Membangun
Istana Kelembutan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Tahun delapanpuluhan, dunia pendidikan Indonesia
terhenyak kelabu. Seakan tiada habis tanya, mengapa peristiwa itu terjadi. Namun
begitulah. Suratan takdir telah menorehkan peristiwa lain. Seorang bocah yang
belum menginjak usia baligh terkapar. Tubuhnya lebam-lebam, sebagai pertanda
dirinya telah dianiaya. Bertubi siksaan, deraan dan pukulan mendarat di sekujur
tubuhnya. Dalam ketiadaan daya, dirinya cuma bisa merintih kesakitan. Lalu,
iapun meninggalkan alam fana ini. Apa salah bocah itu? Konon, katanya ia telah
mencuri. Atas tindakan bocah ini, orangtuanya pun kalap. Kemarahan membakar
hatinya. Maka terjadilah apa yang terjadi. Episode kelabu ini menjadi noktah
hitam dalam lembar riwayat dunia pendidikan di Tanah Air.
Kekerasan terhadap anak, telah demikian banyak terjadi.
Bahkan, kekerasan yang terjadi tidak sedikit yang dilakukan secara tidak
terukur. Dorongan untuk melakukan kekerasan pada anak lebih dikarenakan situasi
emosional yang tidak stabil. Nafsu angkara menjadi mudah tersulut kala anak
bertindak salah. Struktur kejiwaan seperti ini, ibarat petasan, ia bersumbu
pendek. Sekali sulut, langsung meledak. Sekali anak melakukan perbuatan tak
berkenan, langsung amarahnya menggelegar. Marah telah menghilangkan kontrol
diri. Akibatnya, lisan tak terjaga, tindakan pun membabi buta. Kata Asy Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin Rahimahullahu, “Sungguh marah itu tidak
diragukan lagi telah memberi pengaruh pada manusia, sehingga dirinya berperilaku
(dengan) perilaku seperti orang gila.” (Syarhu Riyadhish Shalihin,
1/925)
Berdasar hadits dari Abu Hurairah
Radhiallahu‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي. قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا
تَغْضَبْ
“Sesungguhnya seorang lelaki berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Nasihatilah aku.’ Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam: ‘Janganlah kamu marah.’ Kalimat itu terus diulang-ulang. Kata Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah’.”(Shahih Al Bukhari, no.
6116)
Kalimat لَا
تَغْضَبْ (janganlah kamu marah), menurut Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
’Utsaimin Rahimahullahu, bermakna janganlah kamu menjadi orang yang cepat marah,
yang akan memengaruhimu pada setiap sesuatu. Tapi, jadilah dirimu orang yang
tenang, tidak cepat marah, karena sesungguhnya kemarahan itu adalah bara api
yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Dengan bara api itu, mendidihlah
hati seseorang. Karena ini pula, urat-urat leher dan jaringan pembuluh darah
menegang, mata pun memerah. Lalu seseorang melakukan tindakan (agresivitas),
setelah itu timbullah penyesalan.” (Syarhu Riyadhish Shalihin,
1/925)
Tentu sebuah
sikap bijak, bila mendapati orang yang tengah geram dibakar angkara murka lalu
menasihatinya. Nasihat nan bijak ini diharapkan mampu meredam tindakAn tindakan
yang bakal tak terkendali. Seperti melakukan agresivitas; pemukulan atau
tindakan sadistis lainnya yang tak patut dikenakan pada anak-anak. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi contoh terbaik, bagaimana upaya
meredam amarah yang tengah menggelegak pada diri seseorang. Nasihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menembus pusat kesadaran. Sehingga,
peristiwa pemukulan lantaran sikap amarah berhasil dihentikan. Bahkan tak cuma
di situ. Pada diri orang itu tumbuh kesadaran untuk tidak lagi melakukan
pemukulan terhadap budak miliknya selama-lamanya. Ini merupakan revolusi
perubahan sikap dan perilaku yang mengarah kepada pembentukan akhlak yang
mulia.
‘Uqbah bin ‘Amir bin Tsa’labah Al Anshari atau lebih
dikenal dengan nama kunyah Abu Mas’ud Al Badri Radhiallahu‘anhu,
bertutur:
كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ
صَوْتًا مِنْ خَلْفِي: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ. فَلَمْ أَفْهَمِ الصَّوْتَ مِنَ
الْغَضَبِ، قَالَ: فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ: اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، اعْلَمْ أَبَا
مَسْعُودٍ. قَالَ: فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي، فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا
مَسْعُودٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ. قَالَ:
فَقُلْتُ: لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Saat aku memukuli budak milikku dengan cambuk, aku
mendengar suara dari arah belakang: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Aku tak
memahami suara itu karena sedang marah.”
“Maka tatkala mendekat kepadaku,” kata Abu Mas’ud, “Ternyata dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’.”
Kata Abu Mas’ud: “Aku pun melemparkan cambuk yang ada di tangan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kuasa atas dirimu daripada engkau terhadap budak ini’. Aku berkata: ‘Setelah peristiwa itu, aku tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak selama-lamanya’.” (Shahih Muslim, no. 1659)
“Maka tatkala mendekat kepadaku,” kata Abu Mas’ud, “Ternyata dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’.”
Kata Abu Mas’ud: “Aku pun melemparkan cambuk yang ada di tangan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kuasa atas dirimu daripada engkau terhadap budak ini’. Aku berkata: ‘Setelah peristiwa itu, aku tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak selama-lamanya’.” (Shahih Muslim, no. 1659)
Terkait hadits di atas, Al Imam An Nawawi Rahimahullahu
menyatakan bahwa hadits Abu Mas'ud Radhiallahu‘anhu tersebut mengandung motivasi
untuk bersikap lemah lembut terhadap budak. Termuat pula nasihat serta
kepedulian untuk bersikap pemaaf, menahan diri dari amarah dan menghukum
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum hamba-hamba-Nya. (Al Minhaj,
11/132)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali
'Imran: 134)
Meretas pendidikan bagi anak-anak sehingga mereka
menjadi generasi berakhlak mulia di masa sekarang ini tidaklah mudah. Berbagai
kendala menghadang. Serbuan budaya kekerasan dan sadisme senantiasa mewarnai
kehidupan sehari-hari. Aksi- aksi kekerasan dipertontonkan secara vulgar di
hadapan anak-anak. Melalui kemampuan meniru yang kuat, seorang anak akan dengan
mudah merekam dan menirukan apa yang dilihat dan dirasakannya. Lambat laun
budaya itu terserap, mengkristal dalam jiwa anak dan terbentuklah kepribadian
anak yang kasar, bengis, beringas, vandalis (suka merusak dengan ganas), dan
pemarah. Anak menjadi ringan tangan untuk menyakiti temAn temannya, atau bahkan
adiknya sendiri. Satu hal yang sangat ironis sekali, manakala kepribadian tanpa
rahmah ini justru terbentuk pada diri anak melalui sikap-sikap yang
diperlihatkan orangtua atau gurunya.
Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang
yang bernama Al Aqra’ bin Habis. Dia seorang ayah yang memiliki sepuluh anak.
Satu hari, dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan,
cucu beliau. Lantas Al Aqra’ bin Habis berucap, “Sungguh, aku memiliki sepuluh
anak. Tak satupun dari mereka yang pernah aku cium.” Menimpali ucapan ini,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا
يُرْحَمُ
“Sesungguhnya siapa yang tak menyayangi, dia tak akan
disayangi.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ
“Siapa yang tak menyayangi orang lain, Allah Azza
wajalla tak akan menyayanginya.” (Kisah ini merujuk pada hadits dari Abu
Hurairah Radhiallahu‘anhu dan Jarir bin Abdillah Radhiallahu‘anhu, dalam Shahih
Muslim no. 2318 dan 2319)
Hadits di atas memberikan tekanan yang sangat kuat bahwa
keluarga atau komunitas terdekat anak berperan dalam menumbuhkan kepribadian
anak yang rahmah. Sarat kelembutan, bertabur kasih sayang. Sulit dan sangat
sulit sekali, membangun rumah menjadi istana nan padat kelembutan bila
masing-masing anggota keluarga tiada berkepribadian yang rahmah. Kekerasan,
pertengkaran, caci maki, dan dendam kesumat menjadi menu santapan sehari-hari.
Maka, kisah di atas memberikan semangat guna melabur kasih kepada anak-anak dan
selainnya. Salah satu dari sekian banyak ekspresi untuk ungkapan kasih sayang
orangtua kepada anak adalah dengan menciumnya. Inilah dasar pembentukan watak,
karakter anak. Inilah manhaj yang sangat bersifat asasi. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk
(menjadi) rahmah bagi semesta alam.” (Al Anbiya`: 107)
Dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu,
disebutkan:
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ.
قَالَ: إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ
رَحْمَةً
“Dikatakan: ‘Ya Rasulullah, doakan kejelekan bagi
orang-orang yang berbuat syirik.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sungguh, aku tidaklah diutus sebagai orang yang suka melaknat. Sesungguhnya aku
diutus untuk membawa rahmah’.” (Shahih Muslim, no. 2599)
Pendidikan tanpa disertai sikap rahmah akan membawa
akibat yang tidak ringan. Sama seperti halnya dalam dakwah. Tanpa sikap yang
diliputi rahmah, dakwah bakal membuncah tiada arah. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ
فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmah dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah
mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)
Kemudian selisiklah, bagaimana Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengembangkan sikap penuh hikmah, lembut, tidak menampakkan
kekerasan terhadap orang Arab badui yang belum mengenyam pendidikan, padahal dia
buang air di masjid. Anas bin Malik Radhiallahu‘anhu mengungkapkan kisah ini
dalam haditsnya:
بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي
الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَهْ مَهْ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا
تُزْرِمُوهُ، دَعُوهُ. فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا
تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ
فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ
“Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba- tiba datang seorang A’rabi (Badui). Kemudian
dia berdiri, buang air di masjid. Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: ‘Mah, mah’ [1]. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Jangan hentikan (buang air kecilnya). Biarkan dia.’ Para sahabat pun
meninggalkannya hingga orang tersebut menyelesaikan buang air kecilnya. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil A’rabi itu dan berbicara
kepadanya: ‘Sesungguhnya masjid-masjid ini tidaklah boleh untuk buang air kecil
atau buang kotoran. Masjid itu tempat untuk dzikir kepada Allah Azza wajalla,
shalat dan membaca Al Qur`an.’ –Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam–. Lantas beliau memerintahkan seseorang dari kaum
tersebut, maka orang itu datang membawa seember air. Disiramlah bekas buang air
kecil tadi.” (Shahih Muslim, no. 285)
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin
Rahimahullahu mengungkapkan faedah dari hadits tersebut. Kata beliau, hal itu
menunjukkan kebagusan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pengajaran beliau dan sikap lemah lembutnya. Karenanya, hendaklah bagi kita bila
berdakwah, menyeru pada perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara yang mungkar
dilakukan dengan cara yang lemah lembut. Sesungguhnya cara yang lembut akan
membuahkan kebaikan. Sebaliknya, cara yang kasar dan galak, bakal membuahkan
kejelekan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/921)
Bagaimana bila dikaitkan dengan dunia pendidikan? Tentu
pada hakikatnya sama antara dunia dakwah dengan dunia pendidikan. Karenanya,
bagi para orangtua, pendidik, pengasuh, dan semua kalangan yang berkecimpung
dalam dunia pendidikan hendaknya bisa mengedepankan sikap lemah lembut ini.
Tidak mengedepankan aksi kekerasan, mudah mengayunkan tongkat atau alat pemukul
ke tubuh anak didik. Dari Aisyah Radhiallahu 'anha, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ
كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan menyukai
kelemahlembutan dalam seluruh perkara.” (Shahih Al Bukhari no. 6927 dan Shahih
Muslim no. 2165)
Juga dari Aisyah Radhiallahu 'anha, dia
berkata:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي
سَبِيلِ اللهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memukul sesuatu dengan tangannya. Tidak terhadap istri, juga terhadap pelayan.
Kecuali saat jihad di jalan Allah.” (Shahih Muslim, no. 2328)
Menurut Al Imam An Nawawi Rahimahullahu, yang dimaksud
hadits itu yaitu memukul istri, pelayan, hewan; dan jika (memukul sesuatu) yang
dibolehkan maka dilandasi dengan adab (aturan). Namun, meninggalkannya (yakni
tidak memukul, pen.) itu lebih utama. (Al Minhaj, 15/84)
Karenanya, penting sekali bagi seorang pendidik untuk
memiliki sifat Al hilm, at ta`anni, dan ar rifq. Yang dimaksud Al hilm, menurut
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin Rahimahullahu, adalah seseorang yang
mampu mengendalikan diri ketika marah. Sedangkan at ta`anni yaitu bersikap
tenang dalam menghadapi masalah yang ada. Tidak tergesa-gesa (dalam menyikapi
perkara). Adapun ar rifq, yaitu dalam bergaul dengan sesama manusia yang
didasari kelemahlembutan dan merendah. (Syarh Riyadhish Shalihin,
1/914)
Maka, seseorang yang tidak memiliki sifat Al hilm,
dirinya akan senantiasa hanyut oleh gelombang kemarahannya. Pikiran jernihnya
pupus disapu nafsu angkara murka yang telah merebak dalam dirinya. Sehingga,
yang selalu dikedepankan oleh dirinya adalah ‘ilmu kekuatan’ (memukul,
mencambuk, dan yang sejenisnya), bukan kekuatan ilmu (nasihat, bimbingan,
arahan, dan sejenisnya). Begitu pula dengan sifat at ta`anni dan ar rifq. Tanpa
memiliki sifat tersebut, seseorang akan tergesa- gesa dalam memutuskan suatu
perkara tanpa mau secara bijak menyelami hakikat masalah yang ada pada anak. Ini
sering terjadi terkait dalam penerapan sanksi atau hukuman pada anak. Karenanya,
penting sekali memahami keadaan anak disertai sifat Al hilm, at ta`anni, dan ar
rifq.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ
أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Ini jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha
Suci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf:
108)
Pengertian
بَصِيْرَةٍ pada ayat tersebut adalah ilmu. Yang dimaksud di sini bukan semata
ilmu syar’i, namun meliputi pula keadaan mad’u (obyek dakwah) dan ilmu yang
mengantarkan kepada tujuan, yaitu Al hikmah. Maka harus dimiliki, bashirah
(ilmu) tentang hukum syar’i, bashirah (ilmu) berkenaan dengan keadaan obyek
dakwah, dan bashirah (ilmu) terhadap jalan yang mengantarkan kepada hakikat
dakwah. Ini selaras dengan apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiallahu‘anhu saat hendak diutus ke
Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari
ahli kitab.” (Shahih Al Bukhari, no. 4347, hadits dari Abdullah bin ‘Abbas
Radhiallahu‘anhuma Lihat Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin Rahimahullahu, hal. 119)
Itu berarti, saat mendidik anak, selain memiliki bekal
pemahaman agama, seseorang harus pula memahami kondisi anak. Juga tentunya,
bagaimana harus memperlakukan anak tersebut. Sehingga dengan kepribadian nan
penuh rahmah, dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan
rumah, pesantren dan tempat lainnya sebagai istana kelembutan, bukanlah sesuatu
yang mustahil. Dari sanalah lahir insan berilmu dan memiliki adab nan
luhur.
Wallahu a’lam.
[Dinukil dari majalah Asy Syariah Edisi 43/IV/1429
H/2008, Hal. 5-8, 25]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar