Ada sebagian kaum muslimin yang tidak
mengerti tentang hakikat dakwah Ahlus Sunnah, lalu melontarkan berbagai tuduhan
kepada Ahlus Sunnah dengan gelar “Dakwah Haddadiyyah”, lalu mentahdzir kaum
muslimin darinya. Namun sebaliknya mereka memberikan pujian kepada para pembela
Ihya At-Turots, mentazkiyahnya, bahkan menggelarinya dengan gelar “Buku Emas”.
Hal ini disebabkan karena orang yang menuduh tersebut tidak mengerti tentang
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal-jama’ah itu sendiri. Semoga Allah memberi
hidayah kepadanya dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya.
Di
antara perkara yang telah disepakati umat ini, bahwa tidak seorang pun di
kalangan para ulama yang terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Namun seorang
mujtahid - apabila dia telah berusaha mengeluarkan fatwa untuk mencocoki al-haq
dan berjalan di atas rel Al-Qur’an dan As-Sunnah - lalu ternyata setelah itu
terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Maka sikap seorang muslim terhadap
kesalahan tersebut agar tidak bersikap ifrath (berlebih-lebihan) hingga sampai
merendahkan kedudukan seorang alim tersebut, apalagi menghajrnya
(mengucilkannya, red).
Seyogyanya pula seorang muslim tidak bersikap
tafrith (meremehkan, red), menerima setiap apa yang keluar dari pendapatnya
[mujtahid tersebut], tanpa peduli salah atau tidak, tanpa memperhatikan dalil
yang dibawakannya. Walau demikian selayaknya kita]tetap mengakui adanya
kekeliruan, tanpa harus mencerca dan merendahkan kedudukannya sebagai seorang
‘Alim. Sebab seorang mujtahid, tetap akan diganjar pahala oleh Allah Azza wa
Jalla dengan ijtihadnya, baik ijtihad tersebut benar atau pun salah.
Inilah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada
umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash
dan juga datang dari hadits Abu Hurairah radhiallahuanhuma bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Artinya : “Jika seorang hakim ingin
menetapkan hukum, lalu dia berijtihad, [apabila] benar maka dia mendapatkan dua
pahala. Dan apabila dia memberi hukum lalu berijtihad namun salah, maka dia
mendapat satu pahala.” (Muttafaq ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah Ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau)
mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti - disaat ditolak hukumnya atau fatwanya
lantaran berijtihad lalu keliru - maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan)
tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia
mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila
dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.”
(Fathul Bari: 13/331).
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
Ta’ala berkata: “Dan mereka berkata : “Pendapat inilah yang ma’ruf dari para
Shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan para Imam agama, bahwa mereka
tidak mengkafirkan, juga tidak menyatakan fasiq, tidak pula menganggap berdosa
seseorang dari kalangan mujtahid yang keliru, baik dalam permasalahan amalan
maupun keyakinan”. (Minhajus Sunnah:5/87).
Berbeda halnya dengan seorang
yang mengikuti sesuatu dengan hawa nafsu - bukan seorang mujtahid -, akan tetapi
membangun amalannya di atas sikap fanatik terhadap sesuatu, apakah fanatik
terhadap seseorang, atau madzhab tertentu atau kelompok tertentu. Ataukah
seseorang yang ingin mencari mana fatwa yang lebih ringan (tidak keras) atau
yang semisalnya, maka amalan yang semacam inilah yang dicela oleh Allah dan
Rasul-Nya.Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS Al Baqoroh:
170]
Dan firman-Nya:
Artinya : “Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau
begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” [QS Al Baqoroh:
145]
Dan firman-Nya:
Artinya : “…maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. [QS Al Maaidah:
48]
Dan firman-Nya:
Artinya : dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [QS Al Maaidah:
49]
Dan firman-Nya:
Artinya : Katakanlah: "Hai Ahli
Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar
dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah
sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." [QS Al
Maaidah: 77]
Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih sangat
banyak.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala:
(المتبعون من
الناس على قسمين: قسم عالم مسعد لنفسه ومسعد لغيره, وهو الذي عرف الحق بالدليل لا
بالتقليد ,ودعا الناس إلى معرفة الحق بالدليل, لا بأن يقلدوه,وقسم مهلك لنفسه ومهلك
لغيره,وهو الذي قلد آباءه وأجداده فيما يعتقدون ويستحسنون,وترك النظر بعقله ودعا
الناس لتقليده,والأعمى لا يصح أن يقود العميان ,وإذا كان تقليد الرجال مذموما,غير
مرضي في الاعتقادات,فتقليد الكتب أولى وأحرى بالذم, وإن بهيمة تقاد,أفضل من مقلد
ينقاد,وإن أقوال العلماء والمتدينين متضادة متخالفة في الأكثر, واختيار واحد منها
واتباعه بلا دليل باطل,لأنه ترجيح بلا مرجح فيكون معارضا بمثله )
“Orang yang mengikuti sesuatu dari
kalangan manusia ada dua bagian.
Bagian pertama: seorang yang alim yang
membahagiakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Beliau adalah yang
mengenal kebenaran dengan dalil bukan dengan taqlid dan mengajak manusia untuk
mengenal kebenaran dengan dalilnya, bukan untuk taqlid kepadanya.
Bagian
kedua: orang yang membinasakan dirinya sendiri dan membinasakan orang lain, dia
adalah orang yang taqlid kepada orang tuanya, kakeknya, terhadap apa yang mereka
yakini dan yang mereka anggap baik dan meninggalkan untuk menimbang sesuatu
dengan akalnya. [Dia] mengajak manusia untuk taqlid kepadanya, orang buta tidak
dapat menuntun orang yang buta pula. Maka apabila taqlid terhadap para tokoh
tercela, bukan perkara yang dibolehkan dalam perkara aqidah, maka taqlid
terhadap kitab-kitab pun -lebih pantas dan lebih utama - tercelanya.
Sesungguhnya hewan yang digiring lebih baik daripada seorang muqallid (yakni
orang yg mengekor, red) yang ikut (tanpa dalil). Sesungguhnya ucapan para ulama
dan orang shalih bertentangan dan berselisih dalam banyak perkara. Maka memilih
dan mengikuti (pendapat) salah satu darinya dengan tanpa dalil adalah batil,
sebab itu adalah menguatkan sesuatu tanpa ada (alasan) yang menguatkan dan ini
bertentangan.” (Qowa’id at-Tahdits, Al-Qasimi: 360).
Dari apa yang telah
kita jelaskan ini, maka kita mengetahui bahwa terjadi perbedaan hukum antara
seorang mujtahid dengan seorang pengekor hawa nafsu, yang mengikuti ucapan
seseorang tanpa hujjah. Seorang mujtahid bila keliru, tidak menyebabkan dia
tercela, apalagi untuk dihajr dan dihukumi mubtadi’. Berbeda akan halnya seorang
muqollid - yang mengikuti hawa nafsunya - dalam keadaan dia memiliki kemampuan
untuk melihat permasalahan secara jernih, namun disebabkan karena hawa
[nafsunya] yang lebih mendominasi, maka orang yang demikian ini sudah
sepantasnya mendapat celaan.
Apabila kita telah memahami hal ini,maka
ketahuilah bahwa apa yang disebutkan oleh Al-Akh Abdullah bin Taslim dalam
makalahnya, ketika menjelaskan tentang perselisihan ulama dalam hal berhubungan
dengan yayasan ihya At-Turots:
“Kalau seandainya masalah ini menyebabkan
seseorang dicela,maka mestinya para ulama yang membolehkan mengambil bantuan
tersebut yang harus lebih dahulu dicela.Karena orang-orang yang mengambil
bantuan tersebut menyandarkan hal ini kepada fatwa para ulama tersebut!”,
demikian ucapan beliau.
Semestinya Al-Akh Abdullah bin Taslim –semoga
Allah memberi hidayah kepadanya dan kepada kita semua- mengetahui bahwa seorang
alim, yang keliru dalam berijtihad tidak dapat disamakan dengan seorang yang
mengikuti hawa nafsunya, lalu lebih memilih cara taqlid buta, tanpa peduli apa
yang akan menjadi akibat dari perbuatannya tersebut. Seorang yang nikah mut’ah
karena mengikuti hawa nafsunya, harus dicela walaupun dengan alasan dia
mengikuti pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sebab telah sampai kepadanya
hujjah dan hadits yang melarang hal tersebut. Dan ini tidak menyebabkan Ibnu
Abbas radhiallahu anhuma lebih berhak untuk dicela hanya karena beliaulah yang
menfatwakannya.
Seorang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah
harus dicela dan ditahdzir saat telah sampai kepadanya ilmu tentang hal
tersebut. Walaupun dia beralasan mengikuti perbuatan Aisyah radhiallahu anha,
Tholhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam radhiallahu anhuma dalam peristiwa
perang Jamal. Atau beralasan mengikuti pendapat Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiallahuma dalam peristiwa Shiffin. Dan ini tidak menyebabkan mereka (para
shahabat radhiallahu anhum) harus dicela dan ditahdzir, disebabkan karena
kesalahan mereka tersebut dibangun di atas ijtihad. Dan masih banyak lagi
perkara yang lain yang dapat diqiyaskan kepada apa yang telah kita sebutkan ini.
Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah Ta’ala:
(واعلم أن عموم
أصحاب المذاهب يعظم في قلوبهم التفحص عن أدلة إمامهم,فيتبعون قوله,فينبغي النظر إلى
القول لا إلى القائل كما قال علي رضي الله عنه للحارث بن عبد الله الأعور ,وقد قال
له:أتظن أن طلحة والزبير كانا على الباطل؟ فقال له: يا حارث! إنه ملبوس عليك,إن
الحق لا يعرف بالرجال ,اعرف الحق تعرف أهله)
“Ketahuilah bahwa keumuman para
pengikut madzhab, sangat besar keinginan dalam diri mereka untuk mau memeriksa
dalil-dalil Imam mereka, lalu mereka pun mengikuti pendapat Imamnya. Maka
seseorang sepantasnya untuk melihat kepada ucapannya, bukan kepada orang yang
mengucapkannya. Sebagaimana yang diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu
anhu kepada Harits bin Abdullah Al-A’war, ketika Ia (Harits) berkata kepadanya:
“Apakah engkau menyangka bahwa Thalhah dan Zubair berada di atas kebatilan
?”.
Beliau menjawab: ”Wahai Harits, sesungguhnya tersamarkan olehmu
(perkara ini). Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal dengan para tokoh,
(namun) kenalilah kebenaran, niscaya engkau mengetahui pemiliknya.” (Qawa’id
At-Tahdits: 357).
Demikian pula tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah menjelaskan perbedaan antara kaum bughat (pemberontak) dengan kaum
Khawarij, bahwa tidak setiap orang yang bughat disebut sebagai kaum Khawarij.
Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu membedakan antara kesalahan
yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu anha bersama para shahabat yang lainnya
- tatkala mereka menentang Ali radhiyallahu anhu karena menuntut darah Utsman
radhiallahu anhu dari para pembunuhnya - dengan kaum Khawarij yang melakukan
sikap penentangan dan pemberontakan terhadapnya. Silahkan lihat jawaban rinci
dalam Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
jilid:35,hal:54-57. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar