Pacaran
Islami Para Aktifis Dakwah
|
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq
Al-Atsariyyah
Menempelkan label Islami memang mudah. Namun ketika yang
dilekati adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya
menjadi berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an yang
mulia:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
akibat perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang
benar.” (Ar-Rum: 41)
‘Ala`uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi
rahimahullahu yang masyhur dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya
terhadap ayat di atas. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”, karena
kesyirikan dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya
tanaman yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di
tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan juga
membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara menjadi
berkurang. (Tafsir Al-Khazin, 3/393)
Kerusakan banyak terjadi di darat dan di laut, berupa
rusak dan kurangnya penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan
berbagai penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena perbuatan-perbuatan
rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu ditimpakan kepada mereka agar mereka
mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membalas apa yang mereka
perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau bertaubat dari perbuatan jelek
mereka. Demikian kata Asy- Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu dalam
Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 634.
Demikianlah, kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana.
Jangankan di kota besar, bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang
terjadi hampir di seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya karena dosa
anak manusia.
Abul ‘Aliyah rahimahullahu berkata, “Siapa yang
bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di muka bumi maka sungguh ia telah
membuat kerusakan di bumi. Karena kebaikan di bumi dan di langit diperoleh
dengan ketaatan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/179)
Pergaulan anak muda yang rusak merupakan salah satu
penyebab kerusakan tersebut. Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran
boleh-boleh saja, bahkan dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak
muda.
Di lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam)
yang ingin kita bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan
kerusakannya! Para pemuda pemudi yang katanya punya ghirah terhadap Islam, yang
aktif dalam organisasi Islam, training- training pembinaan keimanan dan
kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin karena kedangkalan
terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya hawa nafsu, mereka
memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan mereka. Bagaimana pacaran
Islami yang mereka maukan? Jelas karena diberi embel-embel Islam, mereka hendak
berbeda dengan pacaran orang awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada
pegang-pegangan, tidak ada kata-kata kotor dan keji. Masing- masing menjaga
diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah
tentang Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk beramal,
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengingatkan negeri akhirat, tentang
surga dan neraka. Begitu katanya!
Pacaran yang dilakukan hanyalah sebagai tahap
penjajakan. Kalau cocok, diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak,
diakhiri dengan cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah
seorang aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan anak-anak
muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda Islam, ikhwan
sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak berjilbab, tidak
shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang muslimah yang
shalihah.”
Darimanakah mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan
mereka? Benarkah mereka telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah
mereka terjerembab ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah yang
menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai kebenaran.
Mereka memang –katanya– tidak bersentuhan, tidak pegangan tangan, tidak ini dan
tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari keinginan berbuat nista (baca:
zina), sebagaimana pacarannya para pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya
menyeret mereka untuk berzina dengan pasangannya. Na’udzubillah!!! Namun tahukah
mereka (anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa hati
mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah dan hati mereka
telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga mereka?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
mengingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ
الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا
اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ
ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya
dari zina. Dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah
dengan memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara.
Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang
membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim
no. 2657 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى،
مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ،
وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ،
وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan
diperoleh hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan
memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan
mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan berbicara (yang
diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina,
dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara, hati itu
berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu
atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Makna dari
hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Maka di
antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan
kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (untuk dimasuki karena bukan pasangan
hidupnya yang sah, pent.). Dan di antara mereka ada yang zinanya secara majazi
(kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang
mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba
wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju
ke tempat berzina, atau untuk melihat zina, atau untuk menyentuh wanita non
mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita non mahram dan
semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara
majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya.
Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya, dan
terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan kemaluannya ke
dalam kemaluan yang haram, sekalipun dekat dengannya.” (Syarhu Shahih Muslim,
16/206)
Yakni yang namanya zina itu tidak hanya diistilahkan
dengan apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram
dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari,
11/28)
Dengan pacaran yang mereka beri embel-embel Islam,
adakah mereka dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram?
Sementara memandang wanita ajnabiyyah (non mahram) atau laki-laki ajnabi
termasuk perbuatan yang diharamkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada laki-laki yang
beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara
kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita
yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan
memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Tidakkah mereka tahu bahwa wanita merupakan fitnah yang
terbesar bagi laki-laki? Sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى
الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih
berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096
dan Muslim no. 6880)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar