Jumat, 16 September 2011

Kesalahan Mujtahid vs Pengekor Hawa Nafsu - Ifrath Haddadiyyah vs Tafrith Sururiyyah


Ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti tentang hakikat dakwah Ahlus Sunnah, lalu melontarkan berbagai tuduhan kepada Ahlus Sunnah dengan gelar “Dakwah Haddadiyyah”, lalu mentahdzir kaum muslimin darinya. Namun sebaliknya mereka memberikan pujian kepada para pembela Ihya At-Turots, mentazkiyahnya, bahkan menggelarinya dengan gelar “Buku Emas”. Hal ini disebabkan karena orang yang menuduh tersebut tidak mengerti tentang prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal-jama’ah itu sendiri. Semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya.


Di antara perkara yang telah disepakati umat ini, bahwa tidak seorang pun di kalangan para ulama yang terpelihara dari kesalahan (ma’shum). Namun seorang mujtahid - apabila dia telah berusaha mengeluarkan fatwa untuk mencocoki al-haq dan berjalan di atas rel Al-Qur’an dan As-Sunnah - lalu ternyata setelah itu terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Maka sikap seorang muslim terhadap kesalahan tersebut agar tidak bersikap ifrath (berlebih-lebihan) hingga sampai merendahkan kedudukan seorang alim tersebut, apalagi menghajrnya (mengucilkannya, red).

Seyogyanya pula seorang muslim tidak bersikap tafrith (meremehkan, red), menerima setiap apa yang keluar dari pendapatnya [mujtahid tersebut], tanpa peduli salah atau tidak, tanpa memperhatikan dalil yang dibawakannya. Walau demikian selayaknya kita]tetap mengakui adanya kekeliruan, tanpa harus mencerca dan merendahkan kedudukannya sebagai seorang ‘Alim. Sebab seorang mujtahid, tetap akan diganjar pahala oleh Allah Azza wa Jalla dengan ijtihadnya, baik ijtihad tersebut benar atau pun salah.

Inilah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash dan juga datang dari hadits Abu Hurairah radhiallahuanhuma bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Artinya : “Jika seorang hakim ingin menetapkan hukum, lalu dia berijtihad, [apabila] benar maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia memberi hukum lalu berijtihad namun salah, maka dia mendapat satu pahala.” (Muttafaq ‘alaihi)

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan bahwa tidaklah mesti - disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijtihad lalu keliru - maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan) tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331).

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata: “Dan mereka berkata : “Pendapat inilah yang ma’ruf dari para Shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan para Imam agama, bahwa mereka tidak mengkafirkan, juga tidak menyatakan fasiq, tidak pula menganggap berdosa seseorang dari kalangan mujtahid yang keliru, baik dalam permasalahan amalan maupun keyakinan”. (Minhajus Sunnah:5/87).

Berbeda halnya dengan seorang yang mengikuti sesuatu dengan hawa nafsu - bukan seorang mujtahid -, akan tetapi membangun amalannya di atas sikap fanatik terhadap sesuatu, apakah fanatik terhadap seseorang, atau madzhab tertentu atau kelompok tertentu. Ataukah seseorang yang ingin mencari mana fatwa yang lebih ringan (tidak keras) atau yang semisalnya, maka amalan yang semacam inilah yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS Al Baqoroh: 170]

Dan firman-Nya:
Artinya : “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” [QS Al Baqoroh: 145]


Dan firman-Nya:
Artinya : “…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. [QS Al Maaidah: 48]

Dan firman-Nya:
Artinya : dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [QS Al Maaidah: 49]

Dan firman-Nya:
Artinya : Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." [QS Al Maaidah: 77]

Dan ayat yang menjelaskan tentang hal ini masih sangat banyak.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala:


(المتبعون من الناس على قسمين: قسم عالم مسعد لنفسه ومسعد لغيره, وهو الذي عرف الحق بالدليل لا بالتقليد ,ودعا الناس إلى معرفة الحق بالدليل, لا بأن يقلدوه,وقسم مهلك لنفسه ومهلك لغيره,وهو الذي قلد آباءه وأجداده فيما يعتقدون ويستحسنون,وترك النظر بعقله ودعا الناس لتقليده,والأعمى لا يصح أن يقود العميان ,وإذا كان تقليد الرجال مذموما,غير مرضي في الاعتقادات,فتقليد الكتب أولى وأحرى بالذم, وإن بهيمة تقاد,أفضل من مقلد ينقاد,وإن أقوال العلماء والمتدينين متضادة متخالفة في الأكثر, واختيار واحد منها واتباعه بلا دليل باطل,لأنه ترجيح بلا مرجح فيكون معارضا بمثله )

 
“Orang yang mengikuti sesuatu dari kalangan manusia ada dua bagian.

Bagian pertama: seorang yang alim yang membahagiakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Beliau adalah yang mengenal kebenaran dengan dalil bukan dengan taqlid dan mengajak manusia untuk mengenal kebenaran dengan dalilnya, bukan untuk taqlid kepadanya.

Bagian kedua: orang yang membinasakan dirinya sendiri dan membinasakan orang lain, dia adalah orang yang taqlid kepada orang tuanya, kakeknya, terhadap apa yang mereka yakini dan yang mereka anggap baik dan meninggalkan untuk menimbang sesuatu dengan akalnya. [Dia] mengajak manusia untuk taqlid kepadanya, orang buta tidak dapat menuntun orang yang buta pula. Maka apabila taqlid terhadap para tokoh tercela, bukan perkara yang dibolehkan dalam perkara aqidah, maka taqlid terhadap kitab-kitab pun -lebih pantas dan lebih utama - tercelanya. Sesungguhnya hewan yang digiring lebih baik daripada seorang muqallid (yakni orang yg mengekor, red) yang ikut (tanpa dalil). Sesungguhnya ucapan para ulama dan orang shalih bertentangan dan berselisih dalam banyak perkara. Maka memilih dan mengikuti (pendapat) salah satu darinya dengan tanpa dalil adalah batil, sebab itu adalah menguatkan sesuatu tanpa ada (alasan) yang menguatkan dan ini bertentangan.” (Qowa’id at-Tahdits, Al-Qasimi: 360).

Dari apa yang telah kita jelaskan ini, maka kita mengetahui bahwa terjadi perbedaan hukum antara seorang mujtahid dengan seorang pengekor hawa nafsu, yang mengikuti ucapan seseorang tanpa hujjah. Seorang mujtahid bila keliru, tidak menyebabkan dia tercela, apalagi untuk dihajr dan dihukumi mubtadi’. Berbeda akan halnya seorang muqollid - yang mengikuti hawa nafsunya - dalam keadaan dia memiliki kemampuan untuk melihat permasalahan secara jernih, namun disebabkan karena hawa [nafsunya] yang lebih mendominasi, maka orang yang demikian ini sudah sepantasnya mendapat celaan.

Apabila kita telah memahami hal ini,maka ketahuilah bahwa apa yang disebutkan oleh Al-Akh Abdullah bin Taslim dalam makalahnya, ketika menjelaskan tentang perselisihan ulama dalam hal berhubungan dengan yayasan ihya At-Turots:

“Kalau seandainya masalah ini menyebabkan seseorang dicela,maka mestinya para ulama yang membolehkan mengambil bantuan tersebut yang harus lebih dahulu dicela.Karena orang-orang yang mengambil bantuan tersebut menyandarkan hal ini kepada fatwa para ulama tersebut!”, demikian ucapan beliau.

Semestinya Al-Akh Abdullah bin Taslim –semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan kepada kita semua- mengetahui bahwa seorang alim, yang keliru dalam berijtihad tidak dapat disamakan dengan seorang yang mengikuti hawa nafsunya, lalu lebih memilih cara taqlid buta, tanpa peduli apa yang akan menjadi akibat dari perbuatannya tersebut. Seorang yang nikah mut’ah karena mengikuti hawa nafsunya, harus dicela walaupun dengan alasan dia mengikuti pendapat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sebab telah sampai kepadanya hujjah dan hadits yang melarang hal tersebut. Dan ini tidak menyebabkan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma lebih berhak untuk dicela hanya karena beliaulah yang menfatwakannya.

Seorang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah harus dicela dan ditahdzir saat telah sampai kepadanya ilmu tentang hal tersebut. Walaupun dia beralasan mengikuti perbuatan Aisyah radhiallahu anha, Tholhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam radhiallahu anhuma dalam peristiwa perang Jamal. Atau beralasan mengikuti pendapat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahuma dalam peristiwa Shiffin. Dan ini tidak menyebabkan mereka (para shahabat radhiallahu anhum) harus dicela dan ditahdzir, disebabkan karena kesalahan mereka tersebut dibangun di atas ijtihad. Dan masih banyak lagi perkara yang lain yang dapat diqiyaskan kepada apa yang telah kita sebutkan ini.

Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah Ta’ala:
(واعلم أن عموم أصحاب المذاهب يعظم في قلوبهم التفحص عن أدلة إمامهم,فيتبعون قوله,فينبغي النظر إلى القول لا إلى القائل كما قال علي رضي الله عنه للحارث بن عبد الله الأعور ,وقد قال له:أتظن أن طلحة والزبير كانا على الباطل؟ فقال له: يا حارث! إنه ملبوس عليك,إن الحق لا يعرف بالرجال ,اعرف الحق تعرف أهله)
“Ketahuilah bahwa keumuman para pengikut madzhab, sangat besar keinginan dalam diri mereka untuk mau memeriksa dalil-dalil Imam mereka, lalu mereka pun mengikuti pendapat Imamnya. Maka seseorang sepantasnya untuk melihat kepada ucapannya, bukan kepada orang yang mengucapkannya. Sebagaimana yang diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu kepada Harits bin Abdullah Al-A’war, ketika Ia (Harits) berkata kepadanya: “Apakah engkau menyangka bahwa Thalhah dan Zubair berada di atas kebatilan ?”.

Beliau menjawab: ”Wahai Harits, sesungguhnya tersamarkan olehmu (perkara ini). Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal dengan para tokoh, (namun) kenalilah kebenaran, niscaya engkau mengetahui pemiliknya.” (Qawa’id At-Tahdits: 357).

Demikian pula tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan perbedaan antara kaum bughat (pemberontak) dengan kaum Khawarij, bahwa tidak setiap orang yang bughat disebut sebagai kaum Khawarij. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu membedakan antara kesalahan yang dilakukan oleh Aisyah radhiyallahu anha bersama para shahabat yang lainnya - tatkala mereka menentang Ali radhiyallahu anhu karena menuntut darah Utsman radhiallahu anhu dari para pembunuhnya - dengan kaum Khawarij yang melakukan sikap penentangan dan pemberontakan terhadapnya. Silahkan lihat jawaban rinci dalam Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: jilid:35,hal:54-57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar