Rabu, 17 Agustus 2011

Adab-Adab Puasa (3)


Adab-Adab Puasa (3)

(selesai)

Ketujuh, Menjauhi semua perkara yang bisa menghalangi terealisasinya tujuan dari puasa itu sendiri, yakni orang yang berpuasa menjaga diri dari semua perkara yang dilarang oleh syari’at berupa ucapan-ucapan kotor, perbuatan-perbuatan buruk yang diharamkan dan dibenci pada semua waktu terutama pada bulan Ramadhan, yang kejelekan tersebut akan semakin besar jika dilakukan oleh orang yang berpuasa. Oleh karena itulah wajib bagi orang yang berpuasa untuk menahan lisannya dari ucapan yang tidak ada kebaikan sama sekali padanya, seperti dusta, ghibah, namimah (adu domba), celaan, pertengkaran, dan pemanfaatan waktu yang sia-sia untuk mendendangkan syair-syair, mengobrol pada malam hari, membikin tertawa yang tidak ada manfaatnya, pujian dan celaan yang tidak pantas. Sebagaimana diwajibkan juga bagi orang yang berpuasa untuk menjaga pendengarannya dari mendengar ucapan-ucapan yang tidak baik tersebut dan dari segala sesuatu yang kotor dan tercela menurut syari’at.
Seorang yang berpuasa hendaknya bersungguh-sungguh untuk menahan jiwa dan badannya dari segala bentuk syahwat dan sesuatu yang diharamkan, seperti menundukkan pandangan, membatasi pandangan dari melihat sesuatu yang tercela dan dibenci, menjauhkan anggota-anggota badan yang lain dari terjerumus dalam perbuatan dosa, tidak menjulurkan tangannya untuk perkara yang batil, tidak pula melangkahkan kakinya kepada perkara yang batil, tidak makan kecuali makanan yang baik dan tanpa berlebihan agar terputus hawa nafsunya dan agar menguatkan penjagaan terhadap setan dan bala tentaranya, dan bersamaan dengan itu -setelah berbuka dan setelah mengerjakan seluruh ibadahnya- hatinya tetap senantiasa berada pada sikap antara berharap agar puasanya diterima dan dia menjadi orang-orang yang didekatkan kepada Allah, dengan perasaan takut puasanya tidak diterima yang menjadikan dia termasuk orang-orang yang dimurkai.
Tentang permasalahan di atas telah disebutkan dalam beberapa dalil yang memperingatkan orang yang berpuasa dari kejelekan lisan dan anggota badan. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak mau meninggalkan perkataan kotor ataupun perbuatan keji, maka Allah tidak butuh kepada upaya dia untuk meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)
Bukanlah yang dimaksudkan dalam pensyariatan puasa itu adalah menahan lapar dan dahaga itu sendiri, akan tetapi yang dimaukan dari ibadah puasa adalah apa yang ada di balik itu semua, yaitu pemutus syahwat dan tunduknya hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekan menjadi jiwa yang tunduk dan patuh, oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
Berapa banyak seorang yang berpuasa akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya tersebut kecuali hanya rasa lapar saja, dan berapa banyak seorang yang shalat malam akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari shalat malamnya tersebut kecuali hanya sebatas begadangnya saja. (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
Puasa itu hakikatnya adalah menahan perutnya dari makanan, anggota badannya dari perbuatan dosa, lisannya dari perkataan keji dan jelek, pendengarannya dari perkataan jelek, kemaluannya dari perbuatan keji, dan pandangannya dari melihat sesuatu yang haram. Apabila berbicara, hendaklah tidak berbicara dengan sesuatu yang bisa merusak puasanya, dan jika berbuat tidaklah ia berbuat dengan sesuatu yang bisa merusak puasanya. Perkataannya adalah perkataan yang bermanfaat dan perbuatannya adalah perbuatan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda :
قَالَ اللَّهُ تعالى: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِى، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ. وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
Allah ta’ala berfirman: Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya sendiri kecuali ibadah puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Puasa itu adalah perisai. Apabila suatu hari salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan onar. Apabila ada sesorang yang mencelanya atau memusuhinya maka hendaklah ia berkata : ‘Ssesungguhnya aku sedang berpuasa.’ (Muttafaqun ‘Alaihi)
Pada hadits yang lainnya dengan lafadz
لاَ تُسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، وَإِنْ كُنْتَ قَائِماً فَاجْلِسْ
Janganlah engkau mencela dalam keadaan engkau berpuasa. Jika ada seseorang yang mencelamu maka katakanlah: sesungguhnya aku sedang berpuasa, dan jika engkau sedang berdiri maka duduklah. (HR. Ibnu Khuzaimah, Asy Syaikh Al Albani berkata: shahih)
Terkadang seseorang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala walaupun dia merasakan letih karena lapar dan haus. Hal ini disebabkan karena ia tidak menjalankan puasanya sesuai dengan yang dimaukan syariat, yaitu dengan cara meninggalkan perkara-perkara yang dilarang. Karena pahala puasa terkurangi dengan sebab perbuatan maksiat, meskipun puasanya tersebut tidak batal kecuali dengan sebab-sebab yang bisa membatalkan puasa. Pada hadits-hadits di atas ada dorongan bagi yang berpuasa untuk memaafkan kesalahan orang-orang yang berbuat salah padanya dan melupakan kejelekan orang-orang yang pernah berbuat jelek padanya.
—-
Kedelapan, Menyiapkan (menjamu) hidangan berbuka bagi yang berpuasa, dalam rangka mencari pahala seperti pahala yang didapatkan orang-orang yang berpuasa tersebut. Telah shahih hadits yang menyebutkan tentang keutamaan ini dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَمْ يَنْقُصْ مَِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barang siapa menjamu untuk berbuka bagi seorang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yag berpuasa tadi tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu. (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
—-
Kesembilan, Terus menjaga shalat malam dan melaksanakannya secara berjama’ah. Selayaknya untuk terus bersemangat dalam amalan ini dan tidak terlewatkan atau meninggalkanya karena hal ini akan menyebabkan luputnya kebaikan yang banyak darinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam memotivasi para shahabatnya untuk melaksanakan shalat malam ini meskipun beliau mewajibkannya. Beliau bersabda
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang menegakkan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan dengannya pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Terkhusus pada sepuluh malam terakhir yang padanya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah memberikan pada malam itu pahala yang besar bagi yang menghidupkannya dan ampunan terhadap maksiat dan dosa yang telah lalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang menghidupkan (malam) lailatul qadr dengan penuh keimanan dan mengharapkan dengannya pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda tentang keutamaan menegakkan shalat malam tersebut dengan berjama’ah
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مع الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam (berjama’ah) sampai selesai maka akan dicatat baginya pahala shalat semalam penuh. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dishahihkan Asy-Syaikh Al -Albani)
Maka sepantasnya bagi seseorang yang berpuasa untuk bersemangat menjaga shalat malam pada bulan Ramadhan secara berjama’ah agar tidak terhalangi darinya kebaikan yang sangat besar dan pahala yang berlipat ini.
—-
Sebagai penutup, sepantasnya bagi seorang muslim untuk memberikan perhatian terhadap perkara agamanya, peduli terhadap perkara yang bisa memperbaiki dirinya sesuai dengan tuntunan syariat guna mendapatkan manfaatnya. Terutama yang terkait dengan rukun-rukun Islam dan pondasi-pondasi utamanya, termasuk ibadah puasa yang merupakan ibadah yang berulang setahun sekali dalam kehidupan seorang muslim.
Bagi seorang muslim yang Allah berikan taufiq untuk berpuasa Ramadhan dan shalat pada malam harinya, dengan penuh ikhlash dan mutaba’ah (meneladani tuntunan dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), hendaknya ia menutupnya dengan banyak beristighfar dan merasa dirinya banyak kekurangan di hadapan Allah ta’ala. Dan istighfar (hendaknya dijadikan) penutup setiap amalan dan semua bentuk ibadah, janganlah seorang mukmin terlena dengan dirinya dan merasa bangga diri dengan amalannya, merasa dirinya bersih. Bahkan wajib baginya untuk menyadari sedikit dan kurangnya amalan dia dalam menunaikan hak Allah ta’ala, senantiasa dirinya dilingkupi perasaan antara apakah amalannya itu diterima ataukah ditolak oleh Allah ta’ala. Oleh karena itulah para salaf bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan amalan dan memantapkannya kemudian setelah itu mereka berharap agar amalannya diterima oleh Allah ta’ala dan sekaligus takut jika amalannya tersebut tertolak. Mereka itulah yang Allah ta’ala sifatkan
( يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ )
Orang-orang yang melaksanakan apa yang mereka diperintahkan dalam keadaan hati mereka takut. (Al Mu’minun: 60)


Yakni merasa takut (kalau-kalau amalannya tertolak) dan tidak merasa aman dari ujian Allah, maka mereka -dalam keadaan takut amalannya tertolak- banyak beristighfar dan bertaubat bersamaan dengan kesungguhan yang luar biasa untuk beramal agar amalan mereka diterima, karena diterimanya amalan merupakan tanda dari ketakwaan. Allah ta’ala berfirman
( إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِين )
Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Ma’idah: 27)
Apabila seorang munafiq gembira dengan usainya bulan Ramadhan sehingga bisa bebas untuk melampiaskan syahwat dan berbuat maksiat yang selama satu bulan mereka terhalangi untuk mengerjakannya, maka sesungguhnya seorang muslim bergembira dengan usainya Ramadhan apabila dia berhasil menyempurnakan amalannya dengan harapan mendapatkan pahala dan keutamaan-keutamaanya, kemudian dilanjutkan dengan istighfar dan takbir serta ibadah yang lainnya.
Allah ‘azza wajalla telah memerintahkan untuk beristighfar -yang ini merupakan syi’ar para nabi ‘alaihimussalam- dengan diiringi tauhid. Seorang hamba itu sangatlah butuh terhadap keduanya (Istighfar dan Tauhid) agar amalannya berada di atas tauhid dan baik dengan istighfar sebagai bentuk pembersih amalannya dari sesuatu yang kurang atau dari berbagai bentuk kesalahan. Dalam konteks penyertaan perintah untuk bertauhid dan beristighfar ini Allah ‘azza wajalla berfirman :
( فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ )
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan beristighfarlah (mohonlah ampunan) untuk dosamu dan untuk (dosa) kaum mukminin dan mukminat. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Muhammad: 19)
Dan Allah ta’ala berfirmna tentang Nabi Yunus ‘alahis salam
( فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لاّ إِلَهَ إِلاَّ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ )
Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: Bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim. (Al Anbiya’: 87)
Kita memohon kepada Allah ta’ala agar Allah memberikan kita rizki berupa kebaikan-kebaikan dan barakah  bulan ini, dan memberikan pula rizki berupa keutamaan-keutamaan dan pahala-pahalanya, dan kita memohon kepada-Nya agar tidak mengharamkan kita dari beramal shalih pada bulan ini dan juga bulan-bulan yang lainnya. Sebagaiman juga kita memohon kepada-Nya taufiq, istiqamah, diterimanya amalan dan diampuninya segala kekurangan kita, Alhamdulillahirabbil’alamin.
وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلم تسليما.
أبو عبد المعز محمد علي فركوس

(diterjemahkan dari mizah syahri Ramadhan wa fadha`ilish shiyam wa fawa`idihi wa adabihi, Asy-Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus. Diterjemahkan oleh ‘Abdullah Imam - dengan ada perubahan dan penambahan. Sumber http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=361066 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar