Adab-adab Berkendaraan
---------------------------------------------------------------------------
Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat, maka
nikmat Allah yang diberikan kepada manusia begitu banyak sehingga mereka pun
bisa membuat berbagai macam dan ragam kendaraan. Dahulu mereka cuma mengendarai
binatang-binatang berupa keledai, kuda, dan lainnya. Kemudian mereka wujudkan
semua itu dalam bentuk kendaraan yang lebih bagus, lebih kuat, lebih indah dan
lebih cepat dengan adanya sepeda, motor, mobil, pesawat, dan lainnya. Allah
-Ta’ala- berfirman,
"Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan
keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya". (QS.
An-Nahl: 8).
Dengan adanya berbagai macam nikmat tersebut,
hendaklah kita -sebagai orang-orang yang beriman-, senantiasa mengingat dan
mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Bukan hanya mengingat bagaimana
nikmatnya naik kendaraan, cepatnya sampai ke tujuan, dan bukan pula karena
bagusnya kendaraan tersebut. Bahkan seyogyanya kita mengingat dan
mensyukuri nikmat tersebut.
Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa dalam
berkendaraan pun terdapat adab-adab. Nah, sebagai bukti kesyukuran kita terhadap
nikmat-nikmat itu, maka kita dituntut untuk mengamalkan beberapa adab-adab yang
syar’i ketika berkendaraan:
-
Mengingat Allah dan Berdo’a Saat Berkendaraan
Seorang dianjurkan ketika awal memulai perjalanan
agar membaca do’a naik kendaraan yang pernah diajarkan oleh Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada ummatnya. Hikmahnya agar kita
selalu mengingat Allah yang telah menganugrahkan dan menundukkan bagi kita
kendaraan tersebut. Adapun lafazh do’a naik kendaraan, berikut nashnya:
Ali bin Robi’ah berkata, Aku menyaksikan Ali -radhiyallahu ‘anhu- ; didatangkan suatu kendaraan
(kepadanya) agar ia mengendarainya. Tatkala ia menginjakkan kakinya pada
kendaraan, ia berkata, "Bismillah". Tatkala beliau berada di
atas punggungnya, beliau berkata, "Alhamdulillah". Kemudia
beliau berdo’a,
“Subhaanalladzi sakhkharo lanaa haadza
wamaa kunna lahu muqriniin”
Kemudian beliau mengucapkan,
"Alhamdulillah" sebanyak tiga kali ; lalu
mengucapkan,"Allahuakbar" sebanyak tiga kali. Lalu berdo’a,
سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ
فاَغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
Lalu Ali bin Abi Tholib tertawa. Beliau
ditanya, "Kenapa Anda tertawa?" Beliau menjawab, "Aku telah melihat Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melakukan apa yang aku lakukan, lalu
beliau tertawa…". [HR. Abu Dawud (2602), At-Tirmidziy
(3446), dan An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8799, 8800,
& 10336). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy
Al-Atsariy dalam Mukhtashor Asy-Syama'il
Al-Muhammadiyyah (198)]
-
Tidak Melanggar Peraturan ketika Berkendaraan
Wajib bagi kita untuk menaati peraturan-peraturan
yang berlaku ketika berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang
diwajibkan memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika
berkendaraan (SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan
lain-lain. Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai
pengendara dan sebagai bentuk ketaatan kepada penguasa. Dalilnya adalah firman
Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu". (QS. An-Nisaa’: 56).
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
"Wajib Bagi seorang muslim untuk mendengar dan
mentaati (penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia benci selama ia tidak
diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat, maka
tak boleh mendengar dan taat (kepada penguasa)". [HR.
Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Ahkam (4/no. 6725) &
Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)]
Al-Imam Abul ‘Ula
Al-Mubarokfuriy-rahimahullah- berkata,
"Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika
penguasa memerintahkan perkara yang mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka
wajib (ditaati). Al-Muthohhar berkata, "Maksudnya, mendengarkan dan
mentaati ucapan penguasa adalah perkara wajib atas setiap muslim, sama saja
apakah penguasa memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan
keinginannya ataukah tidak. Tapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkannya
untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh
taat kepadanya (saat itu, –pent). Namun tak boleh baginya memerangi
penguasa". [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (5/298)]
Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM
dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk mentaatinya, walaupun memakai
helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika penguasa
memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi,
memakai helm, atau SIM dan STNK saat berkendaraan adalah perkara yang wajib.
Seorang ulama kota Madinah dan mantan Rektor
Islamic University of Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad
-hafizhahullah- dalam suatu majelisnya pernah menjelaskan bahwa
mentaati lampu merah dan rambu-rambu yang dibuat oleh pemerintah di jalan-jalan
adalah wajib, sekalipun hukum asalnya adalah mubah. Tapi hukumnya berubah karena
ada perintah dari penguasa. Sedang jika penguasa memerintahkan sesuatu yang
mubah atau sunnah, maka hukum perkara itu jadi wajib berdasarkan ayat dan hadits
di atas !!
-
Tidak Ugal-ugalan di Jalan Raya
Seseorang hendaklah memperhatikan keselamatan
dirinya dan keselamatan orang lain ketika berkendara. Jangan sampai kita menjadi
sebab tertumpahnya darah seseorang serta rusaknya harta saudara
kita. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّ دِمَاؤَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ
عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ
بَلَدِكُمْ
"Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah
haram (mulia) atas kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini,
di negeri kalian ini". [HR. Muslim dalam
Shohih-nya (1218)]
Jadi, darah dan harta seorang muslim adalah haram
kita ganggu, apalagi ditumpahkan dan dirusak, karena harta dan darah seorang
muslim memiliki kemuliaan di sisi Allah.
Ada kebiasaan buruk menimpa sebagian tempat di
Indonesia Raya, adanya sebagian pemuda yang ugal-ugalan memamerkan
"kelincahan" (baca: kenakalan) mereka dalam mengendarai motor
atau mobil di jalan raya. Ulah ugal-ugalan seperti ini bisa mengganggu, dan
membuat takut bagi kaum muslimin yang berseliweran, dan berada dekat dengan
TKP (tempat kejadian peristiwa). Bahkan terkadang mereka
menabrak sebagian orang sehingga orang-orang merasa kaget dan takut lewat,
karena mendengar suara dentuman knalpot mereka yang dirancang bagaikan
suara meriam. Padahal di dalam Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
melarang kita mengagetkan seorang muslim.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda ketika menegur sebagian sahabat yang menyembunyikan tongkat saudaranya
sehingga ia panik,
لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ
مُسْلِمًا
"Tidak halal bagi seorang muslim untuk
membuat takut seorang muslim". [HR.
Abu Dawud (5004). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam
Ghoyah Al-Maram (447)]
Kagetnya sahabat yang tertidur ini akibat ulah
temannya, jika dibanding dengan kaget, dan takutnya kaum muslimin yang lewat
atau berada di lokasi balapan, maka kita bisa pastikan bahwa balapan liar
seperti ini, hukumnya haram. Apalagi pemerintah sendiri
melarang hal tersebut, karena menelurkan bahaya bagi diri mereka, dan masyarakat
!!
-
Merawat Kendaraan dan tidak Membebani Melebihi Kapasitasnya
Kendaraan adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah
kita merawatnya dengan baik dan bukan sekedar hanya memakainya sesuka hati.
Sebagaimana binatang ternak yang kita miliki, kita tak boleh membebaninya lebih
dari kemampuannya. Diantara wujud kesyukuran kita kepada Allah, kita harus
menyayangi kendaraan –apakah berupa hewan atau bukan-, dan tidak membebaninya
lebih kemampuannya.
Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ja’far
-radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, "Beliau
masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran
air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya
mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah
onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik
siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku,
wahai Rasulullah”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا تَتَّقِي اللهَ فِيْ هَذِهِ
الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَّكَ اللهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَى إِلَيَّ أَنَّكَ
تُجِيْعُهُ وَتُدْئِبُهُ
“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam
binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia
(binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan
lapar”. [HR.Muslim dalam
Shohih-nya (342),dan Abu Dawud dalam
As-Sunan ( 2549 ).
Jadi, seorang muslim tidak boleh membebani
kendaraan lebih dari kemampuannya, sehingga ia letih atau rusak. Kita juga harus
memperhatikan bensinnya, dan olie-nya sebagaimana halnya jika kendaraan
berupa hewan, maka kita harus memperhatikan makanan, dan perawatannya. Kendaraan
yang kita miliki harus kita rawat dengan baik; jangan dibiarkan terparkir di
bawah terik matahari, tapi carilah naungan baginya. Jangan kalian bebani
melebihi kapasitas kemampuan yang telah ditetapkan baginya.
-
Memperlambat Laju Kendaraan ketika Berjalan di Jalan yang Sempit (Lorong) dan Mempercepat ketika Berjalan di Jalan yang Lapang
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-
bersabda ketika menegur seorang sahabat yang cepat dan tergesa-gesa dalam
menuntun perjalanan para wanita yang menyertai Nabi -Shallallahu 'alaihi wa
sallam- berhaji,
وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ رُوَيْدَكَ
سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيْرِ
"Wahai Anjasyah, celaka engkau ! Pelanlah
engkau dalam menuntun para wanita". [HR. Al-Bukhoriy
(6149, 6161, 6202, & 6209), dan Muslim (2323)]
Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan penafsiran ulama tentang
makna hadits ini, "Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini adalah pelan
dalam berjalan, karena jika onta mendengar al-hida’ (nyanyian hewan), maka ia
akan cepat dalam berjalan; onta akan merasa senang, dan membuat penumpangnya
kaget, dan penat. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarangnya dari hal
itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat kerasnya gerakan, dan beliau
khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya mereka". [Lihat
Syarh Shohih Muslim (15/81)]
Maka sepantasnya ketika berkendaraan, kita tenang
dan tidak terburu-buru, karena terburu-buru itu datangnya dari setan.
Boleh mempercepat kendaraan jika tidak melampaui batas sehingga ia dianggap
terburu-buru, jika ada kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya.
-
Memberi Hak kepada Jalanan
Jalanan juga mempunyai hak-hak untuk kita penuhi.
Karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berwasiat kepada
para sahabatnya ketika seseorang duduk di pinggir jalan, "Waspadalah kalian ketika duduk di jalan-jalan". Para sahabat berkata,
"Wahai Rasulullah, kami harus berbicara di jalan-jalan. Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda, "Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka
berikanlah haknya jalan". Mereka bertanya, "Apa haknya jalan?" Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ
السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْمُنْكَرِ
"(Haknya jalan adalah) menundukkan
pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab
salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah
yang mugkar". [HR. Al-Bukhoriy (6229), dan
Muslim (2121)]
Jadi, haknya jalanan ada 5: menundukkan
pandangan dari melihat perkara haram (seperti melihat kecantikan wanita
yang bukan mahram), menghilangkan gangguan apa saja (misalnya,
tidak buang sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda wanita, tidak
menyakiti orang lain, dan lainnya); demikian pula menjawab salam
orang yang mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum muslimin;
memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu sholat,
mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang mungkar
(misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang bermaksiat di
jalan, dan lainnya)
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 59 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu
Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong
Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah).
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk
berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp.
200,-/exp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar