Segala puji
hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala shalawat dan salam semoga tetap tercurah
atas nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, keluarga dan para
sahabatnya.
Amma
ba’du;
Ini adalah
syarah Qawaidul Arba’ yang dikarang oleh syaikul Islam Mujaddid Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah. Karena aku melihat tidak ada orang yang mensyarahnya,
maka aku ingin mensyarahnya sesuai dengan kekuatan dan kemampuanku.
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni kekuranganku
didalamnya.
Berkata
mu’allif (pengarang) rahimahullah :
Bismillahirrahmaanirrahim,
Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akherat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.
Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akherat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.
Ketahuilah!
Semoga Allah menunjukimu untuk taat kepada-Nya. Sesungguhnya Hanifiyyah millah
Ibrohim adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengikhlaskan
agama pada-Nya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
:
“Dan tidaklah
Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepadaKu.” (Adz
Dzariyat : 56)
Maka jika
kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk
beribadah kepadaNya, ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah,
kecuali dengan tauhid, sebagaimana shalat itu tidak dinamakan shalat kecuali
bersama thaharah (bersuci). Jika syirik masuk kedalam ibadah, maka rusaklah
sebagaimana hadats apabila masuk kedalam thaharah.
Jika kamu
telah tahu bahwa syirik apabila bercampur dengan ibadah, maka ia akan merusaknya
dan akan menghapus amalan, serta menjadikan pelakunya termasuk orang yang kekal
di neraka. Ketahuilah! Bahwa yang paling penting atasmu adalah mengetahui hal
tersebut. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala melepaskanmu dari perangkap
ini, yaitu syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang Allah subhanahu wa
ta’ala menyatakan tentangnya:
“sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (an Nisaa’ :
48)
SYARAH:
Qawaidul arba’ yang dikarang oleh Syaikul Islam Muhammad bin Abdul wahhab rahimahullah ini adalah risalah yang tersendiri, akan tetapi dicetak bersama “Tsalasatul Ushul” karena kebutuhan risalah tersebut agar berada di tangan-tangan penuntut ilmu.
Qawaidul arba’ yang dikarang oleh Syaikul Islam Muhammad bin Abdul wahhab rahimahullah ini adalah risalah yang tersendiri, akan tetapi dicetak bersama “Tsalasatul Ushul” karena kebutuhan risalah tersebut agar berada di tangan-tangan penuntut ilmu.
Qawaid adalah
bentuk jamak dari Qaidah. Sedangkan qaidah adalah pokok yang mempunyai cabang
atau masalah yang banyak.
Kandungan
empat kaidah yang disebutkan oleh Asy syaikh rahimahullah ini adalah mengenal
tauhid dan syirik.
Apa kaidah
didalam tauhid? Dan apa kaidah didalam syirik? Karena mayoritas manusia rusak
dalam dua perkara ini, rusak dalam makna tauhid, apa itu (tauhid)? Dan mereka
rusak dalammakna syirik, semua (orang) menafsirka keduanya sesuai dengan hawa
nafsunya masing-masing.
Akan tetapi,
yang wajib bagi kita adalah mengembalikan kaidah tersebut kepada al qur’an dan
sunnah, agar kaidah ini menjadi kaidah yang benar dan selamat yang diambil dari
kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa
sallam, terutama dalam dua perkara besar ini, yakni tauhid dan
syirik.
Syaikh
rahimahullah tidak menyebutkan kaidah ini dari diri atau pikirannya sendiri,
sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh mayoritas orang-orang yang rusak, tetapi
kaidah ini diambil dari Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam serta sejarah beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
Jika kamu
telah mengetahui kaidah ini dan memahaminya, maka akan mudah bagimu setelah itu
mengenal tauhid yang Allah subhanahu wa ta’ala mengutus dengannya para Rasul-Nya
dan menurunkan dengannya kitab0kitab-Nya, serta mengenal syirik yang allah
subhanahu wa ta’ala memperingatkan darinya, juga menjelaskan bahaya dan
kerugiannya didunia dan akherat. Ini adalah perkara yang sangat penting dan itu
lebih wajib atasmu daripada mengetahui hukum-hukum shalat, zakat, dan
ibadah-ibadah serta seluruh perkara duawiyah, karena hal ini adalah perkara yang
paling utama dan mendasar. Sedangkan shalat, zakat, haji dan selainnya –dari
perkara ibadah- tidaklah sah jika tidak dibangun diatas pondasi aqidah yang
benar yaitu tauhid yang murni kepada Allah subhanahu wa
ta’ala.
Sungguh
Syaikh rahimahullah telah memberikan muqaddimah untuk Qawaidul ‘arba’ah ini
dengan mukaddimah yang agung yang didalamnya terdapat do’a bagi pencari ilmu dan
peringatan atas apa-apa yang akan mereka ucapkan. Ketika beliau rahimahullah
berkata “Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung
untuk melindungimu di dunia dan akherat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun
kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika
mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga
hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.”. ini adalah mukaddimah yang agung.
Padanya ada do’a dari Syaikh rahimahullah bagi setiappencari ilmu yang
mempelajari aqidahnya dan menginginkan –dari hal tersebut- kebenaran, serta
menjauhi kesesatan dan kesyirikan. Sesungguhnya dia pantas untuk mendapat
pelindunga Allah subhanahu wa ta’ala di dunia dan akherat.
Jika Allah
subhanahu wa ta’ala melindunginya didunia dan akherat maka tidak ada jalan bagi
kejelekan untuk sampai kepadanya, tidak pada agamanya dan tidakpula pada
dunianya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Allah
pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir pelindungnya adalah
syaitan.” (Al Baqarah
: 257)
Apabila allah
subhanahu wa ta’ala melindungimu, (maka Dia) akan mengeluarkanmu dari kegelapan,
yakni kegelapan syirik dan kkufuran, keragu-raguan, serta penyimpangan menuju
cahaya iman dan ilmu yang bermanfaat, serta amalan shalih.
“Yang
demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman
dan sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai
pelindung.” (Muhammad :
11)
Jika Allah
subhanahu wa ta’ala melindungimu dengan pemeliharaan, taufiq, serta petunjukNya
didunia dan diakherat, maka kamu akan berbahagia dengan kebahagiaan yang tiada
celaka selamanya. Didunia Dia akan menolongmu dengan hidayah taufiq, serta
berjalan diatas manhaj yang selamat. Diakherat Dia akan menolongmu dengan
memasukkanmu kedalam surga-Nya dan kekal di dalamnya, dimana tiada rasa takut,
sakit, celaka dan tua serta ketidakenakan. Ini merupakan pertolongn Allah
subhanahu wa ta’ala kepada hambaNya yang beriman didunia dan
diakherat.
Berkata
Syaikh rahimahullah : “dan menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu
berada.”
Bila Allah subhanahu wa ta’ala menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, maka ini adalah puncak yang dicari. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan barokah pada usia, rezeki, ilmu, amal, serta keturunanmu. Dimanapun kamu berada dan menghadap, barokah senantiasa menyertaimu, maka ini adalah kebaikan yang besar dan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Bila Allah subhanahu wa ta’ala menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, maka ini adalah puncak yang dicari. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan barokah pada usia, rezeki, ilmu, amal, serta keturunanmu. Dimanapun kamu berada dan menghadap, barokah senantiasa menyertaimu, maka ini adalah kebaikan yang besar dan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Berkata
Syaikh rahimahullah : “Dan menjadikanmu termasuk orang-orang yang jika diberi
bersyukur”
Ini berbeda dengan orang yang jika diberi mengingkari nikmat dan menolaknya. Sesungguhnya, mayoritas manusia jika diberi nikmat mereka mengkufuri, mengingkari dan memalingkan pada selain ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga hal itu menjadi sebab kesengsaraannya. Adapun orang yang bersyukur, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambahnya :
Ini berbeda dengan orang yang jika diberi mengingkari nikmat dan menolaknya. Sesungguhnya, mayoritas manusia jika diberi nikmat mereka mengkufuri, mengingkari dan memalingkan pada selain ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga hal itu menjadi sebab kesengsaraannya. Adapun orang yang bersyukur, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menambahnya :
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu menyatakan “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu.” (Ibrohim :
7)
Allah
subhanahu wa ta’ala akan menambah keutamaan serta kebaikanNya kepada orang yang
bersyukur, jika ingin bertambah kenikmatan, dan jika ingin hilang kenikmatanmu
maka kufurilah.
Berkata
Syaikh rahimahullah : “Dan jika mendapat ujian bersabar”
Allah subhanahu wa ta’ala menguji hambaNya, menguji mereka dengan musibah, tipu daya, serta dengan musuh-musuh dari golongan orang-orang kafir dan munafiqin. Mereka membutuhkan kesabaran, tidak putus asa serta tidak putus harapan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tetap diatas agamanya dan tidak menjauh bersama fitnah, atau menerima fitnah. Bahkan mereka tetap diatas agamanya dan bersabar atas apa yang dijalani dari kesusahan-kesusahan didalamnya. Berbeda dengan mereka yang diuji mengeluh dan marah-marah serta putus asa dari Rahmat Allah ‘azza wa jalla, maka orang yang demikian akan ditambah dengan cobaan demi cobaan, musibah demi musibah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
Allah subhanahu wa ta’ala menguji hambaNya, menguji mereka dengan musibah, tipu daya, serta dengan musuh-musuh dari golongan orang-orang kafir dan munafiqin. Mereka membutuhkan kesabaran, tidak putus asa serta tidak putus harapan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tetap diatas agamanya dan tidak menjauh bersama fitnah, atau menerima fitnah. Bahkan mereka tetap diatas agamanya dan bersabar atas apa yang dijalani dari kesusahan-kesusahan didalamnya. Berbeda dengan mereka yang diuji mengeluh dan marah-marah serta putus asa dari Rahmat Allah ‘azza wa jalla, maka orang yang demikian akan ditambah dengan cobaan demi cobaan, musibah demi musibah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“sesungguhnya
jika Allah subhanahu wa ta’ala mencintai suatu kaum, (maka Dia akan) menguji
mereka. Barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan, dan barangsiapa yang
murka maka baginya kemurkaan”. “Dan manusia yang paling besar ujiannya adalah
para nabi, kemudian orang yang semisalnya, setelah itu orang yang
semisalnya.”
Para Rasul,
siddiqin, dan syuhada’ serta hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang mu’min
diuji, akan tetapi mereka bersabar. Adapun orang-orang munafiq, sungguh Allah
subhanahu wa ta’ala menyatakan tentang mereka :
“Dan diantara
manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada ditepi” (Al Hajj :
11)
Yang dimaksud
tepi artinya ujung.
“Maka jika ia
memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh
suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang. Rugilah ia didunia dan diakherat. Yang
demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Al Hajj :
11)
Dunia itu
tidak selamanya nikmat, mewah, lezat, bahagia dan mendapat pertolongan. Allah
subhanahu wa ta’ala menggilirkannya diantara para hambaNya. Para sahabat –yang
merupakan ummat yang paling mulia- apa yang terjadi pada mereka dari ujian dan
cobaan? Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran).” (Ali Imran :
140)
Maka,
hendaknya seorang hamba menenangkan jiwanya. Jika dia diuji, sesungguhnya hal
ini tidak khusus baginya. Wali-wali Allah subhanahu wa ta’ala telah mendahului
dengan hal tersebut. Hendaknya ia tenangkan jiwanya dan bersabar, serta menunggu
jalan keluar dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan akhir yang baik itu adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa.
Berkata
Syaikh rahimahullah : “Dan jika berdosa meminta ampun”
Adapun orang yang jika berdosa tidak meminta ampun dan bertambah dosanya, maka celakalah dia –wal iyya’udzu billah-, akan tetapi seorang hamba yang beriman, setiap kali dia berbuat dosa maka dia akan segera bertaubat.
Adapun orang yang jika berdosa tidak meminta ampun dan bertambah dosanya, maka celakalah dia –wal iyya’udzu billah-, akan tetapi seorang hamba yang beriman, setiap kali dia berbuat dosa maka dia akan segera bertaubat.
“Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada
Allah?” (Ali Imran :
135)
“Sesungguhnya
taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan
lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan
segera” (An Nisaa’ :
17)
Arti jahalah
itu bukanlah orang yang tidak berilmu, karena orang yang jahil (bodoh) tidak
disiksa. Akan tetapi jahalah disini adalah lawan dari hilm (santun). Maka setiap
orang yang bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dia adalah jahil, artinya
kurang santunnya, kurang akalnya, dan kurang kemanusiaannya. Kadang-kadang ada
orang yang alim (berilmu) akan tetapi jahil (bodoh) disisi yang lain, yaitu
tidak memiliki kesantunan dan tidak benar dalam perkara
tersebut.
“Kemudian
mereka bertaubat dengan segera” artinya, setiap kali berbuat dosa mereka minta
ampun. Tidak ada seorangpun yang maksum (terjaga) dari dosa, akan tetapi
–alhamdulillah- Allah subhanahu wa ta’ala membuka pintu taubat. Maka jika
seorang hamba berdosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Jika dia tidak
bertaubat meminta ampun, mka ini adalah tanda-tanda kesengsaraan, bahkan
kadang-kadang ada yang putus asa dari Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, lalu
setan mendatanginya dan berkata kepadanya “Tidak ada taubat
bagimu”
Tiga perkara
tersebut diatas yakni, jika diberi bersyukur, jika diuji bersabar dan jika
berdosa meminta ampun merupakan tanda-tanda kebahagiaan. Barangsiapa yang
mencocokinya dia akan mendapatkan kebahagiaan, dan barangsiapa yang terhalang
darinya atau sebagiannya, maka dia akan sengsara (celaka).
Berkata
Syaikh (Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) rahimahullah :
Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu untuk taat kepadaNya. Sesungguhnya al hanifiyyah millah ibrahim itu adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengikhlaskan agama untukNya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu untuk taat kepadaNya. Sesungguhnya al hanifiyyah millah ibrahim itu adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengikhlaskan agama untukNya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (Adz
Dzariyat : 56)
SYARAH
:
“Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu”. Ini adalah do’a dari syaikh rahimahullah, demikianlah hendaknya seorang pengajar itu mendo’akan murid-muridnya.
“Ketahuilah! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membimbingmu”. Ini adalah do’a dari syaikh rahimahullah, demikianlah hendaknya seorang pengajar itu mendo’akan murid-muridnya.
Dan taat
kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu artinya mengerjakan perintah-perintahNya
dan menjauhi larangan-laranganNya.
“Sesungguhnya
al hanifiyyah millah Ibrohim”
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti millah Ibrahim ‘alaihis salam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti millah Ibrahim ‘alaihis salam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”.
Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan” (An Nahl :
23)
Al Hanifiyyah
adalah agamanya al hanif yaitu Ibrahim ‘Alaihis salam. Sedangkan al hanif adalah
menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hatinya, amalan-amalannya,
niat, serta tujuannya, semuanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, dan berpaling
dari yang selainNya. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk
mengikuti millah Ibrahim ‘alahis salam
“Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim.” (Al Hajj :
78)
Dan millahnya
Ibahim adalah kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala mengikhlaskan
agama untukNya.
Ini adalah al
Hanifiyyah. Syaikh rahimahullah tidak hanya berkata “Kamu beribadah kepada Allah
subhanahu wa ta’ala” saja, bahkan menyatakan, “Mengikhlaskan agama untukNya”
yaitu jauhilah syirik, karena ibadah itu jika dicapuri kesyirikan, maka akan
batal. Tidak akan menjadi ibadah, kecuali jika selamat dari syirik baik besar
maupun kecil. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Al Bayyinah
: 5)
Hunafaa’
adalah bentuk jamak dari hanif yaitu ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan seluruh mahluk dengan ibadah ini,
sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan
“Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahku” (Adz
Dzariyat : 56)
Makna
“menyembahku” adalah “mengesakanKu dalam ibadah”. Dan hikmah dari penciptaan
mahluk adalah, bahwasanya mereka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan
mengikhlaskan agama untukNya. Diantara mereka ada yang mengerjakannya, dan
adapula yang tidak mengerjakannya, akan tetapi hikmah dari penciptaan mereka
adalah ini. Sehingga orang yang beribadah kepada selain Allah subhanahu wa
ta’ala adalah menyelisihi hikmah penciptaan mahluk, menyelisihi perintah dan
syariat.
Ibrahim
‘alaihissalam adalah bapaknya para Nabi yang datang setelahnya, maka seluruh
(para nabi) berasal dari keturunannya. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman
“Dan Kami
jadikan kenabian dan alKitab pada keturunannya.” (al ankabut
: 27)
Mereka
seluruhnya berasal dari bani Israel, anak cucu Ibrahim ‘alaihissalam, kecuali
Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, beliau berasal dari keturunan Ismail
‘alaihissalam. Maka seluruh para Nabi berasal dari anak-anaknya
Ibrahim’alaihissalam, sebagai penghormatan baginya dan Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikannya sebagai “Imam” bagi manusia yaitu “contoh” (bagi mereka). Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman
“sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia” (Al baqarah
: 124), maknanya yaitu panutan.
“Sesungguhny
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan” (An Nahl :
120)
Yaitu imam
yang diteladani, dengan hal itu pula allah subhanahu wa ta’ala perintahkan
seluruh mahluk, sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahKu” (Adz
Dzariyat : 56)
Maka Ibrahim
‘alaihissalam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala
sebagaimana Nabi-Nabi selainnya. Seluruh Nabi mengejak manusia untuk beribadah
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan)
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu” (An Nahl :
36)
Adapun
syariat-syariat yang berupa perintah-perintah, larangan-larangan, halam dan
haram, maka hal itu berbeda pada masing-masing ummat sesuai dengan berbedanya
kebutuhan. Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan suatu syariat lalu
menghapuskannya dengan syariat yang lain sampai datangnya syariat Islam.
Kemudian syariat Islam itu menghapus seluruh syariat (sebelumnya), dan tetaplah
syariat Islam itu sampai hari kiamat.
Sedangkan
inti agamanya para nabi yakni tauhid, maka ini belum dihapus dan tidak akan
dihapus. Agama mereka satu yaitu agama Islam dengan makna “Ikhlas untuk Allah
dengan Tauhid”. Adapun Syariat-syariat (lain) yang berbeda-beda dihapus, akan
tetapi tauhid dan aqidah dari Adam ‘alaihissalam sampai Nabi yang terakhir,
semuanya mengajak kepada tauhid dan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah mentaatiNya pada setiap waktu
dengan perkara yang diperintahkan dari syariat-syariat. Maka beramal dengan
syariat yang menghapus adalah ibadah dan beramal dengan syariat yang telah
dihapus bukanlah termasuk ibadah kepada Allah subhanahu wa
ta’ala.
Berkata
Syaikh (Muhammad bin Abdul wahhab) rahimahullah :
“Maka, jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya, ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid”
“Maka, jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya, ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan tauhid”
SYARAH
:
“(Maka jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya)”
Yaitu jika kamu mengetahui dari ayat ini :
“(Maka jika kamu sudah mengetahui bahwa allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepadaNya)”
Yaitu jika kamu mengetahui dari ayat ini :
“Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (Adz
Dzariyat : 56)
Maka kamu
termasuk manusia yang ada dalam ayat ini. Kamu mengetahui pula bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala tidaklah menciptakanmu dengan sia-sia atau untuk
menciptakanmu untuk makan dan minum saja, serta hidup didunia bebas dan gembira,
tidaklah demikian. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk
beribadah kepadaNya, hanya saja ditundukkan bagimu yang ada ini untuk membantumu
dalam beribadah kepadaNya, karena engkau tidak akan mampu hidup kecuali
dengannya. Kamu tidak akan sampai untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa
ta’ala kecuali dengan hal-hal tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala menundukkannya
bagimu agar engkau dapat beribadah kepadaNya, bukan agar kamu bergembira,
bersukaria, bebas berbuat fasik dan cabul, serta makan dan minum sesukamu,
karena ini adalah keadaan binatang. Adapun manusia, Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan mereka dengan tujuan yang besar dan hikmah yang agung, yaitu ibadah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak
menghendaki rezaki sedikitpun dari mereka.” (Adz
Dzariyat : 56-57)
Allah
subhanahu wa ta’ala tidak menciptakanmu agar kamu mencari rezeki untuk-Nya,
bekerja dan mengumpulkan harta untuk-Nya sebagaimana dikerjakan oleh sebagian
manusia dengan sebagian lainnya, yang menjadikan pekerja untuk mengumpulkan
kekayaan bagi mereka. Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan itu,
dan tidak membutuhkan alam semesta ini. Oleh karena itu Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman :
“Aku tidak
menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi Aku makan” (Adz
Dzariyat : 57)
Allah
subhanahu wa ta’ala memberi makan dan tidak diberi makan, serta tidak butuh pada
makanan. Ketidak butuhan Allah subhanahu wa ta’ala itu (sesuai) sesuai dengan
Dzat-Nya. Tidaklah dia membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kufur, tidak akan
berkurang kerajaan Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi kamulah yang butuh
kepadaNya, yaitu butuh untuk beribadah kepada-Nya. Dan termasuk Rahmat-Nya
adalah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkanmu untuk beribadah kepadaNya demi
kebaikanmu. Karena jika kamu mengibadahi-Nya, sesungguhnya Allah subhanahu wa
ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Dengan sebab itulah engkau
dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dunia dan akherat. Maka siapakah
yang mendapat faedah dari ibadah? Yang mendapat faedah dari ibadah adalah hamba
sendiri. Adapun Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya Dia tidak butuh kepada
mahluk-Nya.
Berkata
syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah :
“Maka,
ketahuilah! Sesungguhnya ibadah itu tidak dinamakan ibadah, kecuali dengan
tauhid, sebagaimana shalat itu tidak dinamakan shalat kecuali bersama thaharah
(bersuci).”
SYARAH
:
Jika kamu telah mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka sesungguhnya ibadah itu tidak menjadi benar dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala kecuali jika terpenuhi dua syarat di dalamnya. Apabila salah satu dari dua syarat tersebut tidak ada, maka batallah ibadahnya.
Syarat pertama : Menjadikan amalan tersebut ikhlas untuk wajah Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga tidak ada kesyirikan didalamnya. Jika dicampur dengan kesyirikan, maka batallah (amalan tersebut), sebagaimana halnya bersuci jika dicampur dengan hadats, maka akan batal. Demikian pula jika kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menyekutukanNya, maka batallah ibadahmu.
Syarat kedua : Mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ibadah apapun yang tidak datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka ibadah tersebut batal dan tertolak, karena termasuk bid’ah dan khurafat. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallah bersabda :
Jika kamu telah mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka sesungguhnya ibadah itu tidak menjadi benar dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala kecuali jika terpenuhi dua syarat di dalamnya. Apabila salah satu dari dua syarat tersebut tidak ada, maka batallah ibadahnya.
Syarat pertama : Menjadikan amalan tersebut ikhlas untuk wajah Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga tidak ada kesyirikan didalamnya. Jika dicampur dengan kesyirikan, maka batallah (amalan tersebut), sebagaimana halnya bersuci jika dicampur dengan hadats, maka akan batal. Demikian pula jika kamu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menyekutukanNya, maka batallah ibadahmu.
Syarat kedua : Mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ibadah apapun yang tidak datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka ibadah tersebut batal dan tertolak, karena termasuk bid’ah dan khurafat. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallah bersabda :
“Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami makaperbuatan
itu tertolak”
Dalam riwayat
yang lain disebutkan :
“Barangsiapa
yang membuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami, maka perbuatan itu
tertolak”
Maka ibadah
itu harus sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam dan bukan dengan istihsanat (anggapan baik) manusia, niat, serta tujuan
mereka. Selama ibadah tersebut tidak ada dalilnya dari syariat, maka hal itu
adalah bid’ah dan tidak bermanfaat bagi pelakunya bahkan membahayakannya, karena
merupakan kemaksiatan meskipun dia beranggapan dengan hal itu akan mendekatkan
dirinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam ibadah
harus ada dua syarat ini, yakni ikhlas dan mengikuti Rasul shallallahu’alaihi wa
sallam. Sehingga jadilah ibadah tersebut benar dan bermanfaat bagi pelakunya.
Jika kesyirikan masuk kedalamnya, maka batallah ibadah tersebut, dan jika ibadah
itu telah menjadi bid’ah dimana tidak ada dalil atasnya, maka menjadi batal
pila. Tanpa dua syarat ini, tidak ada faedahnya suatu ibadah, karena ibadah itu
tidak diatas apa yang disyariatkan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan Allah
subhanahu wa ta’ala tidak menerima, kecuali apa yang disyariatkan dalam
kitab-Nya atau atas lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa
sallam.
Tidak ada
seorangpun dari mahluk Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib kita ikuti kecuali
rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam maka dia diikuti dan ditaati jika mengikuti beliau
shallallahu’alaihi wa sallam. Jika menyelisihi Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam, maka tidak ada ketaatan kepadanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
:
“Ta’atilah
Allah dan taatilah rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (An Nisaa’ :
59)
Ulil amri
adalah para pemimpin dan para ulama. Jika mereka mentaati Allah subhanahu wa
ta’ala maka wajib bagi kita mentaati dan mengikuti mereka. Adapun jika mereka
menyelisihi perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak boleh mentaati dan
mengikuti penyimpangan mereka. Karena tidak ada seorangpun yang boleh ditaati
secara mutlak dari mahluk yang ada ini kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam. Dan yang selain Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka dia
diikuti dan ditaati jika mentaati beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Inilah
ibadah yang benar.
Berkata
Syaikh (Muhammad bin abdil wahhab) rahimahullah :
“Jika kamu mengetahui bahwa syirik bila bercampur dengan ibadah akan merusaknya dan menghapus amalan, sehingga pelakunya termasuk orang yang kekal dalam neraka. Tahukah engkau bahwa yang paling penting bagimu adalah mengetahui hal tersebut. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala membebaskanmu dari perangkap ini, yaitu syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan tentangnya.
“Jika kamu mengetahui bahwa syirik bila bercampur dengan ibadah akan merusaknya dan menghapus amalan, sehingga pelakunya termasuk orang yang kekal dalam neraka. Tahukah engkau bahwa yang paling penting bagimu adalah mengetahui hal tersebut. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala membebaskanmu dari perangkap ini, yaitu syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan tentangnya.
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (an nisaa’ :
48)
Dan hal itu
dengan mengetahui empat kaidah yang disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam
kitab-Nya”
SYARAH
:
Selama engkau mengenal tauhid yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah, maka wajib bagimu untuk mengetahui apa itu syirik. Karena seseorang yang tidak mengetahui suatu perkara, dia akan terjatuh padanya. Maka sudah seharusnya engkau mengetahui maca-macam kesyirikan dengan tujuan untuk menjauhinya, karena Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan hal itu dalam firman-Nya
Selama engkau mengenal tauhid yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah, maka wajib bagimu untuk mengetahui apa itu syirik. Karena seseorang yang tidak mengetahui suatu perkara, dia akan terjatuh padanya. Maka sudah seharusnya engkau mengetahui maca-macam kesyirikan dengan tujuan untuk menjauhinya, karena Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan hal itu dalam firman-Nya
“Sesungguhnya
Allah tidak akanmengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain (dari syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (An Nisaa’ :
48)
Adapun bahaya
kesyirikan tersebut adalah diharamkan bagi pelakunya untuk memasuki
surga
“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga.” (Al Maidah :
72)
Diharamkan
pula dia dari ampunan
“sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syrik.” (An Nisaa’ :
48)
Jika demikian
halnya, maka hal ini adalah bahaya yang besar, yang wajib engkau ketahui sebelum
bahaya lainnya. Karena syirik itu pila, telah sesat berbagai pemahaman dan
akal-akal, sehingga kita perlu mengetahui apa itu syirik dari Al qur’an dan As
Sunnah. Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan kita dari sesuatu
kecuali Dia menerangkannya, dan tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan
sesuatu kecuali menjelaskannya kepada manusia. Maka Allah subhanahu wa ta’ala
tidak akan mengharamkan syirik dan meninggalkannya secara global, akan tetapi
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskannya dalam Al Qur’an yang mulia dan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga menerangkannya dalam As Sunnah
dengan keterangan yang lengkap. Apabila ingin mengetahui apa itu syirik,
hendaknya kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sampai kita tahu syirik
tersebut dan bukan kembali pada ucapannya si fulan (seseorang), akan datang
(penjelasan) tentang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar