Kamis, 08 September 2011

Indahnya Rumah Tangga Salafy (Bagian 2 - Tamat)


Indahnya Rumah Tangga Salafy (Bagian 2 - Tamat)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berikut adalah catatan taklim kami yang singkat, saat kami mendengarkan rekaman mp3 daurah Indahnya Rumah Tangga Salafy yang dibawakan oleh al Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin dan al Ustadz Abu Nashim Mukhtar. Semoga bermanfaat.

Bagian 2 (Tamat)
Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang dishahihkan -dan sebagian ulama menghasankannya-, "barang siapa yang telah menikah maka ia telah menyempurnakan sebagian dari agamanya" (HR. Hakim)
Demikian pula tatanan hidup manusia sangat ditentukan sekali dengan tatanan di dalam berkeluarga. Sebuah negara baik dan buruknya sangat tergantung dengan kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu para ulama yang memberikan nasihat ketika membahas penegakan syariat Islam,
أَقِيْمُوا دَوْلَةَ اْلإِسْلاَمِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ تَقُمْ لَكُمْ فِيْ أَرْضِيْكُمْ
“Tegakkanlah Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya akan ditegakkan Daulah Islam di negara kalian.” (lihat at Tashfiyah wat Tarbiyah hal. 33, oleh asy Syaikh al Albani Rahimahullahu)
Dan penegakan syariat Islam tersebut diawali dengan kita tegakkan terlebih dahulu di dalam rumah tangga kita. Rumah tangga yang harmonis tentu akan banyak membantu kita dalam beribadah, demikian pula sebaliknya rumah tangga yg penuh problema akan mengganggu kekhusuyan ibadahnya. 
 
Banyak para ulama yan membuat kitab seputar rumah tangga, dan dalam pelajaran adab selalu ada bab "kitab 'Isyrotin Nisa' yang menjelaskan bagimanakah Islam mengajarkan untuk bergaul dengan istri atau pasangan.
Dan yang perlu dipahami bahwa setiap masalah yang timbul dan tidak dapa terselesaikan disebabkan dia belum siap untuk melaksanakannya. Ini kaidah umum. Demikian pula dalam rumah tangga jika suatu persoalan tidak dapat terselesaikan menandakan kita belum siap dalam berkeluarga. Permasalahan dalam rumah tangga pasti ada, makanya kita butuh instropeksi diri untuk menyempatkan waktu mempelajari hukum-hukum yang terkait dalam berumah tangga.
Berikut ini adalah kaidah-kaidah atau hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip- prinsp dasar berumah tangga:
Selalu berusaha untuk mengingat kembali dengan tujuan apa kita mengikat tali pernikahan.
Terciptanya suasana sakinah (tenang secara zhahir dan bathin).
Sebagaimana yang dijelaskan Allah Subhanahu wata'ala,
وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
"Dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (al A'raf: 189)
Meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata'ala.
Oleh karena itu carilah pasangan yang benar-benar mampu meningkatkan ketaatan dan ibadah kepada Allah Subhanahu wata'ala.
Bahkan dalam hal jima' (hubungan suami istri) juga termasuk ibadah karena di sana terdapat pahala. Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
"Dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya, "Ya Rasulullah masakah dikatakan berpahala seseorang diantara kami yang menyalurkan syahwatnya?" Beliau bersabda, "Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah baginya dosa?, demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala." (Riwayat Muslim, dari Abu Dzar Radhiallahuanhu )
Oleh karena itu kita wajib berusaha agar suasana ketenangan dalam rumah tangga selalu terjaga, demikian pula ketaatan kepada allah harus selalu terjaga dengan meninggalkan segala sebab yang bisa merusak ketenteraman dan ketaatan dalam rumah tangga.
Segala macam bentuk kebaikan dan terkait dengan hak orang lain, maka keluargalah yang paling berhak untuk mendapatkannya. Sebaliknya segala macam bentuk keburukan dan terkait dengan hak orang lain, maka keluargalah yang paling berhak untuk dijauhkan
Artinya jika kita bisa bersikap baik kepada orang lain, semisal kasir kepada customernya, satpam bersikap ramah kepada tamunya, maka seharusnya ia harus bisa bersikap lebih baik daripada itu kepada keluarganya.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik Radiallahuanhu, pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Kita diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada orang lain maka keluarga lebih berhak kita ucapkan salam kepada mereka. Kita diperintakan untuk mendoakan orang lain maka keluarga lebih berhak untuk mendapat doa dari kita. Kita diperintah untuk bersedekah kepada orang lain maka keluarga lebih berhak menerima shodaqoh dari kita. Jika kita bisa bersikap baik dan ramah kepada orang lain, maka istri atau suami dan anak kita lebih berhak untuk mendapatkan kebaikan dari kita. Kalau kita bisa bermanis muka kepada pimpinan dan meminta maaf dengan sangat jika berbuat kesalahan maka keluarga lebih berhak untuk bermanis muka dan meminta maaf dengan sangat kepada keluarga jika kita berbuat salah kepada mereka. Demikian pula jika kita diperintah untuk menepati janji maka terhadap keluarga kita lebih berhak untuk menepati janji, dan sebagainya.
Islam melarang untuk Su'uzhan (prasangka buruk) kepada orang lain maka terhadap istri atau suami, dan anak lebih tinggi tingkat keharamannya untuk kita bersu'uzhan kepadanya. Demikian pula benci, hasad, dendam, dan sebagainya.
Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Setiap pasangan mendahulukan kewajibannya dengan keyakinan ia akan mendapatkan haknya
Di dalam Islam kita diajarkan untuk memahami hak dan kewajban tetapi yang lebih ditekankan adalah kita melaksanakan kewajibannya. Tatanan hidup akan seimbang ketika ia melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan haknya. Sebaliknya tatanan akan rusak jika mereka melalaikan kewajibannya.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya." (al Baqarah: 228)
Kata Ibnu Abbas Radhiallahu'anhu, "Aku ingin sekali berhias untuk istriku sebagaimana aku menuntut istriku berhias untuk diriku."
Untuk merealisaskan ayat ini kita mesti bisa berkorban untuk menyenangkan istri kita. Sebagai misal istri menyukai rambut kita gondrong padahal kita ndak suka. Maka sebagai seorang suami yang baik kita rela untuk menjadikan rambut kita gondrong. Dan contoh lain yang semisalnya untuk menyenangkan pasangan kita. Demikian pula seorang istri untuk menurut suaminya walaupun hal itu tidak ia sukai asalkan kemauannya tidak melanggar syar'i. Dan ini salah satu bentuk menjalin keharmonisan rumah tangga Salafy.
al Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah berkata, "Yang dimaksud firman Allah Ta'ala dalam al Baqarah ayat 228 adalah seluruh hak kewajiban istri serta suami, kemudian patokan hak dan kewajban itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun al Quran dan as Sunnah telah menjelaskan hal ini.
al Imam Ibnu Katsir Rahimahullahu dalam tafsirnya terhadap al Baqarah ayat 228, "Laki-laki memiliki kewajban sebagaimana laki-laki memiliki hak. Maka hendaknya masing-masing menunaikan kewajibannya kepada pasangannya dengan cara yang ma'ruf sehingga kehidupan rumah tangga akan seimbang."
Membiasakan hidup bermusyawarah di dalam rumah tangga
Umpamanya mencari tempat tinggal, membeli kendaraan, atau selainnya hendaknya bermusyawarah dengan istri. Artinya membiasakan hidup bermusyawarah dengan keluarga.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (al Imran: 159)
Berkata Syaikh Nashir as Sa'di dalam tafsirnya, "Perkara-perkara yang membutuhkan musyawarah, pemikiran, dan pertimbangan maka mengajak orang lain untuk membicarakannya akan membawa banyak mashlahat, faidah, manfaat dunia dan akhirat yang tidak terhitung jumlahnya."
Musyawarah ini juga dipraktikkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau dan para sahabatnya berencana melaksanakan umrah di Baitullah. Mereka berangkat dari Madinah menuju Makkah yang masih dikuasai oleh orang- orang musyrikin dalam keadaan berihram. Namun orang-orang musyrikin ini menghalangi beliau dan para sahabatnya untuk masuk ke Makkah. Lalu terjalinlah perjanjian antara beliau dan orang-orang musyrikin bahwa beliau baru diperkenankan masuk ke Makkah untuk berumrah di tahun mendatang. Karena batal berumrah beliau pun hendak bertahallul dari ihramnya dan memerintahkan kepada para sahabatnya:
قُوْمُوْا فَانْحَرُوْا، ثُمَّ احْلِقُوْا
“Bangkitlah kalian lalu sembelihlah hewan kalian, lalu cukurlah rambut kalian.”
Namun apa yang terjadi? Demi Allah tak satupun dari para sahabat yang bangkit memenuhi perintah beliau hingga beliau mengucapkan hingga tiga kali. Ketika tidak ada satupun yang bangkit menjalankan perintah beliau, beliau pun masuk ke tenda istrinya, Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha. Beliau keluhkan pada sang istri apa yang beliau dapatkan dari sikap para sahabatnya, “Tidakkah engkau melihat orang- orang itu? Aku perintahkan mereka dengan satu perkara namun mereka tidak melakukannya.”
Istri yang shalihah ini pun berkata:
يَا نَبِيَّ اللهِ، أَتُحِبُّ ذلِكَ؟ اُخْرُجْ، ثُمَّ لاَ تُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ حَتَّى تَنْحَرَ بُدْنَكَ، وَتَدْعُو حَالِقَكَ فَيحْلِقَكَ
“Wahai Nabiullah! Apakah engkau ingin mereka melakukan apa yang engkau perintahkan? Keluarlah, lalu jangan engkau mengajak bicara seorang pun dari mereka hingga engkau menyembelih sembelihanmu dan engkau memanggil tukang cukurmu lalu ia mencukur rambutmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjalankan saran istrinya yang memiliki kecerdasan dan pendapat yang bagus ini. Beliau keluar dari tenda, tanpa mengajak bicara seorang pun beliau menyembelih hewan sembelihannya dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambut beliau. Ketika para sahabat melihat apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka pun bersegera bangkit. Mereka menyembelih hewan-hewan mereka dan sebagian mereka mencukur rambut temannya hingga hampir-hampir sebagian mereka membunuh sebagian yang lain disebabkan kegundahan dan kesedihan mereka (HR. Al-Bukhari no. 2731, 2372)
Demikian pula tentang Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam ketika pertama kali mendapat wahyu dari Allah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah dengan hati yang bergetar untuk menemui istrinya Khadijah bintu Khuwailid Radhiallahu ‘anha.
زَمِّلُوْنِي، زَمِّلُوْنِي
“Selimuti aku, selimuti aku!” pinta beliau. Khadijah pun menyelimuti suaminya hingga hilang rasa takut beliau. Disampaikanlah kisah kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha termasuk apa yang beliau rasakan:
لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ
“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah Radhiallahu ‘anha pun menghibur suaminya yang mulia:
كَلاَّ وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak demi Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Engkau seorang yang menyambung silaturahim, menanggung orang yang lemah, memberi kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka menjamu tamu, dan menolong kejadian yang haq” (HR. Al-Bukhari no. 3 dan Muslim no. 401)
Termauk dalam menu sehari-hari, wajar bila seorang istri bertanya, "hari ini masak apa, besok masak apa" dalam rangka musyawarah masakan dengan suami.
Kedudukan suami lebih tinggi daripada kedudukan istri
Allah Ta'ala berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
"Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya" (al Baqarah: 228)
Demikian pula Rasulullah dalam hadits yg driwayatkan Ibnu Syaibah al Baghdadi, dari Abu Sa'id al Khudri Radhiallahu'anhu: "Salah seorang sahabat pernah membawa putrinya menemui nabi Shallallahu'alaihi wasallam. Kata sahabat ini, 'Wahai Rasulullah, putriku tidak mau menikah." Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berkata kepada putrinya, 'Taati apa keinginan ayahmu'. Putri sahabat berkata, 'Demi Allah dzat yg mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menikah sampai engkau memberitahukan kepadaku apakah hak suami yang harus dikerjakan istrinya'. Maka nabi Shallallahu'alaihi wasallam menjawab, 'Hak suami atas istrinya seandainya suaminya terluka dia siap untuk menjilatnya, atau ketika keluar dari lubang hidungnya nanah atau darah dia siap untuk menelannya, itupun seorang istri belum bisa dikatakan menunaikan hak suaminya'. Setelah itu shahabat tersebut menikahkan putrinya." (Hadits dikatakan Hasan Shahih oleh Syakkh al Albani Rahimahullahu)
Tanggung jawab suami lebih besar daripada tangung jawab istri
Hadits Abdullah ibnul Umar Radhiallahu'anhuma,
وعن بن عمررضى اللّه عنهماعن النّبىّ صلّى اللّه عليه وسلّم قال : كلّكم راع وكلّكم مسءول عن رعيّته ، والأميرراع ، والرّجل راع على أهل بيته ، والمرأةراعيّةعلى بيت زوجهاوولده ، فكلّكم راع وكلّكم مسءول عن رعيّته (متفق عليه)٠
Dari Ibnu Umar Radhiallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Kalian adalah pemimpin dan kalian akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya baik buruknya rumah tangga terkait erat dengan kepemimpnan seorang ayah (suami). Baik buruknya istri maka suamilah yang bertanggung jawab. Jadi jika istri berbuat salah maka di akhirat nanti suami yang akan bertanggung jawab karena suami adalah pemimpin baginya. Maka kewajiban suami adalah mendidik istri dan anak agar mereka tidak menyimpang.
Allah Ta'ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita" (an Nisa: 34)
al Imam ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, "Seorang suami atau ayah adalah pengatur dalam rumah tangga, suami adalah pemimpin, pembesarnya, dan yg menentukan arah rumah tangga, suami yang bertugas untuk meluruskan istri ketika ia menyimpang."
Demikianlah kaidah-kaidah dalam berumah tangga, semoga kita bisa mengamalkannya dan menjadikan rumah tangga kita menjadi indah.
Wallahu a'lam.
Tamat
[Dinukil dari buku catatan taklim saat mendengarkan rekaman daurah mp3 berjudul Indahnya Rumah Tangga Salafy, sumber audio: http://alklateniy.wordpress.com/2010/01/04/download-rekaman-daurah-indahnya- rumah-tangga-salafy/]
 

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِKau dambakan keselamatan tapi engkau tak menempuh jalurnya.
Sungguh bahtera tak kan pernah berlayar di daratan
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar