Sabtu, 20 Agustus 2011

Meraih Khusyu’ Dalam Shalat (Bagian ke – 2)


Meraih Khusyu’ Dalam Shalat (Bagian ke – 2)

Pada edisi yang lalu telah dijelaskan tentang kedudukan dan keutamaan khusyu’ dalam shalat. Khusyu’ memilki peranan sangat penting dalam shalat, karena ia sebagai ruhnya. Atas dasar itu khusyu’ menjadi tolok ukur besar kecilnya nilai ats tsawab (pahala) di sisi Allah .
Karena orang yang shalat itu pada hakekat ia sedang berdo’a, bermunajat, dan berdzikir mengagungkan keagungan Rabb-nya. Allah berfirman (artinya): “Dan tegakkanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaha: 14)
Rasulullah juga menegaskan:
إِنَّ المُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّه فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِي بِهِ
“Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabb-nya, maka hendaklah ia memperhatikan apa yang ia munajatkan kepada-Nya.” (H.R. Al Bukhari dalam Af’alul ‘Ibad, lihat Shifat Shalatin Nabi hal. 100, karya Asy Syaikh Al Albani)
Pada edisi kali ini, akan disebutkan secara ringkas sebab-sebab yang dapat mendatangkan khusyu’. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:   

MERAIH KHUSYU’ DALAM SHALAT (Bagian ke-1)


MERAIH KHUSYU’ DALAM SHALAT (Bagian ke-1)

Khusyu’ merupakan kalimat yang tidak asing lagi bagi kita. Biasanya, kata khusyu’ ini digunakan sebagai sifat dari ibadah shalat. Walaupun khusyu’ ini sering disebut-sebut, namun dalam prakteknya tidaklah semudah mengatakannya ataupun membahasnya secara teori. Hal ini pun bisa kita rasakan sendiri, betapa susahnya menghadirkan khusyu’ dalam shalat. Sehingga masalah khusyu’ ini bukan perkara enteng (baca: ringan). Apalagi Rasulullah telah memberitakan bahwa pertama kali yang akan dicabut pada umat ini adalah khusyu’. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
أَوَّلُ شَيْئٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ الْخُشُوْعُ حَتَّى لاَ تَرَى فِيْهَا خَاشِعاً
“Pertama kali yang akan dicabut pada umat ini adalah khusyu’ sampai engkau tidak akan melihat lagi ada orang yang khusyu’.” (H.R Ath Thabrani dalam Al Kabir, dari sahabat Abu Dzar yang dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani).

Sudah menjadi maklum, bahwa shalat lima waktu merupakan rukun kedua dari rukun-rukun Islam. Menunjukkan ibadah shalat ini memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah . Selain itu, ibadah shalat merupakan tiang agama. Seseorang akan menjadi kokoh di atas agamanya bila ia telah menegakkan shalat dengan sebenar-benarnya. Rasulullah bersabda:
“Kepala dari seluruh perkara agama adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)
Oleh karena itu Allah menjadikan ibadah shalat ini sebagai barometer dari amalan-amalan ibadah lainnya. Maksudnya, bila shalat itu dikerjakan dengan baik sesuai petunjuk Rasulullah dan disertai khusyu’ maka amalan ibadah lainnya akan teranggap baik semua. Sebaliknya, bila shalatnya jelek maka amalan ibadah lainnya akan teranggap jelek semua. Sebagaimana Rasulullah menegaskan dalam haditsnya:
“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh Al Albani). 

Buletin Istiqomah ke 38 – Malam Seribu Bulan Lailatul Qadr pdf


Download File Kajian buletin Istiqomah ke 38 pdf
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/mediasalaf/File-PDF/Buletin-Istiqomah/buletin-Istiqomah-ke-38.pdf

SHALATLAH, DIMANA DAN BAGAIMANAPUN KEADAANMU!


SHALATLAH, DIMANA DAN BAGAIMANAPUN KEADAANMU!

Shalat Adalah Ibadah Para Nabi
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya ibadah shalat bukanlah dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, bahkan juga disyari’atkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Mereka pun memerintahkan kepada umat-umat mereka untuk mengerjakan shalat. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Isma’il adalah seorang nabi dan rasul, dan ia menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat.” (Maryam: 54-55)
“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu! Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaaha: 13-14)
Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan shalat mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan rasul.  

Buletin istiqomah ke 39 – Shalat Idul Fitri pdf


Download File Kajian buletin istiqomah ke 39 pdf
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/mediasalaf/File-PDF/Buletin-Istiqomah/buletin-istiqomah-ke-39.pdf

Hukum Orang yang Meninggalkan Sholat


Hukum Orang yang Meninggalkan Sholat
------------------------------------------------------------------------------------
Pembicaraan tentang hukum orang yang meninggalkan sholat tidak keluar dari dua permasalahan.

Pertama, para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang meninggalkan sholat dalam keadaan mengingkari dan menentang akan kewajibannya adalah kafir dan keluar dari agama Islam.

Kedua, perselisihan para ulama terjadi pada hukum orang yang meninggalkan sholat karena bermalas-malas dan menyibukkan diri dengan selainnya tanpa memiliki udzur, tetapi masih meyakini tentang kewajibannya (sholat).

Maka dalam hal ini, sebagian ulama ada yang mengkafirkannya, di antaranya Imam Ahmad, Ibnul Mubarok, dan yang lainnya. Demikian pula sebelumnya dari kalangan para sahabat seperti Umar ibnul Khoththob, Abu Hurairoh, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya. Berdalil dengan hadits Jabir, “Pembeda antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan sholat.” (HR Muslim) dan berdalil juga dengan atsar Abdullah ibnu Syaqiq, ia berkata, “Mereka para sahabat tidak melihat satu amalan pun yang apabila ditinggalkannya menyebabkan kafir selain amalan sholat.”

Adapun pendapat yang lainnya, tidak mengkafirkannya, akan tetapi menghukuminya dengan fasiq. Dan ini pendapat jumhur salaf dan khalaf, di antaranya Imam Malik, Asy Syafi’i, dan Abu Hanifah. Berdalil dengan ayat, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya bagi yang dikehendaki-Nya.”
Dan berdalil dengan hadits-hadits, di antaranya hadits yang dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam Al Jaami’, bahwa Allah mewajibkan atas hambanya sholat lima waktu, barangsiapa yang melaksanakannya maka Allah memiliki janji untuknya yakni akan dimasukkan ke dalam jannah dan jika sebaliknya maka Allah tidak memiliki janji untuknya. Jika Dia (Allah) berkehendak akan mengadzabnya, dan jika Dia berkehendak akan memasukkannya ke dalam jannah.

Jumhur ulama mentafsirkan pernyataan “kufur” yang terdapat dalam hadits-hadits tentang orang-orang yang meninggalkan sholat adalah kufur amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama selama dia meninggalkannya karena bermalas-malas dan bukan karena menentang hukum wajibnya.
Wal ‘ilmu indallah.

(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, bulletin al Wal wal Bara Edisi ke-8 Tahun ke-1 / 07 Februari 2003 M / 05 Dzul Hijjah 1423 H. Url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/8.htm#sub2)

SHALAT BERJAMA’AH PERINTAH AGAMA YANG KIAN DITINGGALKAN


SHALAT BERJAMA’AH PERINTAH AGAMA YANG KIAN DITINGGALKAN

Masjid merupakan sebuah tempat suci yang tidak asing lagi kedudukannya bagi umat Islam. Masjid selain sebagai pusat ibadah umat Islam, ia pun sebagai lambang kebesaran syiar dakwah Islam. Alhamdulillah…, kaum muslimin pun telah terpanggil untuk bahu-membahu membangun masjid-masjid di setiap daerahnya masing-masing. Hampir tidak dijumpai lagi suatu daerah yang mayoritasnya kaum muslimin kosong dari masjid. Bahkan terlihat renovasi bangunan masjid-masjid semakin diperlebar dan diperindah serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas, agar dapat menarik dan membuat nyaman jama’ah. Semoga semua usaha ini menjadi amal ibadah yang barakah karena mengamalkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللهِ بَنَى اللهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang membangun masjid karena mengharap wajah Allah, niscaya Allah akan bangunkan baginya semisalnya di al jannah.” (Al Bukhari no. 450)
Tentunya akan lebih barakah lagi bilamana mampu merealisasikan tujuan dibangunnya masjid. Salah satu fungsi dibangunnya masjid adalah menegakkan shalat berjam’ah di dalamnya. Ternyata, bila kita menengok kondisi masjid-masjid yang ada terlihat shaf (barisan) ma’mum semakin maju alias sepi dari jama’ah. Bahkan ada beberapa masjid yang tidak menegakkan shalat berjama’ah lima waktu secara penuh. Kondisi ini seharusnya menjadikan kita tersentuh untuk bisa berupaya dan ikut serta bertanggung jawab dalam mamakmurkan masjid. 

Memberi Salam dan Berjabat Tangan dalam Islam


Memberi Salam dan Berjabat Tangan dalam Islam
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya? Tidak ada kebaikan yang didapat bahkan pelanggaran syariatlah yang terjadi.

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal pdf


Buletin istiqomah ke 40 – Puasa Enam Hari di Bulan Syawal pdf
--------------------------------------------------------------------

Download File Kajian buletin istiqomah ke 40 pdf
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/mediasalaf/File-PDF/Buletin-Istiqomah/buletin-istiqomah-ke-40.pdf

Wajibnya Shalat Berjama'ah


Fiqih
Previous Top Next

Wajibnya Shalat Berjama'ah


Penulis: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah

Dari Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada kaum muslimin, semoga Allah memberi mereka taufiq menuju apa yang dia ridloi dan mengumpulkan kita semua bersama orang-orang takut dan bertaqwa kepada Allah. Amin.
As Salamu ‘alaikum wa rahmatulahi wa barakatuhu. Amma ba’du:

Sampai berita kepada saya bahwa kebanyakan orang telah melalaikan penunaian shalat dengan berjama’ah. Mereka beralasan dengan penggampangan oleh sebagian ulama dalam masalah itu. Maka wajib bagiku untuk menjelaskan perkara yang agung dan hebat ini.



Selayaknya seorang muslim tidak meremehkan suatu perkara yang Allah malah menganggapnya besar dalam Al Qur’an. Dan rasul-Nya juga melakukan demikian. Semoga shalawat dan salam tercurah atas beliau dengan sebaik-baik shalawat dan salam. Allah sering sekali menyebut tentang shalat dalam Al Qur’an. Dan juga membuat masalahnya besar. Allah menyuruh untuk menjaganya dan menunaikannya dengan berjama’ah. Allah mengabarkan bahwa sikap meremehkannya dan bermalas-malas menunaikannya termasuk sifat orang munafik. Allah mengatakan dalam Kitab-Nya yang Jelas:

“Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha. Dan berdirilah (kalian semua) karena Allah (dalam shalat) dengan khusyu’ ” (Al Baqarah: 238)

Delapan Poin ttg “Sholatnya” Muslimah di Masjid


Delapan Poin ttg “Sholatnya” Muslimah di Masjid
-------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid.

Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, di antara shahabiyah (shahabat Rasulullah dari kalangan wanita, red) ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka. (Lihat kembali Salafy edisi IX/Rabiul Akhir 1417/1996 rubrik Ahkam yang membahas tentang hukum shalat berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah 1417/1997 rubrik Kajian Kali Ini).

Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga di antaranya kami sebutkan berikut ini : 

Sunnah-sunnah Para Nabi


Sunnah-sunnah Para Nabi

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Semua orang pasti cinta kebersihan dan kesucian sampai ada ungkapan "kebesihan pangkal kesehatan". Kebersihan dan kesucian amatlah diperhatikan oleh Islam baik pada batin maupun lahiriah seseorang. Namun tentunya harus sesuai batasan Allah dan Rasul-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Jangan keterlaluan dalam menjaga kebersihan sampai keluar dari ketaatan, seperti orang yang tak mau shalat di masjid yang tak beralas karpet dengan alasan menjaga kebersihan, padahal masjidnya tak bernajis!! Jangan pula teledor dalam menjaga kebersihan sampai melanggar batas, seperti sebagian supir mobil yang suka kencing berdiri di sembarang tempat, lalu shalat, padahal badan atau pakaiannya terkena najis kencing!!!
Agama Islam yang suci ini adalah agama yang menjaga fithrah yang Allah telah perintahkan kepada nabi-nabi dan rasul sebelum diutusnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Fithrah ini melambangkan kesucian dan kebersihan para anbiya’ dan pengikutnya. Allah berfirman,
"Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud". (QS. An-Nisaa’: 163).
Di antara perkara yang Allah wahyukan kepada para nabi dan rasul –termasuk Nabi kita Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- – adalah 5 perkara yang biasa disebut dengan "Sunanul fithrah".
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ ( أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ) الْخِتَانُ وَالْاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
"Fithrah itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis". [HR. Al-Bukhoriy (5889), Muslim (257), Abu Dawud (4198), dan An-Nasa'iy (9)]

Hukum Asal Segala Sesuatu itu Suci


Hukum Asal Segala Sesuatu itu Suci
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :

• Setiap yang halal itu suci

• Setiap yang najis itu haram

• Tidaklah setiap yang haram itu najis (Asy Syarhul Mumti, 1/77)

Menyambung pembicaraan kami dalam edisi terdahulu tentang pembahasan najis yang sepanjang pengetahuan kami kenajisannya disepakati oleh ulama , maka dalam edisi kali ini kami akan memaparkan apa-apa yang sepanjang pengetahuan kami diperselisihkan masalah kenajisannya, disertai dengan penjelasan mana yang rajih (kuat) dari perselisihan itu, apakah itu najis atau bukan najis, wallahu al muwaffiq. 

Jumat, 19 Agustus 2011

syarah Qawaidul Arba’ Kaidah yang keempat


Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Kaidah yang keempat: Bahwa kaum musyrikin pada zaman kita ini lebih besar kesyirikannya dari pada (kaum musyrikin) terdahulu, karena (kaum musyrikin) dahulu berbuat syirik (ketika) keadaan senang dan mereka ikhlas dalam keadaan susah. Sementara kaum musyrikin zaman kita, kesyirikan mereka terus-menerus dalam keadaan senang maupun susah, dan dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai kedarat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Al Ankabut: 65)
SYARAH: 

syarah Qawaidul Arba’ Kaidah yang ketiga


Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Kaidah yang ketiga: Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam muncul pada manusia yang ibadahnya berbeda-beda. Diantara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah para Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah batu-batu dan pohon-pohon, dan ada yang menyembah matahari dan bulan dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerangi mereka tanpa membeda-bedakannya. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلّه
 “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk Allah.” (Al Anfal: 39)
SYARAH: 

syarah Qawaidul Arba’ Kaidah yang kedua


Berkata syaikh (Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) rahimahullah :
Kaidah yang kedua : Bahwasanya mereka menyatakan : “Tidaklah kami berdo’a kepada mereka serta menghadap mereka kecuali untuk mencari qurbah (kedekatan) dan syafa’at. Dalilnya qurbah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“dan orang-orang yang mengambil pelindung selain allah (berkata) : “kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (Az Zumar : 3)
SYARAH : 

Kamis, 18 Agustus 2011

syarah Qawaidul Arba’ Kaidah yang pertama


Berkata Syaikh (Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) rahimahullah :
Kaidah yang pertama : ketahuilah! Bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam –mereka itu- mengekui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta dan pengatur, namun hal tersebut tidak memasukkan mereka kedalam agama Islam. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“Katakanlah : Siapakah yang memberimu rezeki dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengetur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab “Allah” Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Yunus : 31) 

syarah Qawaidul Arba’


Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Amma ba’du;
Ini adalah syarah Qawaidul Arba’ yang dikarang oleh syaikul Islam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Karena aku melihat tidak ada orang yang mensyarahnya, maka aku ingin mensyarahnya sesuai dengan kekuatan dan kemampuanku. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni kekuranganku didalamnya.
Berkata mu’allif (pengarang) rahimahullah :

Kekeliruan & Kesalahan di Hari Raya


Kekeliruan & Kesalahan di Hari Raya


Hari raya adalah hari bergembira bagi seluruh ummat Islam di Indonesia Raya, bahkan di seluruh dunia. Ini merupakan nikmat dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Namun kegembiraan ini terkadang disalahsalurkan oleh sebagian kaum muslimin dalam beberapa bentuk pelanggaran berikut:

Sunnah Ied yang Hampir Terlupakan


Sunnah Ied yang Hampir Terlupakan


‘Ied "lebaran" merupakan hari berbahagia dan bersuka cita bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kegembiraan ini nampak di wajah,tindak-tanduk dan kesibukan mereka. Orang yang dulunya berselisih dan saling benci, pada hari itu saling mema’afkan. Ibu-ibu rumah tangga sibuk membuat berbagai macam kue, ketupat, makanan yang akan dihidangkan kepada para tamu yang akan berdatangan pada hari ied. Bapak-bapak sibuk belanja baju baru buat anak dan keluarganya. Para pekerja dan penuntut ilmu yang ada diperantauan nun jauh di negeri orang sibuk menghubungi keluarga mereka, entah lewat surat atau telepon.
Di balik kesibukan dan kegembiraan ini, terkadang mengantarkan sebagian manusia lalai untuk mempersiapkan apa yang mereka harus kerjakan di hari Ied. Diantaranya, seperti berikut ini

Shalat Ied di Lapangan


Shalat Ied di Lapangan


Ada suatu pemandangan yang terkadang menarik perhatian, yaitu adanya dua kubu kaum muslimin yang mengadakan sholat ied. Kubu yang pertama melaksanakan sholat ied di lapangan, dan kubu yang kedua sholat ied di masjid. Terkadang kaum muslimin pusing tujuh keliling melihat fenomena perpecahan seperti ini. Tragisnya lagi, jika yang berselisih dalam hal ini adalah dua organisasi besar di Indonesia Raya. Nah, manakah yang benar sikapnya dalam perkara ini sehingga harus didukung. Ikuti pembahasannya berikut ini:
Jika kita adakan riset ilmiah berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah, maka kita akan menemukan bahwa hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendukung kubu yang melaksanakan sholat ied di lapangan.
Pembaca yang budiman, hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-  menunjukkan bahwa Sholat ied: idul fitri, maupun iedul adha, semuanya beliau kerjakan di lapangan.

ZAKAT FITHRAH


ZAKAT FITHRAH

Sesungguhnya bulan bulan Ramadhan yang mulia ini akan segera pergi meninggalkan kita, dan tidak tersisa dari bulan tersebut kecuali waktu yang pendek. Maka barangsiapa di antara kalian yang telah berbuat kebaikan hendaknya dia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kebaikan tersebut dan hendaknya meminta kepada-Nya agar kebaikan tersebut diterima. Barangsiapa yang lalai maka hendaknya dia bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meminta ampunan atas kekurangannya, karena meminta ampunan sebelum datangnya kematian akan diterima.
Saudara-saudaraku, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan kepada kalian pada penghujung bulan Ramadhan untuk menunaikan Zakat Fithrah sebelum pelaksanaan Shalat ‘Id,. Pada majelis ini kita akan membicarakannya tentang hukumnya, hikmahnya, jenisnya, ukurannya, waktu kewajibannya, penyerahannya, dan tempatnya.

HUKUM ZAKAT FITHRAH
Adapun hukumnya maka zakat fithrah merupakan suatu kewajiban dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin, dan segala sesuatu yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang beliau perintahkan hukumnya sama dengan segala sesuatu yang diwajibkan  atau diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (80) [النساء/80]
“Barangsiapa yang mentaati Rasul maka berarti dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi penjaga mereka“. (An Nisa’:80)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا  [النساء/115]
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (yakni Para Shahabat Nabi), Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah menguasainya, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (An Nisa’:115)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman juga :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  [الحشر/7]
“Dan apa yang datang kepada kalian dari Rasul terimalah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (Al Hasyr:7)
Zakat fithrah merupakan suatu kewajiban bagi orang dewasa, anak kecil, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, dan budak (hamba sahaya) dari kaum muslimin.
Berkata ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah mewajibkan zakat fithrah berupa 1 shaa’ kurma, atau 1 shaa’ gandum, atas seorang budak, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, dan orang dewasa dari kaum muslimin”. (Muttafaqun’alaih)
Tidak diwajibkan bagi janin yang masih berada dalam kandungan, kecuali kalau dia mengeluarkan zakat tersebut karena ingin melakukan perbuatan yang sunnah, maka hal yang seperti ini tidak mengapa,
Dahulu Amirul Mukminin Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu telah mengeluarkan zakat fithrah untuk janin yang masih berada dalam kandungan.
Wajib mengeluarkannya oleh dirinya sendiri, begitu pula dari orang-orang yang berada di bawah tanggungannya seperti istri atau saudara jika mereka tidak mampu untuk mengeluarkannya dari diri mereka sendiri. Jika mereka mampu maka yang lebih utama adalah dengan mengeluarkannya dari diri mereka sendiri, karena secara asal mereka adalah pihak yang dikenai syari’at zakat fithrah.
Tidak diwajibkan kecuali bagi orang yang mempunyai nafkah lebih dari apa yang dia butuhkan pada Hari ‘Id dan malamnya. Jika pada Hari ‘Id dan malamnya dia tidak mempunyai makanan kecuali kurang dari 1 shaa’ , maka dia tidak terkenai kewajiban membayar Zakat Fithri, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم [التغابن/16]
“Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (At Taghabun:16)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka kerjakanlah semampu kalian”. (Muttafaqun’alaih)

HIKMAH
Adapun hikmah Zakat Fithrah maka sangat jelas sekali, di dalamnya terdapat kebaikan terhadap orang-orang fakir, dan mencegah mereka dari meminta-minta pada hari-hari ‘Id sehingga mereka bisa bergabung bersama orang-orang kaya dalam kegembiraan dan kesenangan dengan datangnya Hari ‘Id, sehingga jadilah ‘Id dirayakan oleh seluruh kaum muslimin.
Kemudian dalam penunaiannya terdapat sifat yang mulia, senang berbuat sosial dan juga terdapat penyucian bagi orang yang berpuasa terhadap segala kekurangan yang terjadi ketika dia berpuasa, perbuatan lalai, dan dosa. Di dalamnya juga terdapat pula penampakan rasa syukur atas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sempurnanya puasa bulan Ramadhan, qiyamullail, dan melakukan amalan-amalan shalih sesuai dengan kemampuan selama bulan Ramadhan.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:    
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah mewajibkan zakat fithrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan perkataan kej,i dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat id maka ia sebagai zakat (fithrah) yang diterima, namun barangsiapa menunaikannya setelah shalat Ied, maka ia sebagai shadaqah dari shadaqah-shadaqah yang ada (tidak terhitung sebagai zakat fithrah -red)”. (H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah[1]

JENISNYA
Adapun jenis/macam yang wajib ditunaikan dalam Zakat Fithrah adalah makanan pokok manusia berupa kurma, gandum, beras, kismis, al aqith (susu yang mengeras semacam keju), atau yang lainnya dari makanan pokok manusia. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits yang diriwayatkan dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan  zakat fithrah berupa satu shaa’ kurma atau gandum“.
Dan ketika itu gandum merupakan makanan pokok mereka sebagaimana perkataan Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu :
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
Dahulu kami di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengeluarkan ketika hari fithrah (id) berupa 1 shaa’ dari makanan,
Abu Sa’id berkata : “Dan ketika itu makanan kami adalah gandum, kismis, al aqith (susu yang mengeras sejenis keju), dan kurma”. (H.R Al Bukhari no. 1414)
Maka tidak boleh mengeluarkan makanan untuk hewan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkannya sebagai makanan bagi orang-orang miskin, bukan untuk hewan.
Dan tidak boleh pula mengeluarkan Zakat Fithrah berupa pakaian, kasur, perkakas-perkakas, harta benda, dan sebagainya yang bukan makanan pokok manusia. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkannya berupa makanan, maka apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dilanggar.

Dan tidak tidak boleh mengeluarkan zakat fithri berupa uang senilai makanan,
karena itu menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah diriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa berbuat suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka amalan tersebut tertolak“.
Dalam riwayat yang lain:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ منه فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian darinya, maka tertolak. “ (H.R Muslim asalnya dari Ash Shahihain)
Karena mengeluarkan uang menyelisihi perbuatan para shahabat radiyallahu anhum ketika dahulu mereka mengeluarkan zakat fithrah berupa 1 shaa’ makanan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي
“Wajib atasw kalian untuk berpegang sunnahku dan sunnah Al Khulafa Ar Rasyidin Al Mahdiyin setelahku”.
Kemudian Zakat Fithrah merupakan ibadah yang diwajibkan dari jenis/macam tertentu, sehingga tidak boleh mengeluarkan jenis/macam yang tidak ditentukan, sebagaimana tidak boleh ketika dikeluarkan tidak pada waktu yang ditentukan. Dan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan dari jenis-jenis tertentu yang berbeda dan nilai/harga-harganya kebanyakan berbeda. Kalau seandaninya uang teranggap (di dalam penunaian Zakat Fithrah) maka pastilah yang diwajibkan 1 shaa’ dari satu jenis (makanan tertentu), dan yang setara dengan harganya untuk jenis-jenis makanan lainnya.
Di samping, mengeluarkan Zakat Fithrah dalam bentuk uang meniadakan momen Zakat Fithrah dari keadaannya sebagai syi’ar yang terlihat/terlihat jelas menjadi sedekah yang tersembunyi. Karena dengan mengeluarkan Zakat Fithrah berupa 1 shaa’ makanan akan menjadikannya terlihat/terlihat di antara kaum muslimin, diketahui oleh anak kecil dan orang dewasa, mereka menyaksikan penimbangannya dan pembagiannya serta saling mengenal diantara mereka. Berbeda ketika seseorang mengeluarkan dirham-dirham (uang) untuk Zakat Fithrah yang tersembunyi antara dia dengan penerima.

UKURAN
Adapun ukuran Zakat Fithrah adalah 1 shaa’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beratnya ketika ditimbang mencapai 480 mitsqal dari biji gandum yang baik, sedangkan dengan ukuran gram mencapai 2,040 Kg dari gandum yang baik. Karena
1 mitsqal = 4, 25 gram
sehingga ukuran 480 mitsqal = 480 x 4,25 = 2.040 gram = 2, 040 Kg.
Jika menginginkan untuk mengetahui ukuran 1 shaa’ nabawy, maka timbanglah 2,040 Kg gandum yang baik, kemudian letak pada satu tempat, kemudian timbanglah dengan berpatokan dengannya.

WAKTU
Adapun waktu penunaian kewajiban Zakat Fithrah adalah ketika tenggelamnya Matahari pada malam Idul Fithri. Maka barangsiapa yang terkena kewajiban zakat ketika itu wajib baginya untuk menunaikan zakat dan jika tidak terkena kewajiban maka tidak diwajibkan untuk berzakat.
Oleh karena itu, apabila seseorang meninggal sebelum tenggelamnya matahari walaupun beberapa detik sebelumnya, maka tidak wajib atasnya untuk berzakat fithrah. Adapun jika meninggal setelah tenggelamnya Matahari, walaupun beberapa detik saja, wajib atas dia untuk mengeluarkan zakat fithrah.
Jika seorang bayi dilahirkan setelah tenggelamnya Matahari walaupun beberapa detik setelahnya, maka tidak wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat, akan tetapi disunnahkan untuk mengeluarkannya sebagaimana keterangan sebelumnya. Dan jika dilahirkan sebelum tenggelamnya Matahari walaupun beberapa detik sebelumnya, wajib untuk mengeluarkan zakat fithrah.
Hanyalah waktu penunaian kewajiban Zakat Fithrah adalah ketika tenggelamnya Matahari pada malam ‘Idul Fithri karena waktu itu merupakan waktu selesainya puasa Ramadhan. Zakat Fithrah dikaitkan dengan hal tersebut, sebagaimana dikatakan : ‘Zakat Fithri (selesai) dari Ramadhan’
Maka keterkaitan hukumnya adalah dengan waktu tersebut.
Adapun waktu penyerahan zakat fithrah maka ada 2 waktu : waktu yang utama dan waktu yang dibolehkan.
Waktu yang utama adalah ketika pagi hari ‘Idul Fithri (yakni sebelum pelaksanaan shalat ‘Id) sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Dahulu kami di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan (zakat) pada pagi hari idul fithri berupa 1 shaa’ makanan“
dan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berzakat fithrah agar ditunaikan sebelum keluarnya kaum muslimin  untuk menunaikan Shalat ‘Id”.(H.R Muslim dan yang lainnya)

Oleh karena itu yang lebih utama adalah mengakhirkan Shalat ‘Id pada ‘Idul Fithri, agar waktu untuk mengeluarkan zakat fithrah lebih luas.
● Adapun waktu yang dibolehkan, adalah sehari atau dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Nafi’ berkata:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنْ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dahulu Ibnu Umar memberikan Zakat Fithrah dari anak kecil dan orang dewasa sampai dia memberikan kepada anakku, dan Ibnu Umar memberikan zakat fithrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dan mereka memberikan zakat fithrah sehari atau dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri“.
Tidak boleh mengakhirkan Zakat Fithrah setelah usai pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri, jika diakhirkan tanpa ada alasan maka zakatnya tidak diterima karena menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah lewat penjelasannya dari hadits Ibnu Abbas shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa barangsiapa yang menunaikannya sebelum Shalat ‘Id maka itu adalah Zakat Fithrah yang diteriman, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah Shalat ‘Id maka itu teranggap sedekah dari sedekah-sedekah yang ada (tidak terhitung sebagai zakat fithrah -red).
Namun jika mengakhirkannya karena alasan/sebab, maka tidak mengapa. Contohnya masuk ‘Idul Fitri bertepatan ketika dia berada di suatu tempat (daratan) yang dia tidak mempunyai sesuatu yang bisa diserahkan atau tidak ada seorangpun yang bisa diberi, atau datang kabar tentang hari raya ‘Idul Fithri secara tiba-tiba/mendadak sehingga tidak memungkinkan bagi dia untuk mengeluarkannya sebelum Shalat ‘Id, atau seseorang sudah siap mengeluarkan zakat namun ternyata ia lupa, maka diperbolehkan bagi dia untuk mengeluarkannya walaupun setelah Shalat ‘Id, karena dia mempunyai udzur (alasan) dalam permasalahan ini.

PENYERAHANNYA
Yang wajib sampainya zakat fithrah kepada pihak yang berhak menerimanya atau wakilnya pada waktunya sebelum Shalat Id. Jika berniat bahwa zakat fithrah untuk orang tertentu namun ternyata tidak sampai padanya atau pada wakilnya pada saat pembagian zakat, maka hendaknya dia menyerahkannya kepada orang lain yang berhak menerima zakat, dan tidak mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan.

TEMPAT PENYERAHANNYA
Adapun tempat penyerahannya, maka Zakat Fithrah diserahkan kepada orang-orang fakir setempat, yang dia tinggal di tempat tersebut ketika dibagikan zakat, sama saja apakah tempat tinggalnya atau yang lainnya dari daerah kaum muslimin terlebih lagi jika tempatnya mempunyai keutamaan seperti Makkah dan Madinah, atau karena orang-orang fakir di suatu tempat tertentu lebih membutuhkan. Apabila di suatu daerah tidak dijumpai seseorang yang berhak untuk diberi zakat fithrah atau tidak diketahui siapa yang berhak untuk mendapatkannya, maka diserahkan di tempat lain yang di situ terdapat orang-orang yang berhak menerima zakat.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITHRAH
Sedangkan orang-orang yang berhak menerima Zakat Fithrah adalah orang-orang yang fakir, orang yang mempunyai hutang yang tidak mampu untuk membayarnya. Mereka diberi sesuai dengan kebutuhannya. Diperbolehkan membagi zakat fithrah kepada lebih dari 1 fakir, dan boleh juga menyerahkan sejumlah zakat fithrah kepada 1 orang miskin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan kewajiban dan tidak membatasi siapa yang diberi Zakat Fithrah. Oleh karena itu kalau sejumlah orang mengumpulkan Zakat Fithrah mereka dalam satu tempat setelah ditimbang, kemudian mereka menyerahkannya tanpa ditimbang untuk kedua kalinya, maka hal ini boleh  bagi mereka.
(diterjemahkan dari Majalis Syahri Ramadhan dengan beberapa penyesuaian oleh Ust. Abu Ahmad Kediri)


HUKUM TIDAK MEMBAYAR ZAKAT FITHRAH

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum orang yang tidak menunaikan zakat fithrah?
Jawaban: Tidak menunaikan zakat fithrah hukumnya haram, karena keluar dari apa yang telah diwajibkan oleh Rasulullah r, sebagaimana yang telah lalu dari hadits Ibnu Umar t :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan  zakat fithrah” (H.R Al Bukhari dan Muslim)
Dan telah diketahui tentang haramnya meninggalkan perkara-perkara yang diwajibkan, masuk didalamnya perbuatan dosa dan maksiat.
Wallahua’lam

[1] Hadits ini dikeluarkan juga oleh Ad Daraquthni, Al Hakim dan dishahihkannya.

10 TERAKHIR RAMADHAN DAN LAILATUL QADAR


10 TERAKHIR RAMADHAN DAN LAILATUL QADAR

(Mengenali dan Meraih Keutamaannya)
Ust. Abu Ahmad Kadiri
Ust. Abu ‘Amr Ahmad

Segala puji hanya bagi Allah, yang telah menyampaikan kita dipenghujung 10 hari kedua bulan Ramadhan. Sebentar lagi kita akan memasuki 10 ketiga atau terakhir bulan Ramadhan. Hari-hari yang memiliki kelebihan dibanding lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan ini meningkat amaliah ibadah beliau yang tidak beliau lakukan pada hari-hari lainnya.
Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر - أي العشر الأخير من رمضان - شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله . متفق عليه
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki 10 terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya (yakni meningkat amaliah ibadah beliau), menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan istri-istrinya.” Muttafaqun ‘alaihi

Raihlah Keutamaan di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan!


Raihlah Keutamaan di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan!


Keutamaan Lailatul Qadar
Lailatul Qadar adalah suatu malam yang penuh dengan keutamaan dan barokah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala Yang Maha Pemberi barakah telah menjelaskan hal itu dalam surat Al Qadr (artinya):
“Dan tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu?. Yaitu suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 2-5)
Sehingga malam itu pun dipenuhi barakah yang berlimpah ruah, sebuah ibadah yang dilakukan pada malam itu dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama seribu bulan selain Ramadhan. Tentu keutamaan yang amat besar ini akan membuat hati yang jernih dan akal yang sehat terdorong dan berharap untuk dapat meraihnya.

Tentang Fidyah


Tentang Fidyah


Pihak - Pihak Yang Terkenai Hukum Fidyah
Di antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala  dalam shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala  :
( (وعلى  الذين يطيقونه فدية طعام مسكين ) البقرة : 184
‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]

Tentang Fidyah


Tentang Fidyah


Pihak - Pihak Yang Terkenai Hukum Fidyah
Di antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala  dalam shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala  :
( (وعلى  الذين يطيقونه فدية طعام مسكين ) البقرة : 184
‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]

Konsultasi Ramadhan : Cara Membayar Fidyah, dan apa boleh diganti uang?

 

Konsultasi Ramadhan : Cara Membayar Fidyah, dan apa boleh diganti uang?

Pertanyaan :
Assalamu’alaykum
Ana mau tanya beberapa pertanyaan seputar puasa ramadhan:
- Apakah membayar fidyah (orang tua yang sudah renta) harus dibayarnya setiap hari selama bulan ramadhan? kapan waktunya?
- Apakah boleh membayar fidyah di akhir bulan ramadhan/sesudah bulan ramadhan dengan sekaligus?
- Dan bolehkah membayar fidyah dalam bentuk uang? mohon dijelaskan dengan dalilnya ya!

Jazakumullahu khairan

Konsultasi Ramadhan : Seputar Fidyah


Konsultasi Ramadhan : Seputar Fidyah


assalamu’alaikum……
melanjutkan pertanyaan ttg fidyah yg dirilis tgl 29 agustus 2009
maka ingin ana tanyakan adalah :
1. Bolehkah Fidyah dibayar oleh anaknya karena orang tua sudah tua/tidak berpenghasilan
2. Bagaimana menentukan nominal/acuan harga makanan yang kita berikan kepada yang berhak
3. Dalam jwban antum pada fatawa, risalah Ramadhan tgl 29.08.2009 hal-hal dari surat Al-Baqarah:184 …”memberi makan seoang miskin”.
Ingin ana tanyakan bagaimana kriteria orang miskin dimaksud, apakah siapa saja asal miskin tanpa melihat muslin atau tidaknya atau harus orang miskin yang berpuasa.
Ana juga bingung menentukan kriteria orang miskin apakah seperti pemulung, tukang becak, karena mereka-mereka ini tidak jarang walaupun pemulung atau tukang becak tapi sudah mempunyai handphone dll. Apakah ini juga disebut sebagai orang miskin?
mohon penjelasan. Jazakullahu khairan

FIDYAH DAN BERBAGAI HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA


FIDYAH DAN BERBAGAI HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA


Di antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah subhanahu wata’ala pada shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala :
)وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ (البقرة: ١٨٤
‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]

Hukum Wanita Shalat Tarawih di Masjid


Konsultasi Ramadhan : Hukum Wanita Shalat Tarawih di Masjid


assalamualaikum,,,
afwan saya mau bertanya mengenai shalat tarawih yang lebih baik dikerjakan oleh wanita dengan berjamaah di Masjid atau di rumah?? jazakummulloh khoiron atas penjelasan rakaat tarawih nya.

SHALAT TARAWIH


SHALAT TARAWIH

(Jumlah Rakaat, Perbedaan Pendapat tentangnya, dan Cara Menyikapinya)

Jumlah Raka’atnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Tarawih 11 raka’at. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah dari 11 raka’at hingga beliau berpisah dengan dunia. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah ditanya tentang shalat (Tarawih) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, maka beliau menjawab :

SHALAT TARAWIH


SHALAT TARAWIH

oleh : Al-Ustadz Abu ‘Amr Ahmad

Shalat Malam merupakan ibadah yang sangat utama, banyak dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur`an. Di antaranya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ * آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ * كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ * وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ * وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ *
Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (tidak meminta). (Adz-Dzariyat : 15 - 19)

Konsultasi Ramadhan : Wanita Hamil dan Menyusui Tetap Berpuasa


Konsultasi Ramadhan : Wanita Hamil dan Menyusui Tetap Berpuasa


Assalamualaikum…
Terdapat perbedaan ulama hukum untuk wanita hamil dan menyusui yang tidak meninggalkan puasa, mohon petunjuk mana pendapat yang palin kuat (berdasarkan dalil yang shohih)
Terima kasih
Wassalam
WG
Jawab :
(dijawab oleh Abu  ‘Amr Ahmad)
Al-Lajnah Ad-Da`imah menyatakan dalam salah satu fatwanya sebagai berikut :

Konsultasi Ramadhan : Menunda Pembayaran Hutang Puasa



Konsultasi Ramadhan : Menunda Pembayaran Hutang Puasa

HUKUM MENUNDA PEMBAYARAN HUTANG PUASA
HINGGA TIBA RAMADHAN TAHUN BERIKUTNYA

Pertanyaan :
Seseorang memiliki tanggungan/hutang beberapa hari puasa Ramadhan. Namun hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya ternyata ia belum juga mengqodho’ (mengganti kewajiban/membayar) hutang puasanya tersebut. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan? Apakah ia berdosa, dan apakah gugur kewajibannya?
Jawab :

Konsultasi Ramadhan : Mengucapkan Selamat dengan Datangnya Bulan Ramadhan (Revisi)


HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT
DENGAN DATANGNYA BULAN RAMADHAN

Pertanyaan : Sering kita mendengar, banyak kaum muslimin yang mengucapkan selamat dengan datangnya bulan Ramadhan. Misalnya mengucapkan “Ramadhan Mubarak.” Apakah perbuatan ini boleh dalam syari’at?
Pertanyaan ini telah dijawab oleh dua ‘ulama besar masa ini.

Konsultasi Ramadhan : Haidh Bukan Penghalang Puasa?

Pertanyaan :
Assalamualaikum
Mohon pencerahan. Ada yg mengatakan haid tdk termasuk halangan untuk shaum karena beda dg shalat yg harus suci. Bagaimana?
LUKMAN - ….@yahoo. …
Jawab :

Keistimewaan Bulan Ramadhan Keutamaan dan Manfaat Puasa


Keistimewaan Ramadhan - Keutamaan dan Manfaat Puasa


Keistimewaan Bulan Ramadhan
Keutamaan dan Manfaat Puasa

Segala puji bagi Allah ta’ala Dzat yang telah memberikan anugerah, taufiq dan kenikmatan. Dia-lah yang telah mensyari’atkan kepada hamba-Nya pada bulan Ramadhan untuk melaksanakan ibadah puasa dan menegakkan pada malam harinya ibadah shalat malam (shalat tarawih). Syari’at ini satu kali dalam tiap tahunnya. Allah ta’ala telah menjadikan syariat puasa tersebut sebagai salah satu rukun Islam dan pondasinya yang agung serta menjadikannya sebagai pembersih jiwa dari kotoran dosa-dosa.
Shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan kepada Nabi Muhammad yang Allah ta’ala telah memilihnya (di antara hamba-hamba-Nya) untuk menjelaskan hukum-hukum Allah dan menyampaikan syariat Allah Ta’ala kepada manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang yang paling baik dalam hal puasa dan shalat malamnya. Dan memang beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang yang dapat menyempurnakan peribadahan kepada Allah serta beristiqamah di atasnya. Shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan pula kepada keluarganya dan para sahabatnya yang mulia serta kepada segenap pengikutnya yang mengikuti jejak langkah beliau dengan baik. Amma ba’du.
Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan syariat puasa kepada setiap umat walaupun di sana terdapat perbedaan dalam hal bentuk pelaksanaan dan waktunya. Allah ta’ala berfirman
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ )
Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan berpuasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al Baqarah: 183)
Pada tahun kedua hijriyyah, Allah ta’ala mewajibkan kepada umat ini puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada setiap muslim yang baligh. Jika seseorang berada pada kondisi sehat dan mukim (tidak dalam keadaan safar), maka wajib baginya melaksanakan puasa tersebut. Jika seseorang sedang dalam keadaan mukim namun sakit (boleh baginya untuk tidak berpuasa) wajib atasnya untuk mengganti hari-hari puasa yang dia tinggalkan. Demikian pula dengan keadaan seorang wanita yang sedang dalam keadaan haid dan nifas, wajib baginya untuk mengganti hari-hari puasa yang dia tinggalkan. Dan kalau seseorang tersebut dalam kondisi sehat dan sedang melakukan perjalanan (safar), maka dia mendapatkan keringanan antara tetap berpuasa atau tidak berpuasa dengan menggantinya pada hari yang lain.
Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh mulai dari awal sampai akhir bulan. Dan Allah Ta’ala telah memberikan batasan awal mulainya puasa dengan batasan yang jelas yang tidak tersamarkan oleh seorangpun yaitu dengan ru’yatul hilal (melihat hilal) atau menyempurnakan jumlah hari pada bulan Sya’ban menjadi 30 hari, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian beridul fithri sampai kalian melihat hilal. Maka jika langit terlihat mendung sehingga hilal tidak nampak maka tentukanlah..(Muttafqun ‘Alaihi).
Sebagaimana Allah ta’ala telah memberikan batasan hari dimulainya awal puasa dengan batasan yang jelas, Allah ta’ala juga telah menjadikan batasan yang jelas kapan saat dimulainya berpuasa yaitu sejak terbitnya fajar yang kedua, dan memberikan batasan akhir puasa (berbuka) adalah dengan terbenamnya matahari. Sebagaimana firman Allah ta’ala
( وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ )
Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian perbedaan antara benang putih dan benang yang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.(Al Baqarah: 187)
Dengan bentuk dan waktu pelaksanaan seperti ini Allah ta’ala telah menetapkan kewajibannya secara pasti dalam firman-Nya
( فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ )
Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan (hadir di negerinya) bulan Ramadhan maka wajib atas untuk berpuasa. (Al Baqarah: 185)
Puasa merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam. Maka barangsiapa yang menentang dan mengingkari kewajibannya maka sungguh dia telah keluar dari agama Islam (kafir) dan wajib atasnya untuk dimintai taubat. Jika dia mau bertaubat maka diterima kembali keislamannya, dan jika dia tidak mau bertaubat maka dia dibunuh sebagai hukuman atas kekafirannya.
Barangsiapa yang meyakini kewajiban puasa dan dia sengaja berbuka dengan tanpa ‘udzur (alasan) yang syar’i (dibenarkan oleh syari’at) maka sungguh dia telah melakukan salah satu bentuk dosa besar yang dia berhak untuk mendapatkan celaan dan hukuman.
Inilah wahai para pembaca sekalian, Allah ta’ala telah memberikan keistimewaan pada bulan Ramadhan ini dengan keistimewaan yang banyak dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya. Dan Allah ta’ala juga mengkhususkan ibadah puasa merupakan bentuk ketaatan yang memiliki keutamaan yang sangat banyak, faidah-faidah yang bermanfaat, dan adab-adab yang mulia.

Rabu, 17 Agustus 2011

HADITS-HADITS TENTANG KEUTAMAAN MEMBACA AL-QUR`AN


HADITS-HADITS TENTANG KEUTAMAAN MEMBACA AL-QUR`AN


Bulan Ramadhan merupakan bulan Al-Qur`an. Pada bulan inilah Al-Qur`an diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana dalam firman-Nya :
)شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ (البقرة: ١٨٥
“bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil).” [Al-Baqarah : 185]
Di antara amal ibadah yang sangat ditekankan untuk diperbanyak pada bulan Ramadhan adalah membaca (tilawah) Al-Qur`anul Karim. Banyak sekali hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Al-Qur`an. Di antaranya :