Bagimu Ayah dan Ibu
Penulis: Al Ustadzah Ummu Abdirrahman
Anisah bintu Imran
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hak bagi kedua
orang tua untuk diberikan bakti, kelembutan, penjagaan dan kasih sayang, dan
Allah kuatkan hak ini dengan mengiringkannya setelah hak-Nya Subhanahu wa
Ta'ala, karena hak orang tua mengandung pemuliaan dan pengagungan.
Sebuah
kebahagiaan yang mungkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata manakala orang
tua mendapati di hari tuanya perlakuan yang demikian istimewa dari anak-anaknya.
Ketika ia mulai lemah dan mungkin sakit-sakitan, anak-anaknya dengan sabar dan
penuh perhatian memberikan perawatan kepadanya. Ini semua tentu tidak didapat
begitu saja, namun melalui pendidikan dan perjuangan yang panjang dari orang tua
tersebut agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang shalih dan berbakti pada
orang tuanya.
Sesosok anak tidak akan dapat terlepas dari ayah dan
ibunya. Bagaimanapun keadaannya, ia adalah bagian dari diri keduanya. Dia adalah
darah daging keduanya. Rahim ibu adalah tempat buaiannya yang pertama di dunia
ini. Air susunya menjadi sumber makanan yang menumbuhkan jasadnya. Kasih sayang
ibu adalah ketenangan yang selalu dia rindukan. Kerelaan ibu untuk berjaga
membuat nyenyak tidurnya. Kegelisahan ibu menyisakan kebahagiaan untuknya.
Timangan sang ayah dirasakan sebagai kekokohan. Perasan keringat ayah
memberikan rasa kenyang dan hangat bagi dirinya. Doa-doa yang mereka panjatkan
menjadi sebab segala kebaikan yang didapatinya. Tak terhingga dengan hitungan
jemari untuk merunut kembali segala kebaikan yang mereka curahkan untuk buah
hati mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hak bagi kedua orang tua
untuk diberikan bakti, kelembutan, penjagaan dan kasih sayang, dan Allah kuatkan
hak ini dengan mengiringkannya setelah hak-Nya Subhanahu wa Ta'ala, karena hak
orang tua mengandung pemuliaan dan pengagungan. Bahkan di dalam Kitab-Nya yang
mulia termaktub berbilang ayat yang memberikan wasiat dan mendorong untuk
berbakti kepada orang tua, serta menjanjikan banyak kebaikan bagi seorang yang
berbakti dan mengancam dengan balasan yang akan menimpa orang yang mendurhakai
ayah bundanya. (Wa bil Walidaini Ihsana, hal. 11) Di antara sekian banyak
ayat, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan beribadahlah kepada
Allah, dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat
baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa: 36) Dalam kalam-Nya ini, Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk beribadah hanya kepada-Nya semata dan
tidak menyekutukan-Nya, karena Dialah Al-Khaliq (Yang Menciptakan), Ar-Raziq
(Yang Memberikan Rizki), Al-Mun’im (Yang Memberikan Nikmat), yang memberikan
keutamaan kepada makhluk-Nya setiap saat dan setiap keadaan. Oleh karena itu,
Dialah yang berhak untuk diesakan dan tidak disekutukan dengan sesuatu pun dari
kalangan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu: ((
أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى العِبَادِ ؟)) قَالَ : اللهُ وَرَسُوْلُهُُ
أَعْلَمُ. قَالَ (( أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا )) ثُمَّ
قَالَ (( أَتَدْرِي مَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى اللهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ ؟ أَنْ
لاَ يُعَذِّبَهُمْ )) “Tahukah engkau, apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz
menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau (Rasulullah) berkata,
“Yakni beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Kemudian beliau berkata lagi, “Tahukah engkau, apa hak hamba atas Allah bila
mereka melaksanakannya? Allah tidak akan mengadzab mereka.” (HR. Al Bukhari no
5967 dan Muslim no. 30) Setelah itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mewasiatkan
untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, karena Allah jadikan keduanya sebagai
sebab keluarnya seseorang dari ketiadaan menjadi ada. (Tafsir Ibnu Katsir,
2/213) Oleh karena itu, semestinya semenjak dini kedua orang tua mulai
menanamkan hal ini kepada putra-putri mereka, mengiringi pengajaran tentang
keimanan terhadap Rabb mereka. Inilah pula yang dilakukan oleh Luqman yang
mengiringi wasiatnya kepada anaknya untuk beribadah kepada Allah semata dengan
wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.
“Dan Kami wasiatkan
kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan payah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14) Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan
untuk bersyukur kepada-Nya dengan melaksanakan peribadahan kepada-Nya serta
menunaikan hak-hak-Nya, dan tidak menggunakan nikmat-nikmat yang
dianugerahkan-Nya untuk bermaksiat pada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga
memerintahkan untuk bersyukur kepada kedua orang tua dengan berbuat baik kepada
keduanya. Hal ini dilakukan dengan berucap lemah lembut, melakukan perbuatan
yang baik, dan merendahkan diri terhadap mereka. Juga dengan memuliakan dan
menanggung kebutuhan hidupnya, serta tidak menyakiti mereka dengan cara apa pun,
baik dengan ucapan atau pun perbuatan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648) Di
dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut tentang pendidikan
seorang ibu, kesulitan dan kesusahannya ketika harus berjaga siang dan malam.
Penyebutan ini untuk mengingatkan anak tentang kebaikan seorang ibu yang telah
diberikan kepadanya sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
“Dan
ucapkanlah doa: Wahai Rabbku, kasihilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka
telah mendidikku semenjak kecilku.” (Al-Isra: 24) (Tafsir Ibnu Katsir,
6/192) Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pengajaran, bagaimana
semestinya seorang anak bersikap terhadap kedua orang tuanya yang
musyrik:
“Dan apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan
sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan engkau ikuti
keduanya, dan pergaulilah mereka berdua di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku
kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15) Janganlah
seseorang menyangka bahwa hal ini (mentaati perintah orang tua dalam kejelekan)
termasuk kebaikan terhadap orang tua, karena hak Allah lebih diutamakan daripada
hak siapa pun juga, dan tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan
terhadap Al-Khaliq. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mengatakan, “Apabila
mereka berdua memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak
memiliki ilmu tentangnya, maka durhakailah keduanya.” Bahkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala mengatakan, “Jangan engkau ikuti mereka dalam perbuatan syirik mereka.”
Adapun berbakti terhadap mereka, maka engkau harus terus melakukannya. Oleh
karena itulah Allah berfirman (وَصاَحِبْهُماَ فِي الدُّنْياَ مَعْرُوْفاً), yaitu
pergaulilah mereka di dunia ini dengan penuh kebaikan. Adapun mengikuti mereka
sementara mereka berkubang dalam kekufuran atau kemaksiatan, maka hal itu
janganlah engkau lakukan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648) Sementara itu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak menyebutkan tentang ancaman
durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan beliau nyatakan bahwa hal itu termasuk
dosa besar. Abu Bakrah radhiallahu 'anhu menyampaikan ucapan beliau ini: ((
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟)) قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلَ
الله. قَالَ ثَلاَثًا (( الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الوَالِدَيْنِ )) وَكَانَ
مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ (( أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ.
أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ )) فَمَا زَالَ يَقُوْلُهَا حَتَّى
قُلْتُ لاَ يَسْكُتُ. “Tidakkah kalian ingin aku kabarkan tentang dosa besar
yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun berkata
tiga kali, “Menyekutukan Allah dan durhaka terhadap kedua orang tua.” Semula
beliau dalam keadaan bersandar, lalu beliau pun bangkit duduk dan mengatakan,
“Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu! Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi
palsu!” Beliau terus-menerus mengatakan hal itu hingga aku berkata, “Andaikan
beliau diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87) Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu pun meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang ancaman beliau: (( رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ
أَنْفُ )) قِيْلَ : مَنْ؟ يَا رَسُوْلَ الله! قَالَ (( مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ
عِنْدَ الكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ
)) “Nista dan hinanya! Nista dan hinanya! Nista dan hinanya!” Beliau pun
ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang mendapati
salah seorang atau kedua orang tuanya dalam keadaan lanjut usia, namun dia tidak
masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim no. 2551) Ucapan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam ini merupakan dorongan untuk berbakti kepada orang tua serta
menunjukkan besarnya pahala amalan itu. Di dalam ucapan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam tersebut didapati makna bahwa berbakti kepada kedua orang tua
pada saat mereka telah lanjut usia dan lemah, dengan mencurahkan khidmat
(pelayanan), nafkah ataupun lainnya merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam
surga. Barangsiapa yang meremehkannya, maka dia akan terluput dari masuk surga
dan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Syarh Shahih Muslim,
16/109) Sebuah kisah tentang bakti seorang anak kepada orang tuanya, yang
amalan itu dapat melepaskannya dari belenggu musibah yang menimpa, disampaikan
oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam: (( بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ المَطَرُ
فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ ، فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ
مِنَ الجَبَلِ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : انْظُرُوا
أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً للهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا لَعَلَّ
اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ : اللّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي
وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِيَ صِبْيَةُ صِغَارٌ أَرْعَى
عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ ، حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ
فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ. وَإِنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ
فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَ فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ
أَحْلٌبُ فَجِئْتُ بِالحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُؤُسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ
أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا
وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي
وَدَأْبَهُمْ حَتَّى أَطْلَعَ الفَجْرُ ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ
ذَلِكَ ابِتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ ،
فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ ... )) Ada tiga
orang yang sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba turun hujan menimpa mereka hingga
mereka pun berteduh di dalam gua di sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalam
gua, runtuhlah sebuah batu besar dari gunung di mulut gua hingga menutupi
mereka. Maka ada di antara mereka yang berkata kepada temannya, “Lihatlah amalan
shalih yang pernah kalian kerjakan karena Allah, lalu mohonlah kepada Allah
dengan amalan tersebut. Semoga dengan itu Allah akan memberikan jalan keluar
kepada kalian.” Maka salah seorang di antara mereka berdoa, “ Ya Allah,
sesungguhnya aku memiliki dua orang tua yang telah renta, dan aku pun memiliki
istri dan anak-anak kecil. Aku biasa menggembala kambing-kambing untuk mereka.
Apabila aku telah membawa pulang kambing-kambingku, aku biasa memerah susu dan
aku awali dengan memberikan minum kepada kedua orang tuaku sebelum memberikannya
kepada anak-anakku. Suatu ketika aku terlalu jauh menggembala sehingga belum
juga pulang sampai sore hari, hingga kudapati mereka berdua telah tidur. Maka
aku pun memerah susu sebagaimana biasa. Kemudian aku datang membawa susu perahan
itu dan berdiri di sisi kepala ayah ibuku. Aku tak ingin membangunkan mereka
berdua dari tidurnya dan aku pun tak ingin memberi minum anak-anakku sebelum
mereka berdua, sementara anak-anakku menangis kelaparan di sisi kedua kakiku.
Terus menerus demikian keadaanku dengan mereka hingga terbit fajar. Ya Allah,
jika Engkau mengetahui bahwa aku lakukan semua itu untuk mengharap wajah-Mu,
berikanlah jalan keluar dari batu itu hingga kami dapat melihat langit.” Maka
Allah pun memberikan kepada mereka kelapangan hingga mereka dapat melihat langit
kembali…” (HR. Al-Bukhari no. 2215 dan Muslim no. 2743) Kisah ini menunjukkan
gambaran keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, keutamaan melayani dan
mendahulukan mereka berdua dari yang lainnya, baik anak-anak, istri dan selain
mereka. (Syarh Shahih Muslim, 17/56) Bila demikian keadaannya, adakah hati
orang tua yang tidak tergerak untuk mendidik anak-anak mereka agar berbakti
kepada ayah bundanya? Adakah orang tua yang akan membiarkan anak-anak mereka
berkubang dalam kedurhakaan sehingga mendapati balasan yang nista? Tidakkah
mereka ingin anak-anak mereka seperti gambaran seorang Abu Hurairah yang
memberikan salam kepada ibunya: عَلَيْكِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ يَا أُمَّتَاه ! تَقُوْلُ : وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ، يَقُوْلُ : رَحِمَكِ اللهُ كَمَا رَبَّيْتِنِي صَغِيْرًا.
فَتَقُوْلُ : يَا بُنَيَّ! وَأَنْتَ، فَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا وَرَضِيَ عَنْكَ
كَمَا بَرَرْتَنِي كَبِيْرًا. “Keselamatan atasmu, serta rahmah dan barakah
Allah, wahai Ibunda!” Ibunya pun menjawab, “Dan keselamatan pula atasmu, serta
rahmah dan barakah Allah.” Dia berkata lagi, “Semoga Allah mengasihimu, wahai
Ibu, sebagaimana engkau telah mendidikku semasa kecilku.” Ibunya membalas,
“Wahai anakku! Dan engkau juga, semoga Allah memberi balasan yang baik dan
meridhaimu sebagaimana engkau telah berbakti kepadaku pada masa tuaku.”
(Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani: hasanul isnad dalam Shahih Al-Adabul
Mufrad no. 11) Betapa banyak kisah yang terhimpun dalam Kitabullah dan kalam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat disampaikan kepada
anak-anak, yang berbicara tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan
ancaman bagi seorang yang durhaka terhadap keduanya. Semogalah mereka memetik
banyak faidah yang akan mendorong mereka untuk mempersembahkan kebaikan kepada
ayah bundanya. Wallahu ta’ala a’lamu
bish-shawab.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=185
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar