Sepenggal Kisah Perjalanan Dakwah Syaikh Rabi’ di
Sudan
Inilah
sepenggal kisah perjalanan dakwah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madhkhali
hafizhahullah di Sudan yang sepatutnya kita jadikan teladan. Beliau
hafizhahullah mengisahkan:
|
Asy Syaikh
Rabi' bin Hadi Al Madkhali
(Sekarang) akan saya ceritakan perjalanan dakwah saya ke
Sudan. Saat itu saya singgah di Port (bandara) Sudan. Saya disambut para pemuda
Jama’ah Ansharus Sunnah.
Mereka memberi masukan: “Ya Syaikh, bolehkah kami
menyampaikan beberapa saran kepada anda?”
“Silahkan!” kataku.
Mereka berkata: “Wahai Syaikh, silakan anda berceramah sesuai kehendak anda dengan (mengutip) firman Allah dan sabda Nabi-Nya, tidak mengapa engkau sebutkan berbagai jenis bid’ah dan kesesatan, baik kaitannya dengan doa kepada selain Allah, menyembelih, nadzar, istighatsah (minta tolong) kepada selain-Nya. Tapi sebaiknya engkau tidak menyinggung thariqah tertentu atau syaikh fulan! Jangan sampai engkau mengatakan bahwa Tijaniyyah atau Bathiniyyah adalah kelompok sempalan yang sesat. Jangan pula engkau mencaci tokoh-tokohnya, (kami rasa) cukup engkau sebutkan perkara-perkara aqidah (secara umum), niscaya akan engkau dapati mereka menerima al haq dari apa yang engkau sampaikan.”
Saya katakan kepadanya: “Baiklah.”
Akhirnya saya ikuti anjuran mereka. Ternyata saya
menyaksikan sambutan yang cukup besar dari kaum muslimin terhadap dakwah ini.
Wahai para penuntut ilmu, kalian jangan menyangka bahwa termasuk dari
kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah keharusan mencaci maki (tokoh
penyesat). Tidak! Bahkan Allah berfirman:
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan.” (Al An’am: 108)
Kalau kalian mencerca syaikh fulan atau kau katakan:
“Fulan sesat!” Atau julukan- julukan lainnya atau kalian katakan: “Thariqah
fulan sesat!” justru yang demikian ini hanya akan membuat umat lari menjauh
darimu. Akhirnya kalian berdosa lantaran kalian telah menjauhkan manusia dari
dakwah yang benar, kalian munaffirun (membuat orang lari).
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala
mengutus Mu’adz dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhuma ke Yaman beliau berpesan
kepada keduanya:
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا
تُنَفِّرُوا
“Hendaklah kalian permudah dan jangan mempersulit,
gembirakan mereka jangan kalian membuat mereka lari!”
Inilah metode dakwah, di dalamnya ada kemudahan, kabar
gembira dan tidak ada hal yang membuat orang lari darinya. Demi Allah, tidaklah
aku masuk suatu masjid kecuali aku melihat wajah mereka berseri-seri sehingga
aku tidak bisa keluar dari kerumunan massa yang berebut berjabat tangan serta
mendoakan kebaikan untukku.
Ternyata para syaithan dari pentolan-pentolan thariqah
shufiyyah melihat cara dakwah yang saya tempuh ini sebagai ancaman yang
berbahaya. Akhirnya tokoh- tokoh tersebut berkumpul dan berunding untuk
merumuskan bantahan-bantahan terhadap ceramah saya.
Mereka memintaku untuk memberi ceramah di sebuah tanah
lapang. Saya penuhi permintaanya. Akupun berceramah hingga
selesai.
Giliran pembesar mereka bangkit (setelahku) dan
mengomentari ucapanku yang tadi. Mulailah orang ini mengutarakan pendapatnya
tentang bolehnya beristighatsah kepada selain Allah, bertawassul (membuat
perantara) dengan mayit, men-tha’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah dan ucapan
bathil lainnya … Mereka kemas semua ucapan bathil dengan takwil-takwil yang
menyimpang dan keji.
Usai dia berbicara -namun tidak menyertakan dasar
dalilnya, yang ada hanyalah hadits-hadits dhaif dan palsu atau nukilan dari
ucapan Socrattes– maka aku katakan kepada hadirin: “Apakah hadirin mendengar
ucapanku? Bukankah yang aku katakan adalah semata-mata firman Allah dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para imam kenamaan? Tapi lihatlah
orang ini! Yang ia sebutkan adalah hadits- hadits palsu belaka. Al Qur’an lebih
berhak untuk disebutkan. Apakah kalian mendengar firman Allah yang membolehkan
istighatsah kepada selain-Nya?! Bolehkah bertawassul (dengan mayit)?! Atau
kalian pernah mendengar ucapan para imam terkemuka dalam hal ini semua?! Tidak
sama sekali tidak! Kalian hanya mendengar hadits-hadits palsu dan dhaif atau tak
lebih dari sekedar omongan segelintir manusia yang sangat masyhur di kalangan
kalian sebagai ahli khurafat?!”
Tidak lama kemudian orang tersebut bangkit sambil
mencaci maki! Namun aku hanya tersenyum dan sama sekali tidak menanggapi
caciannya. Aku hanya mengucapkan: Jazakallahu khairan, barakallahu fiik,
barakallahu fiik, jazakallahu khairan! Tidak lebih dari itu.
Bubarlah acara tersebut. Maka demi Allah yang tidak ada
ilah yang haq kecuali Dia. Ternyata keesokan harinya banyak orang
memperbincangkan kejadian ini, baik di masjid-masjid maupun di pasar-pasar.
Mereka katakan bahwa orang-orang Sufi sudah kalah.
Karenanya belajarlah wahai saudaraku, metode dakwah yang
benar sesuai dengan syariat, (tanamkan pada diri kita) tujuan kita berdakwah
tidak lain agar umat manusia mendapatkan hidayah. Dan berupaya agar al haq
sampai kepada hati manusia.
Wahai saudaraku, wajib bagi kalian menggunakan suatu
sarana di dalam berdakwah illallah dengan cara syar’i yang tidak menyimpang dari
ajaran Islam, bukan berarti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Jelasnya, ini adalah ciri-ciri ahlul bid’ah, sehingga mereka gampang
melakukan kedustaan, bersilat lidah dan saling mencaci. Demikian yang dikatakan
oleh Imam Ali bin Harb Al Mushili tentang ciri-ciri ahlul
bid’ah.
Semua pengekor hawa nafsu selalu berdusta dan mereka
tidak peduli dengan kedustaan tadi. Dan metode semacam ini (kedustaan) tidak ada
pada kita Ahlus Sunnah. Kita adalah orang-orang yang jujur, berpegang dengan
kebenaran disamping itu kita senantiasa mencari metode dakwah yang mudah
diterima manusia dan menarik simpati mereka.
Kemudian kita melanjutkan perjalanan ke Kasala, masih
wilayah Sudan. Masya Allah, dakwah Ahlus Sunnah mendapatkan kemudahan dan
mendapat tanggapan bagus. Kita diberi kesempatan untuk berkhutbah dan kita
bersyukur dengan keadaan ini.
Kemudian kita pergi ke kota Ghatharif, sebuah kota kecil
di sana. Kami menyempatkan diri untuk mengelilingi masjid-masjid di kota
ini.
Ada sebagian dari Jama’ah Ansharus Sunnah mengatakan:
“Ya Syaikh, hanya tinggal satu masjid di kota ini yang belum terjamah dakwah
ini, sebab masjid ini adalah basis Thariqah Tijaniyyah lantaran itu kita belum
bisa masuk kesana.”
“Lho kenapa?”
“Sebab mereka sangat fanatik.”
“Baiklah, kalau demikian kita pergi ke sana. Kita minta izin. Kalau diizinkan untuk bicara, maka kita bicara. Tapi kalau mereka melarang, maka udzur kita di sisi Allah. Dan ingat! Jangan kita memaksakan diri untuk bicara.”
“Lho kenapa?”
“Sebab mereka sangat fanatik.”
“Baiklah, kalau demikian kita pergi ke sana. Kita minta izin. Kalau diizinkan untuk bicara, maka kita bicara. Tapi kalau mereka melarang, maka udzur kita di sisi Allah. Dan ingat! Jangan kita memaksakan diri untuk bicara.”
Sampailah kami di masjid mereka. Kita shalat bersama
mereka sebagai makmum. Usai shalat, kami ucapkan salam kepada sang imam. Aku
berkata, “Bolehkah aku berbicara di hadapan saudara-saudara kami
disini?”
“Silahkan!” jawab sang imam.
“Silahkan!” jawab sang imam.
Mulailah aku berceramah, aku ajak mereka untuk
mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah dan perkara-perkara lain dari agama.
Sesekali aku menyinggung beberapa kesalahan serta berbagai kesesatan yang ada.
Di sela-sela itu aku mengutip hadits Aisyah -Muttafaq alaihi- yang
berbunyi:
“Ada tiga hal, barangsiapa yang mengatakan tiga perkara
ini maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Barangsiapa yang
meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melihat Rabb-nya
(di dunia) maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Kedua:
Barang siapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
mengetahui perkara-perkara yang akan datang maka ia telah melakukan kedustaan
yang besar di sisi Allah… -dan saya sebutkan pula berbagai dalil yang mendukung
hadits ini- Ketiga: Barangsiapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak menyampaikan risalah dari Allah secara sempurna maka ia telah
melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah.”
Lalu sang imam berkomentar (ia terlihat gusar dan
gelisah): “Demi Allah, sesungguhnya Nabi Muhammad telah melihat Allah dengan
kedua matanya di dunia.”
Lalu aku hanya bisa menyambut komentar sang imam dengan ucapan: Jazakallahu khairan. (Tentunya kita tahu) Aisyah sebagai istri Rasul lebih tahu keadaan beliau. Kalaulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar melihat Rabb-nya di dunia tentu Aisyah akan mengabarkannya, tapi kenapa ia tidak mengabarkannya?
Lalu ia mendesakku dengan pertanyaan bertubi-tubi. Aku katakan: “Ya akhi, tunggu sebentar, beri kesempatan kepadaku agar aku selesaikan jawabanku satu persatu. Setelah itu silakan engkau lanjutkan dengan pertanyaan lain sekehendakmu. Apa yang aku ketahui akan aku jawab dan apa yang tidak aku ketahui aku katakan kepadamu: Wallahu a’lam.”
Lalu aku hanya bisa menyambut komentar sang imam dengan ucapan: Jazakallahu khairan. (Tentunya kita tahu) Aisyah sebagai istri Rasul lebih tahu keadaan beliau. Kalaulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar melihat Rabb-nya di dunia tentu Aisyah akan mengabarkannya, tapi kenapa ia tidak mengabarkannya?
Lalu ia mendesakku dengan pertanyaan bertubi-tubi. Aku katakan: “Ya akhi, tunggu sebentar, beri kesempatan kepadaku agar aku selesaikan jawabanku satu persatu. Setelah itu silakan engkau lanjutkan dengan pertanyaan lain sekehendakmu. Apa yang aku ketahui akan aku jawab dan apa yang tidak aku ketahui aku katakan kepadamu: Wallahu a’lam.”
Lalu aku abaikan orang itu dan aku teruskan
pembicaraanku. Aku tidak tahu apakah ia tetap bersamaku atau pergi dari majelis,
karena akupun sengaja tidak menoleh kepadanya. Terdengar olehku bisikan orang:
“Benar juga ucapan orang ini.” Terdengar juga dari selain dia kalimat dengan
imbuhan, “Demi Allah, lelaki ini hanya mengucapkan firman Allah dan Rasul-Nya.”
Barakallahu fiikum -adzan Isya telah dikumandangkan. Maka berakhirlah acara
tersebut lantas hadirin melaksanakan sholat Isya’.
Tiba-tiba mereka mendorongku untuk menjadi imam. Aku
katakan: “Sama sekali aku tidak mau menjadi imam.”
Malah mereka mengatakan: “Wallahi, shalatlah mengimami kami, wallahi, shalatlah menjadi imam kami.” Aku katakan: “Baiklah kalau begitu.”
Malah mereka mengatakan: “Wallahi, shalatlah mengimami kami, wallahi, shalatlah menjadi imam kami.” Aku katakan: “Baiklah kalau begitu.”
Akhirnya aku pun shalat mengimami mereka. Usai shalat
aku menunggu sejenak. Kemudian aku pulang bersama para pemuda Ansharus
Sunnah.
Aku katakan kepada mereka: “Kemana sang imam
pergi?”
Mereka menjawab: “Telah diusir!”
“Lho, siapa yang mengusirnya?” tanyaku lagi.
“Wallahi, jama’ahnya yang mengusir dia!” tandas mereka.
Mereka menjawab: “Telah diusir!”
“Lho, siapa yang mengusirnya?” tanyaku lagi.
“Wallahi, jama’ahnya yang mengusir dia!” tandas mereka.
Itulah yang terjadi, wahai saudara-saudaraku!
Singkatnya, jika ada yang datang berdakwah kepada mereka kemudian
membodoh-bodohkan pengikut aliran Tijani, boleh jadi mereka akan menebas
lehermu, tidak cukup hanya diusir! Tapi jika kalian datang berdakwah kepada
mereka dengan hikmah dan lemah
lembut
-barakallahu fiikum- maka Allah akan memberi manfaat kepada mereka dengan sebab
kedua perangai tersebut.
Hendaknya engkau berbekal dengan ilmu yang bermanfaat,
hujjah yang kokoh, senantiasa memprioritaskan hikmah di dalam dakwah kalian.
Wajib atas kalian untuk berhias diri dengan akhlak mulia yang telah dianjurkan
oleh Allah dalam Kitab-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sesungguhnya itu merupakan wasilah untuk mendapatkan pertolongan dan
kesuksesan.
Yakinilah bahwa shahabat tidak menyebarkan Islam ini
dengan mudah merasuk ke dalam hati umat manusia kecuali karena peranan hikmah
dan keilmuan mereka yang lebih mendominasi ketimbang dengan pedang. Di sisi
lain, orang yang mendapat hidayah Islam di bawah naungan pedang, seringnya
kurang kokoh. Sementara orang yang mendapat hidayah Islam melalui penyampaian
ilmu, hujjah, dan dalil, justru lebih kokoh keislamannya -dengan izin dan taufik
Allah.
Maka seyogyanya kalian menempuh jalan ini, sekaligus
berupaya dengan sungguh- sungguh mencari ilmu dan berdakwah ke jalan
Allah.
[Dinukil dari buku Edisi Indonesia Dakwah Salafiyah
Dakwah Penuh Hikmah, Penulis Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali,
Penerjemah Al Ustadz Abu Affan Asasuddin, Penerbit Qaulan Karima, hal.
36-45]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar