksud adalah tanda-tanda hari kiamat yang besar tersebut, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ثَلاَثٌ إِذَا
خَرَجْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ
كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا؛ طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا،
وَالدَّجَّالُ، وَدَابَّةُ اْلأَرْضِ “Ada tiga perkara yang jika telah muncul
maka tidak bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum munculnya
atau dalam keimanannya tidak membuahkan kebaikan; Terbitnya matahari dari tempat
terbenamnya, (munculnya) Dajjal, dan (keluarnya) daabbah (binatang melata yang
berdialog dengan manusia dan memberitakan kepada mereka akan dekatnya hari
kiamat).” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Az-Zaman Al-Ladzi la Yuqbalu fihi
Al-Iman, 1/158) Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ
مَغْرِبِهَا، فَإِذَا طَلَعَتْ وَرَآهَا النَّاسُ آمَنَ مَنْ عَلَيْهَا فَذَاكَ
حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ
كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا “Tidak tegak hari kiamat hingga matahari
terbit dari tempat terbenamnya. Apabila telah terbit demikian, dan manusia telah
melihatnya maka merekapun beriman. Dan itu merupakan hari yang tidak bermanfaat
keimanan bagi satu jiwa, yang dia tidak beriman sebelumnya atau tidak
menghasilkan kebaikan pada keimanannya.” (HR. Al-Bukhari no. 4359 dan Muslim,
1/157) Diriwayatkan juga dari Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan: أَنَّ اللهَ جَعَلَ
بِالْمَغْرِبِ بَابًا عَرْضُهُ مَسِيْرَةُ سَبْعِيْنَ عَامًا لِلتَّوْبَةِ، لاَ
يُغْلَقُ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ مِنْ قِبَلِهِ وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ: {يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا
إِيْمَانُهَا} اْلآيَةَ “Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat sebuah pintu
taubat di sebelah barat yang luasnya sejarak perjalanan 70 tahun, yang tidak
akan ditutup selama matahari belum terbit dari tempat tersebut. Dan itulah
maksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ
رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا ‘Tidaklah bermanfaat lagi iman
seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman…’.”(HR. At-Tirmidzi no. 3536,
dan beliau menshahihkannya serta dihasankan Al-Albani rahimahullahu) Al-Imam
Muslim rahimahullahu juga meriwayatkan dari hadits Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia berkata: ‘Aku telah mendengar dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu hadits yang tidak aku lupakan. Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya tanda hari
kiamat yang paling pertama keluar adalah terbitnya matahari dari tempat
terbenamnya’.” Juga diriwayatkan dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada suatu hari:
“Tahukah kalian ke mana perginya matahari ini?” Mereka (para sahabat) menjawab:
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan: “Sesungguhnya dia
pergi ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu dia merendahkan diri sambil
sujud. Senantiasa dia dalam keadaan demikian hingga dikatakan kepadanya:
‘Terbitlah dari tempat yang engkau kehendaki.’ Dia pun terbit dari tempat
biasanya terbit. Lalu dia terus berjalan, dalam keadaan manusia tidak terkejut
sedikit pun akan hal itu. Sampai dia kembali berhenti lalu merendahkan diri
sambil sujud di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy. Dan manusia tidak terkejut
sedikit pun dari hal itu. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Terbitlah dari tempat
terbenammu!’ Lalu terbitlah dia dari tempat terbenamnya.” Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian hari apa itu?” Mereka
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau menjawab: “Itu adalah
hari yang tidak bermanfaat keimanan bagi satu jiwa yang tidak beriman sebelumnya
atau keimanan yang padanya tidak menghasilkan kebaikan.” (HR. Muslim,
1/159) Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ini merupakan
riwayat-riwayat yang saling menguatkan yang sepakat menunjukkan bahwa jika
matahari terbit dari tempat terbenamnya, tertutuplah pintu taubat dan tidak
terbuka lagi. Dan hal tersebut tidak dikhususkan pada saat hari terbitnya (dari
tempat terbenamnya saja), namun terus berlanjut hingga hari kiamat.” (Fathul
Bari, 11/354)
Pengingkaran Ahlul Bid’ah tentang Kejadian Ini Seluruh
riwayat ini menunjukkan bahwa kejadian ini pasti akan terjadi di akhir zaman.
Dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali dari kalangan ahlul bid’ah, seperti
Khawarij dan Mu’tazilah. Al-Qurthubi rahimahullahu berkata dalam Tafsir-nya
setelah beliau menyebutkan hadits-hadits tentang tanda-tanda hari kiamat
tersebut: “Ini semua telah didustakan oleh kaum Khawarij dan Mu’tazilah.” Lalu
beliau menyebut atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya rajam itu benar, maka janganlah
kalian tertipu. Dan hujjah yang menunjukkan hal tersebut bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan rajam, dan Abu Bakr pun telah
merajam, dan sesungguhnya kami pun telah melaksanakan rajam setelah mereka
berdua. Dan akan muncul satu kaum dari kalangan umat ini yang akan mendustakan
rajam, mendustakan Dajjal, mendustakan terbitnya matahari dari tempat
terbenamnya, mendustakan adanya siksa kubur, mendustakan syafaat, mendustakan
kaum yang keluar dari neraka setelah mereka hangus terbakar.” (Diriwayatkan
Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 7/13364, Ahmad, 1/23. Namun dalam sanadnya ada
seorang perawi yang bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dia lemah karena
hafalannya yang buruk) Ibnu Abdil Barr rahimahullahu juga berkata dalam
kitabnya At-Tamhid (23/98) setelah menyebutkan atsar ini: “Seluruh Khawarij dan
Mu’tazilah mendustakan enam perkara ini. Sedangkan Ahlus Sunnah membenarkannya
dan merekalah al-jamaah serta hujjah membantah orang-orang yang menyelisihi
Ahlus Sunnah.”
Pengingkaran Rasyid Ridha tentang Sujudnya Matahari di
Bawah ‘Arsy Di antara orang-orang yang mengingkari perkara ini adalah
Muhammad Rasyid Ridha. Dalam tafsirnya Al-Manar dia berkata setelah menyebutkan
hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tentang sujudnya matahari di bawah ‘Arsy:
“Hadits ini diriwayatkan oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim) dari berbagai
jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik, dari Abu Dzar. Dan dia –walaupun
di-tsiqah-kan oleh segolongan orang– adalah mudallis. Al-Imam Ahmad
rahimahullahu berkata: ‘Dia tidak bertemu Abu Dzar.’ Seperti yang dikatakan
Ad-Daruquthni rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari Hafshah dan Aisyah, dan
tidak menjumpai zaman keduanya.’ Dan seperti yang disebutkan oleh Ibnul Madini
rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma. Hal itu disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib. Dan telah diriwayatkan
selain riwayat ini dari para sahabat dengan cara ‘an’anah1, sehingga ada
kemungkinan yang memberitakan kepadanya dari mereka adalah orang yang tidak
terpercaya. Maka, jika pada sebagian riwayat Shahihain dan kitab-kitab Sunan
berpenyakit seperti ini, ditambah lagi ada kemungkinan dimasuki kisah Israiliyat
dan kekeliruan penukilan secara makna, lalu bagaimana lagi dengan
riwayat-riwayat yang ditinggalkan oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim) dan
yang ditinggalkan oleh periwayat kitab-kitab Sunan?” Inilah perkataannya.
(Tafsir Al-Manar, 8/211-212. Lihat kitab Asyrath As-Sa’ah, karya Yusuf bin
Abdillah Al-Wabil hal. 394) Dan ini merupakan perkataan yang batil, yang
dijadikan senjata oleh ahlul bid’ah untuk menolak hadits-hadits yang shahih yang
datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menolak apa yang telah
menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Adapun jawaban terhadap syubhat
Rasyid Ridha adalah sebagai berikut: Pertama: dalam hadits tersebut tidak
terdapat riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
Namun yang benar adalah riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari ayahnya dari Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu. Dan ayahnya bernama Yazid bin Syarik At-Taimi Al-Kufi.
Beliau meriwayatkan hadits secara langsung dari para shahabat, di antaranya:
‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Ibnu Mas’ud dan yang
lainnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau adalah seorang perawi yang tsiqah. Kedua:
dalam riwayat tersebut, Ibrahim bin Yazid telah menyebutkan secara jelas bahwa
beliau mendengarkan hadits secara langsung dari ayahnya tanpa perantara.
Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim, dia mengatakan: “Dari Ibrahim
bin Yazid At-Taimi bahwa dia mendengar –sebagaimana yang aku ketahui– dari
ayahnya, dari Abu Dzar.” Maka hilanglah persangkaan tuduhan tadlis dalam riwayat
tersebut. Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunnah terus menerima hadits ini
tanpa ada penolakan dari mereka. Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullahu
berkata ketika menjelaskan hadits Abu Dzar tersebut: “Pada perkataan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Tempat menetapnya di bawah Arsy’, kita tidak
mengingkari bahwa matahari memiliki tempat menetap di bawah ‘Arsy, dari sisi
yang kita tidak mampu menjangkaunya, tidak bisa kita saksikan. Dan sesungguhnya
bila kita dikabarkan tentang perkara ghaib, maka kita tidak mendustakannya dan
tidak menanyakan bagaimana, sebab ilmu kita tidak mampu
menjangkaunya.” An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Adapun tentang sujudnya
matahari, itu adalah sebuah jangkauan ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
ciptakan padanya.” (lihat Asyrath As-Sa’ah, karya Yusuf Al-Wabil hal.
385) Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita sekalian dari
penyimpangan yang menyesatkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Maksudnya
adalah periwayatan dengan lafadz ‘an, yang berarti dari. Yakni dia tidak
menjelaskan apakah dia mendengar langsung dari gurunya atau
tidak. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=535 |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar