Bid'ahnya Dzikir Berjamaah -------------------------------------------------------------------------------------------------- |
Sesungguhnya di antara nikmat yang Allah
berikan kepada manusia adalah dengan disempurnakannya agama ini, agama yang
dengannya Rasulullah shallallah aialihi wasallam diutus membawa risalah dari
Allah Ta’ala. Sehingga ketika manusia menghadapi problema hidupnya, sepantasnya
ia merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
yang shahih. Sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Kenikmatan yang
mutlak adalah yang berkelanjutan, berupa kebahagiaan yang abadi yaitu nikmat
Islam dan As Sunnah.” (Ijtima’ul Juyusy…., Ibnul Qayyim)
Di sisi lain, para
setan di bawah kepemimpinan Iblis terlaknat juga tidak akan pernah berhenti
untuk melakukan tipu daya dengan berbagai rayuan manis sehingga menampakkan
kebatilan seperti sebuah kebenaran yang tak perlu diragukan. Allah Ta’ala
berfirman: أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوْءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا "Maka
apakah orang yang menganggap baik pekerjaannya yang buruk, lalu dia meyakini
pekerjaan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)?" (Fathir:
8) Dan firman-Nya: قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً.
الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدَُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ
أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعاً "Katakanlah: 'Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang
yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya'." (Al-Kahfi:
103-104)
Namun seiring dengan munculnya kesesatan dan penyimpangan
tersebut, akan tetap muncul para pembela sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang menjelaskan kesesatan orang-orang yang mencampuradukkan antara
yang haq dan yang batil. Juga membendung orang ataupun kelompok yang senantiasa
mengaburkan dakwah yang benar yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dan para shahabatnya. Di antara golongan yang menyimpang dari
petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya adalah kaum
Sufiyah. Aliran ini telah banyak memberikan 'kontribusi' kepada Islam dengan
beragam bid’ahnya, yakni berupa model-model ibadah yang tidak ada asalnya dalam
syariat. Parahnya lagi, setiap tarekat sufi mempunyai cara dan model tersendiri
yang berbeda dengan kelompok sufi lainnya, tergantung bagaimana pemimpin mereka
membuatnya. Contoh yang paling nyata dan 'terkini' adalah model dan cara
berdzikir ala Arifin Ilham, seorang tokoh sufi yang berasal dari Banjarmasin.
Dengan gaya bahasa dan tutur katanya yang 'lembut', ia mampu memikat sekian
banyak orang untuk ikut serta dalam acaranya. Pria wanita, tua muda, politikus
maupun orang kebanyakan tak ketinggalan untuk terlibat di dalam amalan yang
disebutnya sebagai dzikir taubat dan semacamnya. Secara berjamaah, dibacalah apa
yang disebut dzikir itu dengan suara keras, diikuti suara tangisan sambil
menggerak-gerakkan anggota tubuh. Tak ketinggalan untuk dibaca asmaul husna,
shalawat Nabi, dan beberapa ayat Al Qur’an dengan cara serupa, suatu model yang
sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
yang telah beliau sebut dengan BID’AH.
Pengertian Bid'ah
Bid’ah
telah didefinisikan Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya
Al-I’tisham: “Suatu jalan yang diada-adakan di dalam agama yang ingin menyamai
syariat, yang dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah
Azza Wajalla.” Dan beliau membaginya menjadi dua bagian: Pertama: Bid’ah
haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang sama sekali tidak didasari dengan dalil yang
syar’i, tidak terdapat dalam Al Qur'an, tidak pula dalam As Sunnah. Dan tidak
pula dalam ijma’ maupun qiyas, serta tidak berdasarkan pendalilan yang benar
menurut ahli ilmu baik secara global maupun terperinci. Kedua: Bid’ah
idhafiyyah, yaitu bid’ah yang memiliki dua unsur. Unsur pertama berhubungan
dengan dalil. Dari sisi ini, belum merupakan bid’ah. Namun dari unsur yang lain,
tidak ada hubungan dengan dalil dan persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Dan hal
ini terkadang disebabkan karena adanya tambahan dalam cara mengerjakannya, waktu
dan tempat yang tidak sesuai, dan sebagainya. (Al-I’tisham) Dari pembagian
tersebut, jelaslah bahwa tidak semua amalan yang asalnya dibangun di atas dalil,
menjadi perkara yang disyariatkan secara utuh dari segala sisi. Namun harus
dilihat dari cara, tempat, waktu, dan jumlahnya. Berkata As-Suyuthi rahimahullah
dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba’ ketika menyebutkan bahwa sebagian bid’ah
terkadang disangka oleh mayoritas kaum muslimin sebagai ibadah, ketaatan, dan
cara mendekatkan diri kepada-Nya: “Bagian yang kedua: Ada yang dianggap oleh
sebagian manusia sebagai amalan taat dan mendekatkan diri (kepada Allah),
padahal tidak demikian. Apakah meninggalkan amalan tersebut lebih afdhal dari
melakukannya, yaitu apa-apa yang telah diperintahkan oleh syariat pada satu
bentuk di antara sekian bentuk, pada waktu yang khusus atau tempat tertentu,
seperti puasa di siang hari ataukah thawaf di Ka'bah? Ataukah (syariat)
memerintahkan kepada seseorang tanpa yang lain, seperti yang Nabi shallallahu
alaihi wsalallam khususkan dalam beberapa perkara mubah atau beberapa
keringanan? Maka (datanglah) orang yang bodoh mengqiyaskannya. Kemudian diapun
melakukannya, padahal hal tersebut terlarang atau mengqiyaskan sebagian bentuk
(ibadah) dengan lainnya tanpa membedakan tempat dan waktu.” (Ilmu Ushul Bida’,
hal. 77, 'Ali Al-Halabi) Di sini kami akan memberikan beberapa contoh tentang
hal tersebut: 1) Membaca Al Qur’an merupakan ibadah yang mulia dan banyak
keutamaannya sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Cukuplah kami sebutkan di antaranya adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Umamah
radhiallahu anhu. Ia berkata: Aku telah mendengar Rasululllah shallalahu alaihi
wasallam bersabda:
اقْرَؤُوا الْقْرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ “Bacalah kalian Al Qur’an, karena
sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada
para ahlinya.” Meski keutamaannya besar, membaca Al Qur'an ternyata dilarang
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika dilakukan di saat sujud maupun
ruku’ dalam shalat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam
Shahih-nya dari hadits Ibnu 'Abbas radhiallahu anhuma bahwa Rasululah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَلآ إِنِّيْ نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ
الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِداً فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهَ
الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ فَقمن أَنْ
يُسْتَجَابَ لَكُمْ “Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al Qur’an dalam
keadaan ruku’ maupun sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah Rabb kepadanya.
Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka selayaknyalah
dikabulkan bagi kalian.” 2) Demikian pula shalat yang merupakan sebaik-baik
perkara dan termasuk amalan yang paling afdhal, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: الصَّلاَةُ خَيْرُ
مَوْضُوْعٍ “Shalat adalah sebaik-baik perkara.” (HR. At-Thabrani dalam
Mu’jam Ash-Shagir dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Namun ternyata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat pada waktu-waktu
tertentu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits
Abdullah bin 'Abbas radhiallahu 'anhuma. Ia berkata:
شَهِدَ عِنْدِيْ
رِجَالٌ مَرْضِيُّوْنَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِيْ عُمَرُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى
تَطَّلِعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ “Telah
bersaksi di sisiku beberapa orang yang diridhai dan yang paling aku ridha adalah
'Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat setelah
fajar hingga terbitnya matahari, dan setelah 'Ashar hingga terbenamnya
matahari.”
Maka cukuplah dua contoh ini mewakili yang lainnya dalam
menjelaskan bahwa amalan ibadah merupakan perkara
tauqifiyyah.
Penyimpangan dalam Dzikir Berjamaah Model Arifin
Ilham
1- Membaca dengan Suara Keras secara Berjamaah Hal ini telah
diingkari oleh para ulama karena tidak ada dasarnya sama sekali dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam maupun kalangan shahabat, tabi’in dan yang mengikuti
mereka dengan baik. Sehingga ini merupakan perkara bid’ah yang harus dijauhi.
Berkata Asy-Syathibi rahimahullah: “Apabila syariat menganjurkan dzikrullah
kemudian suatu kaum menerapkannya dengan cara berkumpul di atas lisan dan suara
yang satu. Atau pada waktu khusus yang telah diketahui di mana syariat tidak
menetapkan pengkhususan itu, bahkan sebaliknya. Sebab, mewajibkan hal-hal yang
tidak wajib secara syar’i berarti keadaannya adalah memahamkan syariat,
khususnya bila orang itu dijadikan contoh dalam perkumpulan manusia seperti
masjid-masjid. Maka apabila penampakannya seperti ini lalu diaplikasikan di
masjid-masjid seperti syi’ar-syi’ar Islam lainnya yang telah ditetapkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di masjid-masjid dan semisalnya –seperti
adzan, shalat ‘ied, istisqa, dan kusuf-, maka tidaklah diragukan bahwa (hal
tersebut) difahami sebagai perkara sunnah, dan tidak difahami sebagai wajib.
Lalu lebih pantas untuk tidak dikategorikan ke dalam dalil tersebut, maka dari
sisi inilah menjadi bid’ah.” Lalu beliau berkata: "Seperti pula doa, karena
itu termasuk dzikrullah. Namun mereka (as-salafush shalih, red) tidak menetapkan
cara-cara tertentu dan tidak mengkhususkan waktunya, -di mana hal itu memberikan
isyarat adanya pengkhususan ibadah pada waktu-waktu tersebut- kecuali yang telah
ditentukan oleh dalil, seperti waktu pagi dan petang. Dan mereka tidak
menampakkannya kecuali apa yang dinyatakan syariat unutuk ditampakkan
(di-jahr-kan), seperti berdzikir pada dua hari raya (takbir) dan yang
semisalnya. Adapun selain itu, maka mereka senantiasa menyembunyikannya dan
men-sirr-kannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan
kepada mereka ketika mereka mengangkat suaranya:
أَرْبِعُوْا عَلىَ
أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا
“Kasihanilah
diri-diri kalian sesungguhnya kalian tidaklah meminta kepada yang tuli dan tidak
hadir.” (Muttafaqun 'alaih) dan yang semisalnya. Maka mereka tidak
mengeraskannya pada perkumpulan-perkumpulan. Maka setiap yang menyelisihi
prinsip ini, maka sungguh dia telah menyelisihi dalil yang mutlak. Karena dia
mengkhususkannya dengan akal dan menyelisihi orang yang lebih mengerti tentang
syariat –yaitu mereka para ulama salafus shalih-. Bahkan Nabi shallallahu alaihi
wasallam meninggalkan suatu amalan yang beliau senang mengerjakannya, karena
khawatir diamalkan oleh manusia lalu diwajibkan atas mereka.” (Al-I’tisham,
1/318-319, Asy-Syathibi)
2)- Bid’ahnya Shalawat Model Arifin
Ilham: Inilah model shalawat yang diucapkan pada dzikir bid’ahnya:
يَا
نَبِيُّ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ
عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ Dan dalam buku tulisan Ahmad Dimyathi
Badruzzaman tentang dzikir berjamaah menyebutkannya dengan lafadz: السَّلاَمُ
عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ
Lafadz model ini termasuk
shalawat yang menyimpang dari Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
karena tidaklah demikian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan
umatnya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Shalawat kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan lafadz hadits lebih afdhal dari
setiap lafadz, dan tidaklah ditambah seperti pada (lafadz adzan dan tasyahhud).
Ini dikatakan oleh imam yang empat dan selainnya." (Mukhtashar Fatawa
Al-Mishriyyah, hal. 92) Demikian pula lafadz “habibullah” tidaklah shahih
penisbahannya kepada Rasulullah shallallahu aalihi wasallam. Berkata Ibnu Abil
‘Izzi rahimahullah: “Telah tsabit bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam
mendapatkan derajat kecintaan tertinggi, yaitu khullah (khalilullah yang berarti
kekasih dekat Allah, red). Sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ اتَّخَذَنِي خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ
إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً “Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai khalil
sebagaimana telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim) dan
sabdanya: وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أَهْلِ اْلأَرْضِ خَلِيْلاً
لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً وَلَكِنْ صَاحِبُكُمْ خَلِيْلُ
الرَّحْمَنِ “Kalau sekiranya aku mengambil dari penduduk bumi sebagai khalil,
niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Namun shahabat kalian ini
(yaitu Nabi) adalah khalilnya Ar-Rahman.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan juga semakna
diriwayatkan Muslim) Dan keduanya terdapat dalam kitab Shahih. Dengan kedua
(hadits) ini membatalkan perkataan yang mengatakan: Al-Khullah (khalilullah)
untuk Ibrahim sedangkan Al-Mahabbah (Habibullah) untuk Muhammad. Maka Ibrahim
adalah Khalilullah sedangkan Muhammad adalah Habibullah.” Lalu beliau
melanjutkan, "Adapun mahabbah maka itu didapatkan oleh selain beliau shallallahu
alaihi wasallam. Allah berfirman: وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ “Dan
Allah cinta kepada setiap orang yang berbuat baik.” (Ali 'Imran: 134) Dan
firman-Nya: فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ “Sesungguhnya Allah
cinta (mahabbah) kepada orang yang bertaqwa.” (Ali 'Imran: 76) Dan
firman-Nya: فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِيْنَ “Sesungguhnya Allah cinta kepada orang yang selalu
bertaubat dan bersuci.” (Al-Baqarah: 222) Maka batallah pendapat yang
mengatakan kekhususan khullah bagi Ibrahim dan mahabbah bagi Muhammad. Namun
khullah adalah khusus bagi keduanya sedangkan mahabbah untuk umum. Adapun hadits
Ibnu 'Abbas yang diriwayatkan At-Tirmidzi yang padanya terdapat: إِنَّ
إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلُ اللهِ أَلآ وَأَنَا حَبِيْبُ اللهِ وَلاَ
فَخْرَ 'Sesungguhnya Ibrahim itu khalilullah. Ketahuilah, aku adalah
habibullah dan tidak sombong.' Ini tidak shahih” (Syarah Aqidah
Ath-Thahawiyah, 1/164-165, tahqiq Al-Arnauth).
3)- Mengeraskan dan
Mengangkat Suara ketika Berdo’a Hal ini bertentangan dengan firman Allah yang
memerintahkan untuk merendahkan suara di saat berdoa. Firman-Nya: وَلاَ
تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ
سَبِيْلاً "Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya. Dan carilah jalan tengah antara keduanya."
(Al-Isra: 110) Makna (بصلاتك) yaitu: doamu. Berkata 'Aisyah radhiallahu anha:
"Ayat ini diturunkan tentang doa." (Muttafaqun alaihi) Dan firman-Nya:
ادْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ
الْمُعْتَدِيْنَ "Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang
lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
(Al-A’raf: 55) Berkata sebagian ahli tafsir: "Makna 'orang-orang yang
melampaui batas' dalam mengangkat suaranya dalam doa." Berkata Ibnu Juraij dalam
menafsirkan ayat ini: ”Termasuk melampaui batas: mengangkat suara dalam
memanggil dan doa seperti berteriak. Adalah mereka diperintahkan merendahkan dan
tenang.” (Lihat Tash-hih Ad-Du’a, hal. 71, Bakr bin Abdillah Abu
Zaid)
4)- Menggerak-gerakkan Tubuh ketika Dzikir Ini termasuk
menyerupai orang Yahudi ketika mereka membaca kitab mereka. Berkata Ar-Ra’i
Al-Andalusi rahimahullah: "Demikian pula penduduk Mesir telah menyerupai Yahudi
dalam bergerak-gerak di saat belajar dan sibuk. Dan ini termasuk perbuatan orang
Yahudi.” Berkata Bakr Abu Zaid: "Wajib atas orang-orang yang berdzikir kepada
Allah, yang bertawajjuh dengan doa kepada Allah, para penghafal kitab Allah,
yang membuat madrasah-madrasah dan halaqah tahfidz Al Qur’an agar meninggalkan
bid’ah bergerak-gerak ketika membaca. Dan hendaklah mendidik anak-anak kaum
muslimin di atas sunnah dan menjauhi bid’ah." (Tash-hih Ad-Du’a, hal. 80-81)
Wallahul Muwaffiq Ilaa Sabiil Ar-rasyaad |
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar