Ahli Waris Hasan
Al-Banna
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
Umar At-Tilmisani Dia adalah pimpinan umum ketiga
dari gerakan Ikhwanul Muslimin, setelah Hasan Al-Banna. Ia telah membuka
lebar-lebar pintu menuju kepada kesyirikan dengan mengatakan: “Sebagian
mereka mengatakan, bahwa Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampun
untuk orang-orang, bila mereka mendatangi beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam
ketika masih hidup saja. Sementara bagi saya, tidak jelas mengapa dikaitkannya
ayat1 dengan permintaan ampun tersebut saat Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam
hidup saja. Sementara (menurut saya) dalam ayat tersebut tidak ada pembatasan
semacam itu… Umar At-Tilmisani Dia adalah pimpinan umum ketiga dari
gerakan Ikhwanul Muslimin, setelah Hasan Al-Banna. Ia telah membuka lebar-lebar
pintu menuju kepada kesyirikan dengan mengatakan: “Sebagian mereka
mengatakan, bahwa Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampun untuk
orang-orang, bila mereka mendatangi beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam ketika
masih hidup saja. Sementara bagi saya, tidak jelas mengapa dikaitkannya ayat1
dengan permintaan ampun tersebut saat Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam hidup
saja. Sementara (menurut saya) dalam ayat tersebut tidak ada pembatasan semacam
itu…
Oleh karenanya saya mendapati diri saya cenderung untuk mengambil
pendapat yang mengatakan bahwa Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam memintakan
ampun untuk siapa saja yang datang kepada beliau, menuju ke hadapannya baik
semasa hidup beliau atau setelah kematiannya. Sehingga, tidak ada alasan untuk
bersikap keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali,
berlindung kepada mereka di kubur mereka yang suci, dan berdoa kepadanya saat
kesempitan. Dan karamah para wali adalah termasuk dalil-dalil atas mukjizat para
Nabi.” (Buku Syahidul Mihrab, karya Umar At-Tilmisani, hal. 225-226) Anda
lihat bagaimana ia membuka peluang untuk mereka yang ingin berdoa kepada Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam (bukan mendoakan Nabi). Lebih parah dari itu,
bahkan yang berdoa kepada para wali atau bertawassul dengan kubur mereka.
Sementara pembaca tentu tahu bahwa berdoa adalah ibadah besar yang tidak pantas
diperuntukkan kecuali hanya untuk Allah. Allah k berfirman:
وَلاَ تَدْعُ
مِنْ دُوْنِ اللهِ مَا لاَ يَنْفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ
إِذًا مِنَ الظَّالِمِيْنَ
“Dan janganlah kamu menyembah selain Allah,
yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab
jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk orang-orang yang dzalim.” (Yunus: 106) Tapi justru At-Tilmisani
mengatakan: “Tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang
berlindung kepada para wali di kuburan mereka.”
Musthafa As-Siba’i Dia
adalah Pimpinan Umum Ikhwanul Muslimin di Syria. Ia menulis sebuah qashidah
(bait-bait syair) di Raudhah, dekat mimbar Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam di
Masjid Nabawi setelah Ashar pada tanggal 10 Muharram 1284 H, lalu membacanya di
depan kubur Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sebelum dan setelah haji: Wahai
pemandu orang yang berjalan menuju Ka’bah dan tanah Al-Haram Dan menuju
Thayyibah (Madinah) tuk mencari pimpinan seluruh umat Jika upayamu untuk
menuju Al-Mukhtar (Nabi) hanya sunnah Maka upaya orang semacamku adalah
wajib, menurut orang yang memiliki keinginan tinggi Wahai tuanku, wahai
kekasih Allah, aku datang Ke hadapan pintumu tuk mengadukan rasa sakit dari
penyakitku Wahai tuanku, terus menerus penyakit itu berada di
tubuhku Karena begitu sakit aku tak pernah lalai dan tak pernah tidur …
(diambil dari majalah Hadharatul Islam, edisi khusus bertepatan dengan
kematian Musthafa As-Siba’i hal. 562-563) Pembaca, anda lihat bagaimana ia
mengadukan sakitnya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam telah wafat. Inikah tauhid? Bahkan inilah syirik
akbar yang ditentang oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Mengapa tidak ia
adukan kepada Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan minta kesembuhan
dari-Nya? Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim Alaihis
Salam:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ
“Dan apabila aku sakit,
Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80) Dalam bait-bait syair ini
juga banyak terdapat penyelewengan. (lihat Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal hal.
172)
Hasan At-Turabi Dia adalah pimpinan Ikhwanul Muslimin di Sudan.
Yang bersangkutan juga meremehkan masalah syirik. Dia menga-takan kepada jamaah
Ansharus Sunnah di Sudan: “Sesungguhnya mereka memperhatikan masalah aqidah dan
syirik terhadap kuburan, tapi mereka tidak memperhatikan syirik dalam hal
polilik. Hendaknya kita biarkan para pemuja kuburan itu thawaf di sekitar
kuburan mereka sampai kita mencapai kubah parlemen.” (Majalah Al-Istiqamah,
Rabi’ul Awwal 1408 H, hal. 26) Pembaca, sepanjang hayat Nabi Shalallahu
'alaihi wa sallam beliau memerangi para pemuja kuburan baik dengan lisan dan
tangan beliau yang mulia, lalu At-Turabi mengatakan demikian? Apakah kamu
pengikut Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, wahai Turabi? Thawaf itu hanya di
Ka’bah wahai Turabi. Demikianlah menurut kitab Rabbi, firman-Nya:
ثُمَّ
لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ
الْعَتِيْقِ
“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada
pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan
hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).”
(Al-Hajj: 29) Hasan At-Turabi juga merendahkan Nabi Shalallahu 'alaihi wa
sallam. Ia mengatakan tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam: “Dia
ini adalah sosok yang tinggi, tapi jangan kalian katakan bahwa beliau itu
ma’shum, tidak melakukan kesalahan.” (dinukil dari Ar-Raddul Qawim, hal.
8) Wahai Turabi, umat telah sepakat tentang kema’shuman Nabi, Shalallahu
'alaihi wa sallam sebagai-mana kata Adz-Dzahabi: “Sesungguhnya mereka (jumhur/
mayoritas ulama) berse-pakat bahwa para nabi ma’shum dalam menyampaikan risalah,
dan taat kepada mereka adalah wajib –kecuali menurut Khawarij–. Dan jumhur juga
berpandangan bahwa bisa jadi mereka jatuh dalam dosa kecil, namun mereka tidak
dibiarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada dosa tersebut.” (Al-Muntaqa min
Mizanil I’tidal, hal. 165) Barangkali karena keyakinannya di atas, ia
mengatakan dalam ceramahnya di hadapan para mahasiswi di Diyum timur (12/8/1982)
tentang hadits lalat yang masuk ke air2: “Ini urusan kedokteran. Dalam hal ini,
yang diambil adalah ucapan dokter kafir, dan ucapan Rasul tidak diambil karena
ini bukan bidangnya.” (Ar-Raddul Qawim, hal. 83) At-Turabi juga merendahkan
para shahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan: “Semua shahabat
itu adil? Kenapa?” (Ar-Raddul Qawim, hal. 84) Padahal Ahlus Sunnah meyakini
keadilan yakni keshalihan mereka dengan persaksian Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Betapa banyak Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam ayat
Al-Qur‘an:
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap Allah.” Al-Khatib Al-Baghdadi
(wafat 463 H) mengatakan: “…Keadilan/ keshalihan para shahabat telah pasti dan
telah diketahui, yaitu dengan persaksian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap
keadilan/ keshalihan mereka, berita-Nya tentang kesucian mereka, serta pilihan
Allah terhadap mereka, dalam nash Al-Qur`an.” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal.
46) At-Turabi menjunjung tinggi bendera persatuan antar agama. Ia mengatakan:
“Sesungguhnya persatuan kebangsaan merupakan salah satu cita-cita kita dan kami
dalam partai Islam. Dengan partai tersebut akan menuju kepada Islam atas dasar
prinsip-prinsip agama Ibrahim, yang mengumpulkan kami dengan orang-orang
Kristen, karena adanya peninggalan sejarah keagamaan yang sama…” (Majalah
Al-Mujtama’ Kuwait, edisi 763 tanggal 8/10/1985 M) Padahal Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengatakan:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran:
85)
Abdullah Azzam Dia menganggap remeh masalah syirik yaitu
peribadatan kepada berhala atau benda-benda yang dikeramatkan. Penulis buku
Al-Jama’atul Umm mengisahkan: “Sebagai contoh atas masalah ini, apa yang
dinukilkan oleh Dr. Basyir atau Barman dari Asy-Syaikh Abdullah Azzam
–rahimahullah– ketika dia berdiri di kemah Hai`ah Kibar Ulama (Badan Ulama Besar
Saudi Arabia) di musim haji dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya masalah
memerangi syirik yang diserukan oleh ulama terdahulu semisal Muhammad bin Abdul
Wahhab, dalam hal peribadatan kepada patung-patung dan mengusap-usap kuburan
telah selesai. Yang menggantikannya adalah syirik dalam bentuk lain, yaitu
syirik dalam hal berhukum dengan syariat manusia dan meninggalkan syariat
Allah.” (dinukil dari buku Asy-Syaikh Abdullah Azzam, Al-’Alim wal Mujahid, hal.
34) Bagaimana dikatakan telah selesai? Tidakkah engkau melihat syirik semacam
itu merekah di negeri pujaanmu, Afghanistan dan sekitarnya? Tolong, jangan
menutup mata.
Sayyid Quthub Demikian pula dengan Sayyid Quthub, dia
katakan: “Sesungguhnya peribadatan kepada berhala, yang Nabi Ibrahim berdoa
kepada Rabb-Nya untuk menjauhkan dirinya dan anak-anaknya dari perbuatan
tersebut, tidak hanya terwujud dalam gambaran sederhana yang dulu dilakukan oleh
orang-orang Arab saat Jahiliyyah mereka, atau yang dilakukan oleh banyak
orang-orang animisme pada benda-benda yang berwujud batu atau pohon…
Sesungguhnya gambaran sederhana ini semuanya tidak mencakup, menghabiskan bentuk
syirik kepada Allah…” (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114) Memang syirik bukan hanya
dalam bentuk ibadah kepada berhala, tapi mengapa engkau sebut itu ‘sederhana’
(sadzaj), padahal itu termasuk bentuk syirik terbesar di umat ini, baik dulu
maupun sekarang? Yang menguatkan bahwa ia meremehkan syirik dalam hal ini adalah
bahwa dia banyak membesar-besarkan syirik dalam hal hukum dan salah dalam
menafsirkan Laa ilaha illallah. Sayyid Quthub juga mencela Nabi Musa Alaihis
Salam di mana ia mengatakan: “…Anggaplah Musa, sesungguhnya dia merupakan contoh
seorang tokoh yang emosional dan temperamen.” (dari bukunya yang berjudul
At-Tashwirul Fanni, hal. 162-163) Kaum muslimin tentu tahu kedudukan para
nabi yang begitu tinggi. Kehormatannya tak boleh disentuh, bahkan harus
dihargai. Terlebih, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan tentang
Nabi Musa:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ
آذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللهِ
وَجِيْهًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan
yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat
di sisi Allah.” (Al-Ahzab: 69) Hal yang senada dengan ucapan Sayyid Quthub
diucapkan pula oleh Abul A’la Al-Maududi. Dia adalah orang yang sejalan dengan
Ikhwanul Muslimin dalam dakwahnya. Dia mengatakan: “Telah lewat 1300 tahun, dan
Dajjal belum juga keluar. Ini menunjukkan bahwa perkiraan Nabi Shalallahu
'alaihi wa sallam tidak benar.” (Dinukil dari buku Ar-Rasa`il wal Masa`il, hal.
57) Semoga Allah melindungi kita dari ucapan-ucapan semacam itu. Sayyid
Quthub juga menikam para shahabat. Ia mengatakan: “Sesungguhnya Mu’awiyah dan
‘Amr temannya, keduanya tidaklah mengalahkan ‘Ali karena keduanya lebih mengerti
sesuatu yang dirahasiakan jiwa daripada ‘Ali atau karena lebih paham atas
tindakan yang bermanfaat pada keadaan yang tepat. Akan tetapi karena keduanya
bebas menggunakan segala senjata, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam
hal memilih perangkat pertempuran. Dan ketika Mu’awiyah dan temannya cenderung
kepada kedustaan, kecurangan, penipuan, kemunafikan, suapan, dan menjual janji
(khianat), ‘Ali tidak bisa hanyut kepada tingkatan yang sangat rendah ini. Maka
tidak heran jika keduanya berhasil sementara ‘Ali gagal, dan sungguh itu adalah
kegagalan yang lebih mulia dari segala keberhasilan.” (dari bukunya Kutub wa
Syakhshiyyat, hal. 242) Pembaca, sangat tidak pantas ia ucapkan demikian
kepada kedua shahabat tersebut. Dan sangat tidak pantas ia ikut campur dalam
urusan mereka. Ketahuilah bahwa aqidah Ahlus Sunnah tentang para shahabat
adalah seperti kata Ibnu Taimiyyah t dalam Al-Wasithiyyah: “Di antara prinsip
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bersihnya qalbu dan lisan mereka terhadap para
shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala sifatkan dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا
بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.”
(Al-Hasyr: 10) Senada dengan ucapan Sayyid adalah ucapan: Muhammad
Al-Ghazali (Mesir): “Sesungguhnya Abu Dzar adalah seorang sosialis, dan ia
mengambil paham sosialisme ini dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.” (dari
buku Al-Islam Al-Muftara ‘alaihi, hal. 103) Sayyid Quthub juga beranggapan
bahwa masyarakat muslimin telah murtad, ia katakan: “…Sesungguhnya manusia telah
kembali kepada jahiliyyah dan murtad dari la ilaha illallah. Sehingga mereka
memberikan kekhususan ketuhanan kepada manusia, dan (mereka) belum kembali
mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memurnikan loyalitas kepada-Nya…
Manusia secara keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah mereka yang
mengulang-ulang di atas tempat adzan di belahan bumi timur maupun barat kalimat
laa ilaha illallah tanpa ada makna dan realita… Mereka itu lebih berat dosa dan
adzabnya di hari kiamat, karena mereka murtad menuju peribadatan kepada para
hamba setelah jelas baginya petunjuk, dan setelah sebelumnya mereka dalam agama
Allah. Subhanahu wa Ta’ala (Fi Zhilalil Qur`an, 2/1057 dinukil dari Adhwa`
Islamiyyah, hal. 92) Demikian ia memvonis murtad masyarakat muslim di belahan
timur bumi maupun barat, hanya karena anggapannya bahwa mereka tidak berhukum
dengan hukum Allah k. Sungguh batil apa yang ia ucapkan. Ucapannya itu timbul
karena dia melenceng dari aqidah Ahlus Sunnah dalam masalah ini.
Sa’id
Hawwa Sa’id Hawwa adalah salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin. Ia begitu memuji
aliran sufi, tarekat Rifa’iyyah dan begitu terheran-heran dengan akrobat
syaithaniyyah yang ada pada mereka. Ia mengatakan: “Suatu ketika, seorang
Nashrani memberitakan kepadaku tentang sebuah kejadian yang dialaminya sendiri.
Dan itu sebuah kejadian yang masyhur dan telah sangat diketahui. Allah
kpertemukan aku dengannya setelah berita tentang kejadian itu sampai kepadaku
melalui jalan lain. Ia memberitahuku bahwa ia menghadiri sebuah majelis dzikir.
Salah satu peserta dzikir itu menusukkan pedang kepada yang lain di punggungnya
sampai pedang tersebut tembus, dan sampai ia (yang ditusuk) memegangnya lalu
pedang itu ditarik lagi. Tapi tidak berbekas sama sekali dan tidak
mencelakakannya. Sungguh hal ini yang terjadi pada para pengikut tarekat
(Rifa’iyyah). Dan terus melekatnya hal itu pada mereka merupakan keutamaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang terbesar atas umat ini…” (dari bukunya Tarbiyatuna
Ar-Ruhiyyah, hal. 218) Dia katakan juga: “Dan saya tulis buku saya
Tarbiyatuna Ar-Ruhiyyah dengan tujuan menjelaskan salah satu dari dua macam tema
fiqih yang besar dan yang terbesar, yaitu tema tasawwuf yang tertata. Supaya
saya bisa meletakkan perkara-perkara pada tempatnya dalam masalah hakekat sufi,
yang hal itu merupakan salah satu ciri pokok dakwah Al-Ustadz Hasan Al-Banna
rahimahullah.” (dari buku Jaulaat, Al-Jaulatul Ula, hal. 17) Duhai… tema sufi
dan kisah-kisah sufi semacam kisah di atas yang amat bertentangan dengan aqidah
yang shahih dianggap ‘fiqih yang besar dan yang terbesar’!! Ia pun sangat
memuji para ahli bid’ah, ia mengatakan: “Sesungguhnya kaum muslimin di sela-sela
zaman memiliki para imam dalam hal aqidah, fiqih, tasawwuf dan jalan kepada
Allah. Maka imam mereka dalam hal aqidah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Manshur Al-Maturidi.” (dari buku Jaulaat fil Fiqhaini Al-Kabir Wal Akbar hal.
22) Tahukan pembaca siapa kedua tokoh yang dia anggap sebagai imam dalam hal
aqidah? Keduanya adalah pencetus aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang
bertolak belakang dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tapi Abu Hasan akhirnya
bertaubat dan kembali kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ucapan senada
dengan ucapan Sa’id Hawwa diungkapkan Abdul Fattah Abu Ghuddah yang mengatakan
tentang Zahid Al-Kautsari: “Ini sebagai hadiah kepada arwah ustadz para ahli
tahqiq (peneliti), Al-Hujjah, Al-Muhaddits (Ahli Hadits), Ahli ushul fiqh,
peneliti, ahli sejarah, Al-Imam Zahid Al-Kautsari.” (Ar-Raf’u wat Takmil, hal.
68) Tahukah pembaca siapakah Zahid Al-Kautsari itu? Dia adalah pembawa
bendera aliran Jahmiyyah di masa belakangan ini, dan sangat membenci Ahlus
Sunnah wal Jamaah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi Dia adalah salah satu hasil
didikan Hasan Al-Banna dan sangat terkesan dengan sosok Al-Banna. Sehingga tak
heran bila ia mengajak untuk mengubur permusuhan dengan Yahudi dan Nashrani. Ia
mengatakan: “Di antara manusia ada yang bersandar kepada sebagian nash dari ayat
Al-Qur`an dan hadits Nabi, ia memahaminya dengan pemahaman yang dangkal,
terburu-buru berdalil dengannya untuk berfanatik terhadap Islam dalam menghadapi
musuhnya dari kalangan Yahudi dan Nashrani dan selain mereka. Contoh-contoh
nyata dari nash dan ayat yang melarang untuk berloyal kepada selain mukminin di
antaranya… (lalu ia sebut sebagiannya, di antaranya:)
لاَ تَجِدُ قَوْمًا
يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوَادُّوْنَ مَنْ حَادَّ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ
أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوْبِهِمُ الإِيْمَانَ وَأَيَّدَهُمْ
بِرُوْحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ
خَالِدِيْنَ فِيْهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللهِ
أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Kamu tidak akan mendapati
sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka
itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadalah:
22) Ternyata itu bukan hanya ucapan, bahkan ia buktikan dengan kehadirannya
dalam muktamar pendekatan antar agama. Ungkapnya: “Pada tahun ini, bulan Mei
yang lalu saya menghadiri sebuah muktamar di Moskow. Muktamar itu membahas
tentang Islam dan bagaimana saling memahami antar agama dan
masyarakat-masyarakat lain. Yang mengikutinya adalah orang-orang Nashrani dan
Yahudi serta agama-agama selain mereka. Dan di akhir musim panas, saya
menghadiri pesta penghormatan untuk pertemuan orang-orang Kristen dengan
sebagian muslimin, yang diprakarsai oleh Majelis Gereja untuk Timur Tengah.”
(Koran Asy-Syarqul Ausath, edisi 2789, Jumada Ats-Tsaniyah 1416, bertepatan
dengan 1995 M) Buah dari pernyataan dan perbuatannya itu, ia menyatakan siap
untuk mengadakan pendekatan antar agama. Yang disayangkan, ia memposisikan
dirinya sebagai juru bicara muslimin. Ia pun mencari titik temu antar agama dan
mengatakan tidak ada jihad dalam Islam kecuali jihad untuk membela diri. Bahkan
menyatakan peperangan dengan Yahudi bukan karena agama tapi karena tanah,
katanya: “Kami tidak memerangi Yahudi karena aqidah. Kami hanyalah memerangi
mereka karena tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena mereka kafir,
tapi karena mereka merampas tanah dan rumah kami serta mengambilnya tanpa hak.”
(Ar-Rayah, edisi 4696) [kutipan-kutipan ucapannya ada dalam dalam buku Raf’ul
Litsam dan lainnya] Demikianlah kesesatan demi kesesatan saling melengkapi,
na’udzubillah min dzalik. Iapun berpandangan bahwa antara demokrasi dan syura
adalah serupa (Koran Asy-Syarq, edisi 2719), padahal keduanya seperti timur dan
barat, tidak akan pernah ketemu.
Mengadakan Pendekatan antara Sunnah
dengan Syi’ah Asy-Syatti dari Kuwait mengatakan: “Syi’ah Imamiyyah termasuk
umat Muhammad. Sedangkan Syah (Penguasa Iran waktu itu, red.) mengangkat bendera
Majusi, sehingga tidak termasuk kebenaran bila kita mendukung bendera Majusi dan
meninggalkan bendera umat Muhammad.” (Majalah Al-Mujtama’, edisi
455) Al-Ghanusyi menukilkan ucapan Al-Banna: “Sesungguhnya kami ingin
berhukum dengan Islam sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad n. Tidak ada
perbedaan antara Sunnah dengan Syi’ah, karena madzhab-madzhab itu belum ada di
jaman Rasulullah n.” (Al-Harakah Islamiyyah wat Tahdits hal. 21) Demikianlah
keadaan aqidah para tokoh gerakan ini. Pantaskah mereka ditokohkan, sementara
berbagai macam kesesatan ada pada mereka?!!
Sumber
Bacaan: Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad
An-Najmi Haqiqatud Da’wah Ilallah, karya Sa’d Al-Hushayyin Nadharat fi
Manhaj Al-Ikhwanil Muslimin, karya A. Salam dll
1 Ayat yang
dimaksud adalah surat An-Nisa ayat 64:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ
إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا
اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul pun,
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” As-Sa’di menyebutkan dalam Tafsir-nya,
hal. 185 bahwa ini berlaku ketika hidupnya Nabi Shalallahu 'alaihi wa
sallam. 2 Yaitu hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْه
يَقُوْلُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا وَقَعَ
الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي
إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَاْلأُخْرَى شِفَاءً
Dari Abu Hurairah z, ia
berkata bahwa Nabi n bersabda: “Apabila seekor lalat masuk ke minuman salah
seorang di antara kalian maka hendaknya ia mencelupkannya lalu membuangnya,
karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayapnya yang lain ada
obatnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq)
(
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=305
) |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar