Jumat, 16 September 2011

Sikap Ahlussunnah dalam menyikapi kesalahan seorang alim, antara sikap berlebihan ‘kaum Haddadiyyah’ dan sikap meremehkan ‘kaum Sururiyyah’


Kaum Haddadiyyah yang getol menyerang para ulama serta menyikapi kesalahan mereka, seperti penyimpangan yang dilakukan oleh para pengekor hawa nafsu. Haddadiyyah, nisbah kepada seorang asal Mesir yang bernama Mahmud Al-Haddad Al-Mishri, yang dahulu pernah tinggal di Madinah. Awal munculnya gerakan ini dimulai dengan mengkritik Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dalam majelis-majelisnya, lantas dia mengajak manusia untuk menghukuminya [kedua Imam tersebut] sebagai seorang mubtadi’. Lalu kemudian berlanjut hingga mencela siapapun dari kalangan para ulama yang dianggapnya memiliki kesalahan –menurut persangkaannya- seperti Syekh Bin Baaz rahimahullah, Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah, Syaikh Al-Luhaidan hafidhahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah dan yang lainnya. Bagi siapa yang ingin mengetahui, Syekh Rabi’ hafidzahullah telah menyebutkan dalam tulisan beliau “Manhaj Al-Haddadiyyah” 12 poin dari pemikiran Al-Haddadiyyah, yang ringkasannya sebagai berikut:
1. Kebenciannya terhadap para ulama Salafi di zaman sekarang, menisbahkan/mencap kesesatan pada mereka dan merendahkan kedudukan mereka.

2. Menuduh mubtadi’ [ahli bid’ah’] terhadap setiap orang yang jatuh ke dalam bid’ah.
3. Menuduh mubtadi’ terhadap orang yang tidak mau mentabdi’ [mencap mubtadi] orang yang terjatuh ke dalam bid’ah.
4. Mengharamkan untuk mendo’akan rahmat kepada ahli bid’ah.
5. Mentabdi’ orang yang mendo’akan rahmat kepada ulama seperti Abu Hanifah, Asy-Syaukani.
6. Permusuhan yang sengit terhadap salafiyyin,walaupun terhadap orang yang telah bersungguh-sungguh dalam memerangi hizbiyyah dan kesesatannya.
7. Bersikap berlebih-lebihan terhadap Mahmud Al-Haddad dan mengangkatnya sebagai seorang yang alim.
8. Menodai kehormatan ulama salafiyyin, baik yang di Madinah dan yang lainnya, serta menuduh mereka sebagai pendusta.
9. Mereka punya kebiasaan melaknat, meremehkan, menteror sampai pada tingkatan mengancam untuk memukul salafiyyin.
10. Mereka melaknat secara ta’yin,hingga diantara mereka ada yang melaknat Abu Hanifah, bahkan mengkafirkannya.
11. Bersifat sombong dan suka membangkang yang akhirnya menjurus kepada penolakan terhadap al-Haq
12. Mereka selalu menyandarkan ucapannya kepada Imam Ahmad, namun setelah dijelaskan sikap Imam Ahmad yang menyelisihi Al-Haddad, maka mereka pun menuduh dan mengingkari penisbatan tersebut kepada Imam Ahmad. Lalu Al-Haddad mengatakan: “… walaupun itu benar dari Imam Ahmad, maka kita tidak bertaqlid kepadanya.”
(Lihat: Manhaj Al-Haddadiyyah,tulisan Syekh Robi’ bin Hadi Al-Madkhali)

Sebaliknya, kebalikan dari Al-Haddadiyyah, mereka yang disebut sebagai Sururiyyah. Kelompok ini berciri khas bersikap bermudah-mudahan dalam memberi gelar kepada orang yang dianggap tokohnya, berusaha membelanya dan menyelamatkannya dari berbagai tuduhan. Seperti Sayyid Quthb, Yusuf Al-Qaradhawi dan yang semisalnya dari para penyeru kesesatan. Walaupun seakan-akan mereka menghargai para ulama dan fatwanya, namun dari sisi lain mereka melakukan sindiran terhadap beberapa masyaikh Ahlus Sunnah di zaman sekarang. Ada yang menuduh sebagian ulama dengan tuduhan tidak mengerti fiqhul waqi’, ada yang menuduh sebagian mereka memiliki pemikiran Murji’ah, ada lagi yang menuduh bahwa syekh Rabi hafidzahullah Ta’ala diusir dari Madinah, sehingga keadaan Kota Madinah sudah semakin kondusif dengan kepergian beliau, atau ucapan yang semisalnya berupa tuduhan dan fitnah yang dilontarkan kepada para ulama Ahlus Sunnah. Insya Allah -bila ada waktu - pada edisi mendatang akan kita jabarkan sedikit tentang hal ini.

Adapun Ahlus Sunnah wal-jama’ah, maka mereka berada pada sikap pertengahan, mereka mengakui bahwa para ulama bukanlah orang yang ma’shum - setinggi apapun kedudukan dan ilmu yang mereka miliki-. Namun kewajiban bagi seorang muslim adalah, memuliakan mereka, tidak melecehkan, ataupun merendahkan kedudukan mereka, apalagi sampai mencelanya.

Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala :
“Wajib atas kaum muslimin –setelah bersikap loyal terhadap Allah Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam - untuk bersikap loyal terhadap kaum mukminin, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, khususnya para Ulama - orang-orang yang telah menjadi pewaris para nabi - yang Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka memiliki kedudukan seperti bintang-bintang, [bintang] yang dijadikan sebagai pembimbing dalam kegelapan didarat dan lautan.Sungguh telah sepakat kaum muslimin atas hidayah dan pengetahuan mereka. Tatkala setiap umat–sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam-, meyakini maka ulama merekalah yang paling jahat. Berbeda dengan kaum muslimin, maka sesungguhnya Ulama mereka adalah orang-orang pilihan diantara mereka. Sebab mereka - pera ulama - adalah para pengganti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam pada umatnya. Mereka berupaya menghidupkan apa yang telah mati dari Sunnahnya. Bersama merekalah al-Kitab ditegakkan dan dengan Al-Qur’anlah mereka tegak, bersama mereka al-Kitab dinyatakan dan dengan al-Kitab sajalah mereka menyatakan (sesuatu). Dan hendaklah diketahui bahwa tidak seorangpun dari kalangan para Imam –yang diterima di kalangan umat dengan penerimaan secara umum- yang sengaja menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terhadap sesuatu dari sunnahnya, baik yang samar maupun yang jelas. Sesungguhnya mereka - para ulama - seluruhnya sepakat dengan kesepakatan yang meyakinkan atas wajibnya mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam . Dan setiap orang dari manusia bisa diambil dan bisa ditolak kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Akan tetapi jika didapati ucapan salah seorang dari mereka, dimana telah datang hadits yang shahih menyelisihinya, maka harus diberi udzur (sebab) dia meninggalkan (hadits tersebut). (Raf’ul Malaam ‘an al-Aimmatil A’laam, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah: 8-9)

Dan beliau juga berkata:

فأما الصديقون والشهداء والصالحون فليسوا بمعصومين، وهذا في الذنوب المحققة‏.‏ وأما ما اجتهدوا فيه، فتارة يصيبون، وتارة يخطئون‏.‏ فإذا اجتهدوا فأصابوا فلهم أجران، وإذا اجتهدوا وأخطؤوا فلهم أجر علي اجتهادهم، وخطؤهم مغفور لهم‏.‏ وأهل الضلال يجعلون الخطأ والإثم متلازمين؛ (مجموع الفتاوى:35\69)

 
“Adapun para shiddiq, syuhada, orang-orang shalih, mereka bukan mashum (terpelihara dari kesalahan). Dan dalam hal dosa-dosa yang jelas. Adapun apa yang mereka berijtihad padanya, maka terkadang mereka benar dan terkadang pula mereka keliru. Maka jika mereka berijtihad lalu benar maka mereka mendapat dua pahala dan jika mereka berijtihad lalu keliru,maka mereka mendapat satu pahala atas ijtihadnya. Dan kesalahan mereka diampuni.Adapun orang yang sesat maka mereka menjadikan kesalahan dan dosa sebagai perkara yang menjadi keharusan antara keduanya [1]. “(Majmu’ al-Fatawa: 35/69).

Beliau juga berkata:

إن الرجل الجليل الذي له في الإسلام قدم صالح وآثار حسنة وهو من الإسلام وأهله بمكانة عليا قد تكون منه الهفوة والزلة هو فيها معذور بل مأجور لا يجوز أن يتبع فيها مع بقاء مكانته ومنزلته في قلوب المؤمنين( الفتاوى الكبرى:3\178)

 
“Sesungguhnya orang yang mulia yang di dalam Islam memiliki peranan yang baik dan pengaruh yang baik dan dia - di mata Islam dan pemeluknya - memiliki kedudukan yang tinggi.Terkadang ia memiliki kesalahan dan kekeliruan. Maka padanya diberi udzur, bahkan mendapat pahala, dan tidak boleh diikuti dalam hal itu, dengan tetapnya kedudukan dan harga dirinya dalam hati kaum mukminin”. (al-Fatawa al-Kubra:3/178).

Berkata Imam Dzahabi rahimahullah Ta’ala tatkala menjelaskan biografi Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Yahya Al-Utsmani yang terjatuh ke dalam pemikiran Asy’ariyyah [2]:

ونحب السنة وأهلها ونحب العالم على ما فيه من الاتباع والصفات الحميدة ولا نحب ما ابتدع فيه بتأويل سائغ وإنما العبرة بكثرة المحاسن (السير: 20\45-46)
 

“Dan kami cinta kepada Sunnah dan pemeluknya. Dan kami cinta kepada seorang alim atas apa yang dimilikinya dari sifat yang terpuji, namun kami tidak suka apa yang diperbuatnya dari perbuatan bid’ah dengan ta’wil yang ditolerir. Sesungguhnya yang dipandang adalah kebaikannya yang banyak.”
(Siyar A’laam an-Nubalaa, biografi mufti Muhammad bin Ahmad bin Yahya: 20/45-46)

Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan tentang biografi Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah Ta’ala [3]:

ولو أنا كلما أخطأ إمام في اجتهاده في آحاد المسائل خطأ مغفورا له قمنا عليه وبدعناه وهجرناه لما سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن مندة ولا من هو أكبر منهما والله هو هادي الخلق إلى الحق وهو أرحم الراحمين فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة (السبر:14\40)

 
“Kalau sekiranya kita, setiap Imam salah dalam ijtihadnya dalam beberapa perkara berupa kekeliruan yang diampuni, lalu kita menyikapinya, mentabdi’nya dan menghajrnya, maka tidak ada yang selamat bagi kita, tidak Ibnu Nashr, tidak pula Ibnu Mandah, dan tidak pula yang lebih besar dari keduanya. Dan Allah yang memberi hidayah kepada manusia kepada kebenaran, Dialah Dzat yang Maha Pengasih. Maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan kekerasan”.
(Siyaru A’laam an-Nubalaa’, biografi Muhammad bin Nashr Al-Marwazi: 14/40)

Dan beliau juga berkata ketika menjelaskan biografi Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullah Ta’ala [4]:

ولو أن كل من أخطأ في اجتهاده مع صحة إيمانه وتوخيه لاتباع الحق أهدرناه وبدعناه لقل من يسلم من الأئمة معنا رحم الله الجميع بمنه وكرمه

(السير:14\376)


 
“Dan kalau sekiranya setiap orang yang keliru dalam ijtihadnya, dengan keimanannya yang benar dan usahanya dalam mengikuti al-Haq, kita membuang (kebaikannya) dan mentabdi’nya, maka sedikit orang yang selamat dari para Imam. Semoga Allah merahmati semuanya dengan anugerah dan kemuliaannya.” (As-Siyar, biografi Ibnu Khuzaimah :14/376)

Dan beliau juga berkata, tatkala menjelaskan biografi Qotadah bin Di’amah As-Sadusi rahimahullah Ta’ala [5]:

“Semoga Allah memberi udzur kepada orang-orang yang semisalnya yang (amalannya) dicampuri dengan bid’ah, yang dia menginginkan untuk mengagungkan sang Pencipta, dan mensucikannya dan mengerahkan segala kemampuannya.Dan Allah adalah hakim yang Maha Adil, Pengasih terhadap para hamba-Nya. Dia tidak ditanya terhadap apa saja yang dilakukan-Nya. Seorang yang besar dari para Imam - apabila banyak kebenarannya dan diketahui usahanya dalam mencari kebenaran, luas ilmunya, nampak kepandaiannya, diketahui keshalihan, sikap wara’ (kehati-hatiannya, red) dan ittiba’nya - maka diampuni kekeliruannya. Dan kita tidak menyesatkannya, lalu kita membuangnya dan lupa akan kebaikan-kebaikannya. Iya, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya dan kita mengharapkan taubat dari hal tersebut.” (As-Siyar:5/271)

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala:

من قواعد الشرع والحكمة ايضا ان من كثرت حسناته وعظمت وكان له في الاسلام تأثير ظاهر فإنه يحتمل له مالا يحتمل لغيره ويعفي عنه مالا يعفي عن غيره فإن المعصية خبث والماء إذا بلغ قلتين لم يحمل الخبث بخلاف الماء القليل فإنه لا يحمل ادنى خبث (مفتاح دار السعادة:1\218)

 
“Diantara kaidah syariat dan hikmahnya pula, bahwa siapa yang banyak dan melimpah kebaikannya dan memiliki pengaruh yang nampak dalam Islam, maka sesungguhnya dia dia diberi udzur - dengan sesuatu yang tidak diberi udzur terhadap yang lainnya - dan dimaafkan baginya - sesuatu yang tidak dimaafkan - bagi yang lainnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu najis dan air apabila telah mencapai dua qullah, maka tidak terpengaruh dengan adanya najis tersebut, berbeda dengan dengan air yang sedikit, tidak mampu memikul sedikit pun najis (yang bercampur dengannya) [6].” (Miftahu Dar as-Sa’adah: 1/218).

Demikian pula ketika Lajnah Daimah ditanya :
“Apa pendirian kita dari para Ulama yang menta’wil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi, Ibnul Jauzi dan selain mereka. Apakah kita menganggapnya dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau bagaimana? Apakah kita mengatakan bahwa mereka keliru dalam penakwilan, ataukah mereka orang-orang yang sesat ?”

Maka Lajnah menjawab:

(موقفنا من أبي بكر الباقلاني,والبيهقي وأبي الفرج ابن الجوزي,وأبي زكريا النووي وابن حجر وأمثالهم ممن تأول بعض صفات الله تعالى أو فوضوا في أصل معناها,أنهم في نظرنا من كبار علماء المسلمين الذين نفع الله الأمة بعلمهم,فرحمهم الله رحمة واسعة وجزاهم عنا خير الجزاء وأنهم من أهل السنة فيما وافقوا فيه الصحابة رضي الله عنهم وأئمة السلف في القرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم بالخير, وأنهم أخطؤوا فيما تأولوه من نصوص الصفات , وخالفوا فيه سلف الأمة وأئمة السنة رحمهم الله, سواء أولوا الصفات الذاتية وصفات الأفعال أم بعض ذلك )
 
“Pendirian kami dari Abu Bakar Al Baqilani, Al-Baihaqi, Abul Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakaria An-Nawawi, Ibnu Hajar dan yang semisal mereka, dari orang-orang yang menta’wil sebagian sifat-sifat Allah Ta’ala ,atau yang mentafwidh7 pada asal maknanya, - mereka menurut pandangan kami - termasuk pembesar ulama kaum muslimin yang Allah memberi manfaat kepada umat dengan ilmu mereka. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan terhadap apa yang telah ia berikan kepada kita. Dan mereka termasuk dari Ahlus Sunnah terhadap apa yang apa yang mereka mencocoki para Shahabat radhiallahu anhum dan para Imam Salaf - pada tiga kurun yang telah disaksikan oleh Rasulullah dengan kebaikan-. Dan bahwa mereka bersalah terhadap apa yang mereka ta’wil dari nash-nash sifat dan menyelisihi pendahulu umat ini dan para Imam Sunnah rahimahumullah. Sama saja apakah mereka menta’wil sifat Dzatiyyah dan sifat Fi’liyyah atau sebagiannya.”
(Lajnah Daimah no: 5082:3/178.Al-Adillah Asy-syar’iyyah, Abu Abdis Salaam Hasan bin Qasim:156-157)

Lajnah juga ditanya : “Apakah kekufuran pada sifat-sifat Allah? Apakah ada perbedaan antara seorang alim dengan seorang pembangkang dan yang mentakwil dalam hal tersebut ?”

Mereka menjawab:
“Pertama: kekufuran dalam sifat-sifat Allah adalah: mengingkari apa yang telah diketahui sesuatu yang tsabit (benar) setelah disampaikan kepadanya (hujjah), atau mengingkarinya dengan cara merubahnya dari asalnya - tidak ada syubhat – yang dengannya orang itu diberi udzur.

Kedua: barangsiapa yang menyelisihi kebenaran dalam hal itu dengan cara membangkang setelah adanya penjelasan dan penegakan hujjah, maka dia kafir dan tidak ada udzur. Dan barangsiapa yang menyelisihi hal tersebut dengan menta’wil karena adanya syubhat - yang seseorang diberi udzur dengannya-, maka dia keliru dan dia mendapat pahala atas ijtihadnya.” (Fatawa Lajnah Daimah,no: 9272:1/128. Al-Adillah Asy-Syar’iyyah:157)

Demikian pula Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Ta’ala tentang dua Hafidz yakni Ibnu Hajar dan An-Nawawi rahimahumallah. Maka beliau menjawab:

“Sesungguhnya dua hafidz (An-Nawawi dan Ibnu Hajar), keduanya memiliki andil dari amalan yang shalih dan manfaat yang besar pada umat Islam, walaupun terjadi pada keduanya kesalahan dalam mentakwil sebagian nash-nash sifat. Sesungguhnya itu tertutupi dengan apa yang dimiliki keduanya dari berbagai keutamaan dan manfaat yang banyak. Dan kita tidak menyangka tentang (kesalahan) yang ada pada keduanya melainkan muncul dari sebab ijtihad, dan adanya sisi penta’wilan walaupun menurut pendapat keduanya. Dan aku berharap kepada Allah agar termasuk diantara kesalahan yang diampuni. Dan apa yang keduanya telah menyumbangkan kebaikan dan manfaat dari amalannya yang disyukuri. Pada keduanya (Al Hafid Ibnu Hajar dan Imam Nawawi] diterapkan firman Allah :


إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ
 

“Sesungguhnya kebaikan menghapuskan kesalahan” (QS. Hud:114)

Pandangan kami bahwa keduanya termasuk dari Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Dan yang menjadi saksi atas hal tersebut, usaha keduanya dalam mendukung sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Serta semangatnya untuk menjernihkan apa yang dinisbahkan kepada Sunnah dari berbagai kotoran, dan menetapkan secara teliti apa yang telah ditunjukkan atasnya dari hukum-hukum. Namun keduanya menyelisihi ayat-ayat sifat dan haditsnya, atau sebagiannya dari metode Ahlus Sunnah, berdasarkan ijtihad yang keduanya telah keliru padanya. Maka kita berharap agar Allah memberi ampunan padanya.” (Kitab Al-Ilmu, kumpulan Nashir bin Fahd:212-23)

Berkata pula Syekh Al-Fauzan hafidzahullah Ta’ala:

من كان عنده أخطاء اجتهادية تأوَّل فيها غيره كابن حجر والنووي، وما قد يقع منهما من تأويل بعض الصفات لا يحكم عليه بأنه مبتدع، ولكن يُقال‏:‏ هذا الذي حصل منهما خطأ ويرجى لهما المغفرة بما قدماه من خدمة عظيمة لسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، فهما إمامان جليلان موثوقان عند أهل العلم‏.

 
“Siapa yang memiliki kesalahan dalam ijtihad, yang dia menta’wil padanya, seperti Ibnu Hajar, An-Nawawi dan apa yang kadang terjadi pada keduanya – dalam hal menta’wil sebagian sifat - maka tidak dihukumi dia sebagai ahli bid’ah. Namun dikatakan: yang terjadi pada keduanya adalah kesalahan yang diharapkan ampunan bagi keduanya, berdasarkan apa yang telah disumbangkannya berupa dukungan yang besar terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Maka keduanya adalah Imam yang mulia, yang dipercaya di kalangan ahli ilmu.” (Al-Muntaqa: 2/181).

Sungguh benar ucapan seorang penyair:

وإذا الحبيب أتى بذنب واحد جاءت محاسنه بألف شفيع
 
Jika seorang tercinta melakukan satu dosa
kebaikannya datang dengan seribu syafa’at

Apabila kita telah memahami hal ini –semoga Allah senantiasa memberi rahmat dan anugerahnya kepada kita sekalian-, maka seorang muslim wajib untuk menghormati ulamanya, mengenal kedudukan yang mulia yang Allah berikan kepada mereka. [Akan tetapi] bukan berarti mengharuskan seseorang untuk meninggalkan nasehat bagi kaum muslimin, tatkala terlihat adanya penyimpangan, kesalahan harus [diluruskan], agar kaum muslimin tetap berjalan di atas agamanya yang lurus, dengan petunjuk dan bimbingan Allah Azza wa Jalla, rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para ulama Salafus Saleh.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala:

لكن دين الإسلام إنما يتم بأمرين أحدهما معرفة فضل الأئمة وحقوقهم ومقاديرهم وترك كل ما يجر إلى ثلمهم والثاني النصيحة لله سبحانه ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم وإبانة ما أنزل الله سبحانه من البينات والهدى ولا منافاة –إن شاء الله - بين القسمين لمن شرح الله صدره وإنما يضيق عن ذلك أحد رجلين رجل جاهل بمقاديرهم ومعاذيرهم أو رجل جاهل بالشريعة وأصول الأحكام
 
“Agama Islam dapat sempurna dengan dua perkara:
Pertama: mengenal keutamaan para imam, hak-hak mereka, kedudukan mereka dan meninggalkan sesuatu yang mengantarkan celaan terhadap mereka.

Kedua: nasehat bagi Allah Azza wa Jalla, kitab-Nya, rasul-Nya, para Imam kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin. Dan menjelaskan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla berupa penjelasan dan hidayah. Dan tidak ada pertentangan –insya Allah- antara dua poin tersebut bagi orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah Azza wa Jalla. Hanya saja yang merasa sempit dadanya salah satu dari dua orang: seorang yang jahil tentang kedudukan dan udzur yang diberikan kepada mereka dan seorang yang jahil tentang syari’at dan prinsip-prinsip dalam hukum (Islam).” (al-Fatawa al-Kubra: 3/177-178).

Ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti tentang hakikat dakwah Ahlus Sunnah, lalu melontarkan berbagai tuduhan kepada Ahlus Sunnah dengan gelar “Dakwah Haddadiyyah”, lalu mentahdzir kaum muslimin darinya. Namun sebaliknya mereka memberikan pujian kepada para pembela Ihya At-Turots, mentazkiyahnya, bahkan menggelarinya dengan gelar “Buku Emas”. Hal ini disebabkan karena orang yang menuduh tersebut tidak mengerti tentang prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal-jama’ah itu sendiri. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar