Al Wala` Wal Bara` Ala
Ikhwanul Muslimin
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Ikhwanul Muslimin (untuk selanjutnya disingkat IM) bisa
diibaratkan seperti lokomotif bagi gerbong-gerbong kelompok harakah (pergerakan)
Islam dewasa ini1. Pasalnya, IM tergolong kelompok paling tua dalam dunia
harakah, bahkan telah banyak melahirkan kelompok-kelompok pergerakan yang muncul
setelahnya. Ikhwanul Muslimin (untuk selanjutnya disingkat IM) bisa
diibaratkan seperti lokomotif bagi gerbong-gerbong kelompok harakah (pergerakan)
Islam dewasa ini1. Pasalnya, IM tergolong kelompok paling tua dalam dunia
harakah, bahkan telah banyak melahirkan kelompok-kelompok pergerakan yang muncul
setelahnya.
Demikian pula para tokohnya. Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb,
Muhammad Quthb, Hasan Al-Hudhaibi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Ash-Shawwaf,
Musthafa As-Siba’i, Umar At-Tilmasani, Muhammad Hamid Abu Nashr, Yusuf Qardhawi,
Muhammad Al-Ghazali, Fathi Yakan, Hasan At-Turabi, Abul A’la Al-Maududi,
Al-Ghanusyi, Sa’id Hawa dan yang lainnya adalah “orang-orang lama” yang
dijadikan narasumber dan “tempat kembali” bagi para aktivis pergerakan. Sontak,
kondisi semacam ini cukup mengkhawatirkan… Terkhusus ketika fakta membuktikan
bahwa penyimpangan telah terjadi dari dalam IM. Sebagaimana pernyataan Ali
Asymawi (mantan tokoh IM yang pernah mendekam di balik terali besi selama 23
tahun dalam perjalanannya bersama mereka), “Menurutku IM (ketika itu) merupakan
induk seluruh kelompok (tanzhim) Islam di dunia Arab, karena IM-lah yang paling
tua dan yang melahirkan berbagai kelompok setelahnya. Segala bentuk
penyimpangannya pun bersumber dari dalam IM sendiri.” (At-Tarikh As-Sirri
Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah
Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-’Adnani, hal. 76) Para pembaca,
bahasan kali ini tidak-lah menyingkap seluruh penyimpangan IM. Akan tetapi
khusus penyimpangan mereka dalam hal Al-Wala` dan al-Bara` yang merupakan tali
keimanan yang paling kokoh. Rasulullah n bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى
اْلإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي
اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali keimanan yang terkokoh adalah berloyal
karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena
Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 11.537 dari shahabat
Abdullah bin ‘Abbas c. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
no. 1.728)
Apa itu Al-Wala` dan Al-Bara`? Al-Wala` adalah loyalitas
dan kecin-taan kepada Allah k dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Sedangkan
al-Bara` adalah benci dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah k dan Rasul-Nya
serta musuh-musuh kaum mukminin. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
berkata: “Sesungguhnya, setelah mencintai Allah k dan Rasul-Nya, maka wajib
mencintai wali-wali Allah k dan memusuhi musuh-musuh-Nya. Dan di antara prinsip
(aqidah) Islam yang terpenting adalah bahwa setiap muslim yang beraqidah Islam
wajib loyal dan mencintai orang-orang yang berpegang teguh dengannya (aqidah
Islam) dan memusuhi para penentangnya. Sehingga diapun loyal dan mencintai
orang-orang yang bertauhid lagi mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah k semata,
dan membenci/ memusuhi orang-orang yang menyekutukan Allah k. Prinsip ini telah
ada dalam ajaran Nabi Ibrahim p dan orang-orang yang bersama beliau yang kita
diperintah untuk meneladani mereka. Allah k berfirman:
قَدْ كَانَتْ
لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا
لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ
أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri
tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika
mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu
dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan
telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu selama-lamanya, sampai
kamu mau beriman kepada Allah semata’.” (Al-Mumtahanah: 4) [Al-Wala` wal-Bara`
Fil Islam, hal. 3] Prinsip inipun terus berkesinam-bungan hingga masa Nabi
Muhammad n. Allah k berfirman tentang prinsip Al-Wala`:
إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ
الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُوْنَ. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ وَالَّذِيْنَ آمَنوُا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ
الْغَالِبُوْنَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut
(agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma`idah: 55-56)
مُحَمَّدٌ
رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang
bersamanya sangatlah keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang
terhadap sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ
إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara.” (Al
Hujurat: 10) Adapun firman Allah k tentang prinsip al-Bara`:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي اْلقَوْمَ
الَّظالِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan
orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin (mu), sebagian mereka
adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang
menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ
تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman
setia.” (Al-Mumtahanah: 1)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ
تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا اْلكُفْرَ
عَلَى اْلإِيْمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan
bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran di atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kamu
menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”
(At-Taubah: 23)
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ
اْلآخِرِ يُوَادُّوْنَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ
أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ
“Kamu tidak
akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga
mereka.” (Al-Mujadilah: 22)
Slogan Peruntuh Al-Wala` Wal-Bara` Mungkin
anda sering mendengar slogan persatuan yang diproklamirkan Hasan Al-Banna, sang
pendiri IM. Slogan yang berbunyi, “(Mari) kita saling tolong-menolong dalam
perkara-perkara yang disepakati dan saling toleran dalam perkara-perkara yang
diperselisihkan.” Misi apakah yang terselubung di balik slogan
tersebut? Ali Asymawi berkata: “IM getol sekali mendengungkan slogan mereka
yang amat terkenal di kalangan kelompok-kelompok dan ormas-ormas Islam ‘(Mari)
kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati dan saling
toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’. Sebuah slogan yang
diluncurkan dalam upaya memegang tali kendali (umat) dan menggiring segala laju
permasalahan untuk kepentingan mereka.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil
Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal.
76) Bagaimanakah aplikasi dari slogan tersebut di kalangan IM? Ali Asymawi
berkata: “(Dalam mengaplikasikannya, –pen.) tidak ada upaya pembenahan atau
pembersihan hal-hal negatif ataupun meluruskan penyimpangan yang telah
menggurita di tengah-tengah kelompok pergerakan Islam. Hingga akhirnya
(penyimpangan itu pun, -pen.) bercokol dengan kokohnya di seluruh penjuru dunia.
Faktor penyebabnya adalah terjatuhnya mayoritas mereka ke dalam sikap ekstrim
(berlebihan) –ketika menerapkan slogan tersebut–.” (At-Tarikh As-Sirri
Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah
Fa’rifuha, hal. 76) Fakta dan data di lapangan menun-jukkan benarnya
keterangan Ali Asymawi (akan dijelaskan secara rinci nantinya). Terlebih
hari-hari ini, ketika slogan itu lebih dikongkritkan dalam bahasa-bahasa yang
keren, lugas dan terkesan adem: “Islam Warna-warni”, “Berbeda-beda tetapi tetap
satu jua”, dll, yang digandrungi oleh banyak kelompok, ormas, dan parpol.
Selidik punya selidik, ternyata dalam realisasinya meruntuhkan prinsip al-wala`
wal-bara`. Apa misi di balik itu? Jawabnya adalah idem, seperti keterangan
Ali Asymawi tentang IM. Atau, mungkin ada jawaban lain…? Wallahul
Musta’an. Akibatnya, semakin bercokollah penyimpangan/ kebatilan pada
individu ataupun kelompok, karena tidak ada upaya pembenahan, pembersihan
hal-hal negatif ataupun meluruskan penyimpangan yang telah menggurita
(sebagaimana pernyataan Ali Asymawi). Bahkan ketika ada yang berupaya meluruskan
penyimpangan tersebut, justru malah mendapatkan serbuan komentar: “Kayak yang
bener sendiri”, “Ndak usah ngurusi orang lain”, “Masing-masing kan punya dasar”,
“Ribut terus, orang kafir sudah sampai ke bulan kita masih ngurusi khilafiyyah”,
dan lain sebagainya. Padahal seringkali upaya pembenahan dan pelurusan itu
berkaitan dengan masalah aqidah. Saudara, contoh di atas erat kaitannya
dengan internal kita kaum muslimin. Dan lebih mengherankan, ketika kaitannya
dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang kafir lainnya yang Allah k
wajibkan kita untuk bara` (berlepas diri/membenci) mereka sebagaimana dalam
ayat-ayat yang disebutkan di awal bahasan. Berondongan komentar pun acap kali
didengar, “Mereka itu saudara kita”, “Semua agama sama”, dan lain
sebagainya. Mungkin anda merasa janggal, khususnya kaitannya dengan IM.
Bukankah pada tahun 1948, IM terlibat kontak senjata melawan orang-orang Yahudi
Israel di Palestina?! Jawabnya adalah: Benar. Namun apa motivasinya? Hasan
Al-Banna berkata (tentang kasus Palestina): “Untuk itu kami tetapkan bahwa
permusuhan kami dengan Yahu-di bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah
menganjurkan untuk berga-bung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam
merupakan syariat kemanusiaan sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun
telah memuji mereka dan men-jadikan antara kita dengan mereka keter-kaitan yang
kuat.” (Al-Ikhwanul Mus-limun Ahdatsun Shana’at Tarikh, I/409-410. Lihat
Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59) Kalau bukan karena agama, lalu
apa? Yusuf Qardhawi berkata: “Kami memerangi orang-orang Yahudi bukan karena
urusan aqidah, akan tetapi karena urusan tanah. Kami memerangi mereka bukan
karena statusnya sebagai orang-orang kafir, akan tetapi karena mereka merampas
(tanah Palestina).” (Surat Kabar Ar-Rayah, Qatar edisi 4696, 25 Januari 1995.
Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (lampiran) hal. 207)
Fatwa
Ulama tentang Slogan IM Itu Manakala para tokoh IM telah berlebihan dalam
merealisasikan slogan mereka itu, maka jerit peringatan dari dalam tubuh IM pun
terdengar, sebelum adanya fatwa para ulama. Lagi-lagi Ali Asymawi mengatakan:
“Untuk itu, aku melihat bahwa sekaranglah saatnya memberi peringatan dan membuka
jendela-jendela, agar sinar mentari dan udara segar bisa masuk ke lorong-lorong
jamaah (IM) yang telah pengap dan membusuk aromanya. Dan juga, agar pengalaman
hidupku bersama mereka dapat menjadi pelajaran berharga bagi para pemuda untuk
tidak gegabah dalam mencari jalan hidupnya, mempertim-bangkan secara matang ke
mana kakinya hendak dilangkahkan, dan tidak mudah hanyut dalam memberikan
loyalitas dan ketaatannya pada siapapun… Karena Allah k telah mengaruniakan kita
akal fikiran sebagai kehormatan bagi anak manusia. Tidaklah sepantasnya kita
menyia-nyiakannya, agar tidak mudah dijadikan bulan-bulanan oleh siapapun dan
bergerak di bawah slogan apapun.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil
Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76) Adapun
fatwa para ulama, antara lain: 1. Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
t. Beliau berkata: “Ya, wajib untuk saling tolong-menolong dalam
perkara-perkara yang disepakati berupa kebenaran, dakwah kepada kebenaran
tersebut dan memper-ingatkan (umat manusia) dari apa yang dilarang Allah k dan
Rasul-Nya. Adapun saling toleran dalam perkara yang diperselisihkan, maka tidak
bisa dibenarkan secara mutlak, bahkan harus dirinci. (Yaitu) di saat perkara
tersebut termasuk masalah ijtihad yang tidak ada dalilnya secara jelas, maka
tidak boleh di antara kita saling mengingkari. Sedangkan bila perkara tersebut
jelas-jelas menyelisihi nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wajib diingkari
dengan hikmah, nasehat dan diskusi dengan cara terbaik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz,
3/58-59. Lihat Zajrul Mutahawin Bidharari Qa’idah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun,
karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman, hal. 128) 2. Fatwa Asy-Syaikh Al-Albani
t. Beliau berkata ketika mengkritik para pengusung slogan di atas: “Merekalah
orang yang pertama kali menyelisihinya. Kami yakin bahwa penggalan (pertama,
-pen.) dari slogan tersebut benar, yaitu ‘(Mari) kita saling tolong-menolong
dalam perkara-perkara yang disepakati’. Ini tentunya dipetik dari firman Allah
k:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِّرِ وَالتَّقْوَى
“Saling
tolong-menolonglah dalam perkara kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Ma`idah:
2) Adapun penggalan kedua ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang
diperselisihkan’, maka harus dipertegas… Kapan? (Yaitu) ketika kita saling
menasehati. Dan kita katakan kepada yang berbuat kesalahan: ‘Engkau salah,
dalilnya adalah demikian dan demikian.’ Bila dia belum puas dan kita lihat dia
seorang yang ikhlas (pencari kebenaran, -pen.) maka kita tolerir dia, dan saling
tolong-menolong dengannya dalam perkara-perkara yang disepakati. Adapun bila dia
seorang penentang kebenaran lagi sombong dan berpaling darinya, maka saat itulah
tidak berlaku penggalan kedua dari slogan tersebut dan tidak ada toleransi di
antara kita dalam perkara yang diper-selisihkan itu.” (Majalah Al-Furqan,
Kuwait, edisi 77, hal. 22. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 130) 3. Fatwa
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin t. Beliau berkata: “Slogan mereka ‘(Mari)
kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’, ini benar.
Adapun ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’, maka ini
harus dirinci: Bila termasuk perkara ijtihad yang memang dibolehkan
berbeda, maka hendaknya kita saling toleran, dan tidak boleh ada sesuatu di hati
karena perbedaan tersebut. Adapun bila termasuk perkara yang tertutup pintu
ijtihad, maka kita tidak boleh toleran kepada orang yang menyelisihinya. Dan
diapun harus tunduk kepada kebenaran. Jadi bagian pertama benar, sedangkan
bagian akhir harus dirinci.” (Ash-Shahwah Al-Islamiyyah, Dhawabith Wa Taujihat,
I/218-219. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 129)
Fenomena Al-Wala` Wal Bara`
Ala IM Demikianlah koreksi para ulama atas slogan IM di atas. Lalu
bagaimanakah fenomena IM di dalam merealisasikannya? Simaklah keterangan berikut
ini! 1. Garis besar Al-Wala` wal-Bara` ala IM. Hasan Al-Banna dalam
momentum peringatan HUT IM yang ke-20 (5-9-1948) berkata: “Gerakan IM tidaklah
memusuhi aqidah, agama, atau kelompok apapun.” (Qafilah Al-Ikhwan, karya
As-Sisi, I/211. Lihat Ath-Thariq Ilal Jama’atil Um, hal. 132) Muhammad
Al-Ghazali berkata: “Selaras dengan sejarah lama, maka kamipun berkeinginan
untuk membentangkan tangan-tangan kami dan membuka telinga dan hati kami untuk
setiap seruan yang mempersatukan agama-agama, dan mendekatkan antar pemeluknya
serta menghilangkan sebab-sebab perpecahan dari hati-hati mereka.” (Wamin Huna
Na’lam, hal. 150. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 60) 2.
Sikap IM terhadap Yahudi dan Nasrani Hasan Al-Banna berkata (tentang kasus
Palestina): “Untuk itu kami menetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahudi
bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah menganjurkan untuk bergabung
dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam merupakan syariat kemanusiaan
sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun telah memuji mereka dan
men-jadikan antara kita dengan me-reka keterkaitan yang kuat.” (Al-Ikhwanul
Muslimun Ahdatsun Shana’at Tarikh, I/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah
Fa’rifuha, hal. 59) Yusuf Qardhawi berkata: “Kami memerangi orang-orang
Yahudi bukan karena urusan aqidah, akan tetapi karena urusan tanah. Kami
memerangi mereka bukan karena statusnya sebagai orang-orang kafir, akan tetapi
karena mereka merampas (tanah Palestina).” (Surat Kabar Ar-Rayah, Qatar edisi
4696, 25 Januari 1995. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (lampiran)
hal. 207) Musthafa As-Siba’i berkata: “Islam bukanlah agama yang memerangi
agama Nashrani, bahkan mengakui dan memuliakan agama Nashrani... Islam tidak
membedakan antara muslim dan Nashrani. Islam tidak memberikan hak lebih terhadap
muslim atas hak Nashrani dalam kedudukan di pemerintahan…” (Ath-Thariq Ilal
Jama’atil Um, hal. 134) Hasan At-Turabi dalam ceramahnya yang berjudul
Ta’dilul Qawanin, berkata: “Boleh bagi seorang muslim untuk menjadi Yahudi atau
Nashrani, seperti halnya mereka (Yahudi dan Nashrani) dibolehkan untuk menjadi
muslim.” Di kesempatan ceramahnya yang lain dengan tema Ad-Daulah Baina
Nazhariyyah Wa Tathbiq, berkata: “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk
mengkafirkan Yahudi dan Nashrani.” (Isyruna Ma’kha-dzan ‘Ala As-Sururiyyah, hal.
2. Lihat Majalah Asy Syari’ah edisi Fenomena Sinkretisme Agama, hal. 21) 3.
Sikap IM terhadap Syi’ah Rafidhah. Syi’ah Rafidhah adalah rintisan Abdullah
bin Saba‘ seorang Yahudi dari Yaman. Di antara keya-kinan kelompok ini adalah:
Al-Qur`an (kaum muslimin) yang ada telah mengalami perubahan dan pengurangan
sehingga tak tersisa lagi kecuali hanya 1/3 dari aslinya; para shahabat telah
murtad (sepeninggal Nabi n) kecuali beberapa orang saja; para istri Nabi n
adalah pelacur; imam-imam mereka ma’shum dan kedudukannya di atas malaikat dan
nabi; dan lain sebagainya (untuk lebih rincinya, lihat Rubrik Manhaji Majalah
Asy Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa dan Syi’ah Menikam Keluarga
Nabi) Bagaimanakah sikap IM terhadap mereka? Simaklah keterangan tokoh-tokoh
mereka: Umar At-Tilmasani berkata: “Pada th 1940-an –sesuai apa yang
kuingat– Sayyid Al-Qummi (tokoh Syi’ah) mengunjungi IM di markas besarnya,
saat-saat Al-Imam Asy-Syahid (Hasan Al-Banna, -pen.) berjuang keras untuk
mempersatukan seluruh madzhab… Kami pun bertanya kepadanya (Hasan Al-Banna,
-pen.) tentang perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Maka dia melarang kami
untuk masuk ke dalam masalah-masalah riskan semacam ini.” (Mauqif Ulama’
Al-Muslimin, karya Dr. Izzuddin Ibrahim hal. 5-21. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal
Fitnah Fa’rifuha, hal. 56) Salim Bahnasawi berkata: “Sejak terbentuknya
lembaga pendekatan antara madzhab-madzhab Islam yang diprakarsai Al-Imam
Al-Banna dan Al-Imam Al-Qummi, kerjasama antara IM dengan Syi’ah pun terus
berlangsung, yang akhirnya membuahkan kunjungan Al-Imam Nuwab Shafawi (tokoh
Syi’ah) ke Kairo pada tahun 1954 M.” Dia juga berkata: “Dan itu bukan hal
aneh, karena manhaj (prinsip) kedua kelompok sama-sama mendukung kerja sama
tersebut.” (Mauqif Ulama’ Al-Muslimin, hal. 13. Lihat Tahafutusy Syi’arat Wa
Suquthul Aqni’ah, karya Abdul ‘Aziz bin Syabib Ash-Shaqr, hal. 32) Abdul
Aziz bin Syabib Ash-Shaqr berkata: “Ketika Hasan Al-Banna wafat, warisan
(pemikiran) yang busuk ini diambil oleh seluruh petinggi IM dan diterapkan di
negerinya masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan Umar At-Tilmisani –Mursyid
Aam (pimpinan umum IM)– di Mesir, Musthafa As-Siba’i di Syria, Hasan At-Turabi
di Sudan, Al-Ghanusyi di Tunis, Fathi Yakan di Lebanon dan Al-Maududi di
Pakistan.” (Tahafutusy Syi’arat, hal. 33) Bagaimanakah sikap IM terhadap
kelompok-kelompok Islam sempalan lainnya? Pembaca, jika sikap mereka
ter-hadap Syi’ah demikian mesranya, bahkan juga sikap mereka terhadap Yahudi dan
Nashrani yang jelas-jelas musuh Allah k dan Rasul-Nya, maka bisa dipastikan
jawabnya adalah: idem. Artinya, toleransi tinggi akan dipersembahkan IM untuk
mereka. Demikianlah “GBHN” al-wala` wal-bara` ala mereka. Masih ingatkah
perkataan Hasan Al-Banna dan Muhammad Al-Ghazali yang telah
lalu?!
Penutup Setelah menelusuri sebagian kecil (saja) perkataan
tokoh-tokoh IM seputar sikap terhadap agama-agama kafir dan para pemeluknya
(Yahudi, Nashrani dan yang lainnya), atau pun sikap terhadap kelompok-kelompok
bid’ah dan sesat, maka sungguh mencolok sekali rapuhnya Al-Wala` wal-Bara` ala
mereka. Padahal Al-Wala` wal-Bara` merupakan tali keimanan terkokoh. Tidak-kah
ini cukup sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal?! Sebagai penutup
simaklah nasehat Syaikh kami Al-’Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad –hafizhahullah–
di bawah ini: “Sudah sepatutnya –bahkan seharusnya– bagi pengikut da’i
tersebut (Hasan Al-Banna, -pen.) untuk tidak merealisasikan perkataannya (slogan
di atas, --pen.) yang berujung pada toleransi terhadap kelompok-kelompok sesat,
bahkan yang paling sesatnya semacam Syi’ah Rafidhah. (Dan) hendaknya
memperhatikan penerapan kaidah ‘Cinta karena Allah k dan benci karena Allah k,
berloyal karena Allah k dan memusuhi karena Allah k’ yang tidak ada ruang
toleransi bagi orang-orang yang menyimpang lagi sesat dalam perkara-perkara yang
menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jamaah.” (Zajrul Mutahawin, hal. 8) Pembaca,
demikianlah sajian kami sebagai bentuk tanggung jawab dan nasehat untuk kaum
muslimin. Semoga hidayah Allah k selalu mengiringi kita semua. Amin.
1
IM didirikan oleh Hasan Al-Banna di kota Ismailiyyah Mesir, pada bulan
Maret/April 1928 (Dzulqa’dah 1327 H). (Lihat Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal.
23)
( Sumber : www.asysyariah.com
) |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar