Bila Kuburan
Diagungkan, Bag-2
Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan
seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan,
perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh,
malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan Prinsip kehidupan
jahiliyah merupakan prinsip yang menyebabkan kerusakan akal dan fitrah manusia.
Oleh karena itu, kaum muslimin harus menjauhi prinsip-prinsip jahiliyah itu dan
berusaha mengembalikan kemerdekaan akalnya, kemudian digunakan untuk berfikir
tentang sesuatu yang bisa mendatangkan mashlahat bagi dirinya di dunia dan di
akhirat. Tentunya semua itu dilakukan dengan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan melepaskan diri dari kungkungan
prinsip-prinsip jahiliyah yang notabene merupakan pembunuh kemerdekaan berfikir
yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada para hamba-Nya.
Pembunuhan kemerdekaan berpikir itu bisa dalam bentuk perbudakan terhadap
sesuatu yang tidak berakal seperti batu, pepohonan, kuburan dan sebagainya.
Akibatnya semua mashlahat hidup dan kemudaratannya harus digantungkan kepada
benda-benda tersebut. Pada kajian ini penulis mengajak untuk melengkapi
pembahasan edisi sebelumnya tentang tema ‘Bila Kuburan Diagungkan’ dan menyelami
bahtera kerusakan fitrah yang diakibatkan oleh hal
tersebut.
Bentuk-bentuk Pemujaan Terhadap Kuburan Bagi sebagian besar
kaum muslimin di zaman sekarang, kuburan telah menjadi salah satu tempat yang
paling sering dan paling banyak mendapat kunjungan. Mereka sering hilir mudik di
kuburan tersebut, tak kalah ramai dengan tempat-tempat rekreasi dan hiburan.
Bahkan terkadang kuburan itu lebih ramai daripada rumah-rumah Allah Subhanahu wa
Ta'ala (masjid). Mereka datang dengan berbagai hajat dan tujuan. Di antara
mereka ada yang ingin lulus dalam ujian sekolah, ada yang ingin berhasil dalam
cocok tanam dan perdagangan, ada yang ingin mencari barakah dan anak keturunan,
dan ada pula yang berniat agar mendapatkan jodoh yang sesuai selera. Di
antara mereka juga ada yang bertujuan untuk memandikan jimat-jimat dan
keris-keris pusaka, ada yang ingin kedudukannya tidak digoyang dan bahkan ada di
antara mereka yang mengucapkan nadzar bila telah berhasil dari sesuatu, akan
keliling makam para wali yang dikunjunginya itu. Ada yang datang untuk
menyucikan diri, bahkan ada yang memang berniat untuk beribadah yaitu hanya
semata-mata ziarah. Sehingga untuk keberlangsungan semua ini, setiap kuburan
yang dianggap keramat dan memiliki kelebihan, dibangun dengan bangunan yang
megah dan mahal yang nilainya melebihi bangunan rumah orang yang meninggal itu
semasa hidupnya. Setelah itu diangkat juru kunci sebagai pemandu setiap
peziarah. Semua ini merupakan perkara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaknat pelakunya
(yakni orang-orang yang suka mengagungkan kuburan). Terkadang beliau menyatakan,
“Demikian besar murka Allah kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi
sebagai masjid.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan mereka agar
mendapatkan murka dari Allah Subhanahu wa Ta'ala karena apa yang mereka perbuat
termasuk perbuatan maksiat. Yang demikian ini terdapat di dalam kitab-kitab
Shahih. Terkadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang (dengan
keras) perbuatan tersebut, terkadang mengutus seseorang untuk menghancurkannya,
terkadang menyebutkan bahwa hal itu termasuk dari perbuatan Yahudi dan Nasrani,
terkadang beliau menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai
berhala.” Terkadang menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai
tempat ied.” Artinya menentukan waktu tertentu untuk berkumpul (di kuburan)
sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para penyembah kubur. (Lihat Syarh
Ash-Shudur Bitahrim Raf’il Qubur hal. 1) Di antara bentuk-bentuk pengagungan
kepada kuburan: a. Membuat bangunan di atasnya Telah dibahas di dalam
majalah ini edisi sebelumnya tentang hukum membangun kuburan, yang pada
kesimpulannya adalah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan untuk meratakannya. Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah dari
Abu Hayyaj Al-Asadi rahimahullah ia berkata:
قاَلَ لِيْ عَلِيُّ بْنُ
أَبِيْ طاَلِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى ماَ بَعَثَنِي
عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ لاَ تَدَعَ تِمْثاَلاً
إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفاً إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Ali bin Abu
Thalib radhiallahu 'anhu berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada
sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku padanya? (Yaitu) jangan kamu membiarkan
patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan
kamu ratakan’.” Demikianlah pengajaran nabawi kepada Ali bin Abu Thalib
radhiallahu 'anhu untuk menghancurkan segala wujud berhala dan segala yang akan
mengantarkan kepadanya dalam rangka mengingkari kemungkaran. Ini menunjukkan
haramnya membangun kuburan.
b. Berdoa padanya Kita telah mengetahui
bahwa doa adalah ibadah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam
sabda beliau dari shahabat Abu Abdullah An-Nu’man bin Basyir radhiallahu
'anhu:
الدُّعاَءُ هُوَ الْعِباَدَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu
Dawud no. 1479 dan At-Tirmidzi no. 2973 dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu
'anhu) Kalau doa itu merupakan sebuah ibadah berarti kita harus
mengamalkannya di atas dua persyaratan. Pertama: Mempersembahkan doa tersebut
hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kedua: Sesuai dengan tuntunan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah berdoa di kuburan telah
memenuhi kedua syarat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui
bentuk-bentuk doa di kuburan.
Berdoa Kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di
Kuburan Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di kuburan merupakan
perbuatan yang banyak dilakukan oleh para pengagung kuburan. Hal ini mereka
lakukan disertai keyakinan tertentu seperti bahwa tempat tersebut memiliki
barakah terlebih kuburan para nabi dan wali. Dan berkeyakinan akan mendatangkan
kekhusyu’an dan cepat untuk terkabulkan. Adanya kepercayaan-kepercayaan seperti
ini telah banyak mengundang kaum muslimin untuk berdoa di sisi kuburan. Tentu
perbuatan ini adalah batil karena menentukan tempat peribadatan yang tidak
pernah ditentukan oleh syariat termasuk dalam sebutan mengada-ada (bid’ah).
Begitu juga para shahabat Nabi tidak pernah melakukan hal demikian di sisi kubur
imam para nabi dan rasul yaitu kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِناَ هَذاَ ماَ لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang
mengada-ada dalam urusan kami yang tidak pernah datang dalam urusan tersebut
maka hal itu tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu
'anha)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ
رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya
dari kami maka ia tertolak.” (HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha) Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَأَتْمَمَتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ
دِيْناً
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan
telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi
kalian.” (Al-Maidah: 3) Al-Imam Malik rahimahullah menyatakan sebagaimana
yang telah dinukilkan oleh Ibnu Majisyun: “Barangsiapa yang mengada-ada di dalam
Islam sebuah kebid’ahan dan dia menganggap hal itu sebagai sebuah kebaikan, maka
sungguh dia telah menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
berkhianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian,” maka
segala sesuatu yang di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan
sebagai agama, pada hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-I’tisham,
1/49) Berbeda dengan berdoa untuk orang yang meninggal, maka perbuatan ini
ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sengaja
Berdoa Kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan Perantara Penghuni
Kuburan Perbuatan ini di dalam agama dinamakan tawassul. Istilah tawassul
adalah istilah yang masyhur di kalangan kaum muslimin dan istilah ini telah
mengindonesia. Tawassul memiliki makna: Mendekatkan diri kepada Allah dengan
segala apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Para ulama telah membagi tawassul
dalam dua bentuk dan kedua bentuk tersebut memiliki bagian-bagian yang
banyak. Pertama: Tawassul yang disyariatkan1 Kedua: Tawassul yang tidak
disyariatkan Tawassul yang disyariatkan jelas nash-nashnya di dalam Al-Quran
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجاَهَدُوا فِيْ سَبِيْلِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah
pada jalan-Nya supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (Al-Maidah:
35)
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلَى رَبِّهِمُ
الْوَسِيْلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ وَيَخاَفُوْنَ عَذاَبَهُ
إِنَّ عَذاَبَ رَبِّكَ كاَنَ مَحْذُوْراً
“Orang-orang yang mereka seru
itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya,
sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang harus ditakuti.” (Al-Isra:
57) Lalu, bertawassul dengan orang yang meninggal termasuk dalam bagian yang
mana? Untuk menjawab pertanyaan ini harus ditinjau dari beberapa
sisi. Pertama: Segala akibat ada sebabnya. Yang menciptakan dan menentukan
sebab akibat adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Menjadikan suatu sebab yang tidak
dijadikan sebab oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam syariat termasuk syirik
kecil. Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai sebab dan perantara yang
akan menyampaikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala termasuk di dalam bab ini.
Berdasarkan sisi ini berarti perbuatan tawasul dengan orang yang telah mati
termasuk dari syirik kecil. Kedua: Jika perbuatan ini benar, niscaya tidak
akan ditinggal oleh para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
kuburan imam para Rasul yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mereka tentu akan berlomba-lomba untuk melakukannya dan tentu akan teriwayatkan
dari mereka setelah itu. Berdasarkan sisi ini jelas bahwa perbuatan ini
diada-adakan, termasuk perkara baru dan merupakan satu kebid’ahan di dalam
agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang
melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka dia tertolak.”
(HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha) (Lihat Kitab At-Tauhid karya
Asy-Syaikh Fauzan, At-Tawassul hukumnya dan pembahasannya dari kumpulan-kumpulan
fatwa Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin) (Jika tawassul itu sampai meminta-minta kepada ahli kubur itu
sendiri, maka ini termasuk syirik besar sebagaimana pembahasan berikut
-red)
Berdoa Kepada Penghuni Kuburan Perbuatan ini termasuk dari
syirik besar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pelakunya mendapat
ancaman-ancaman yang pedih dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَأَنَّ الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ
أَحَداً
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian
berdoa kepada seorangpun bersama Allah.” (Al-Jin: 18) Asy-Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menerangkan ayat ini: “Tidak doa ibadah
ataupun doa masalah (yakni tidak boleh berdoa kepada selain Allah baik doa
ibadah maupun doa masalah), karena masjid-masjid yang merupakan tempat yang
paling mulia untuk beribadah harus dibangun di atas keikhlasan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Ketundukan kepada keagungan-Nya dan tenteram dengan
kemuliaan-Nya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 990) Di antara ancaman-ancaman yang
pedih itu ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ اللهَ لاَ
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشآءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48)
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ ماَّ
كاَنُوا يَعْمَلُوْنَ
“Dan jika mereka menyekutukan Allah niscaya akan
terlepas dari mereka apa-apa yang mereka telah kerjakan.” (Al-An’am:
88) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَقِيَ
اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ
دَخَلَ الناَّرَ
“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dia akan masuk ke dalam jannah dan
barangsiapa berjumpa dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan Allah, dia masuk ke
dalam an-nar.” (HR. Muslim no. 93 dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu
'anhuma)
Ziarah ke Kuburan Ziarah kubur disyariatkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam agar kita bisa
mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Tentunya dengan syarat jangan
sekali-kali dia mengucapkan di sisi kuburan sesuatu yang dimurkai Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ
فَزُوْرُوْهاَ [فَإِنَّهاَ تَذَكَّرُكُمُ اْلآخِرَةَ]2[وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ
خَيْرًا]3[فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا
هُجْرًا]4
“Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah
kubur, maka (sekarang) ziarahlah [karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat]2
[dan akan menambah kebaikan bagi kalian dengan menziarahinya]3 [maka barangsiapa
yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujran’
(ucapan-ucapan batil)]4.” (HR. Muslim dari shahabat Buraidah bin Hushaib
radhiallahu 'anhu) Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya
menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah
yang terkandung padanya dan untuk bisa mengambil pelajaran. Apabila kosong dari
ini maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam,
2/162) Berbicara realita yang terjadi sekarang, sebagian – bahkan tidak
berlebihan jika dikatakan mayoritas – kaum muslimin, telah keluar dari jalur
yang telah ditetapkan oleh syariat dengan beberapa alasan: Pertama:
Menentukan waktu tertentu dan makam tertentu untuk tempat berziarah. Hal ini
tidak mungkin dilakukan melainkan ada keyakinan yang lebih terhadap waktu dan
makam tersebut. Ini dibuktikan dengan hal-hal yang dilakukan di makam tersebut
seperti mencukur rambut anak, memandikan anak, membawa bunga-bunga, berdzikir di
sisi kuburan tersebut, tawassul dengannya bahkan meminta segala bentuk
hajat. Kedua: Mempersiapkan perbekalan yang besar untuk melakukan ziarah
dengan segala aneka ragam makanan dan buah-buahan serta kurban. Ketiga:
Melakukan perkara-perkara yang haram seperti campur baur antara laki-laki dan
perempuan bahkan membawa pasangannya yang tentu saja mengakibatkan hilangnya
hikmah ziarah itu sendiri yaitu mengingat akhirat dan bisa mengambil pelajaran
darinya. (Bahkan ada yang mensyaratkan harus berbuat zina demi terkabulnya
permohonannya -red). Keempat: Dilakukan berbagai macam penyembahan, ada yang
dalam bentuk meminta kepada penghuninya, bernadzar berkurban untuknya dan
sebagainya. Apakah ziarah kubur dianjurkan secara mutlak atau dilarang secara
mutlak? Jawabnya: Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga
bentuk: 1. Ziarah yang disyariatkan Ziarah yang disyariatkan oleh Islam
dan terpenuhi tiga syarat padanya: Pertama: Tidak mengadakan safar
(bepergian) untuk berziarah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ
وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian
bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid:
masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139
dan Muslim no. 415, dan datang dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu
'anhu) Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ
الْقُبُوْرِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا
هُجْرًا
“Dulu kami telah melarang kalian dari menziarahi kubur.
Barangsiapa ingin menziarahi kubur, lakukanlah dan jangan mengucapkan hujran.”
(HR. An-Nasai no. 100 dari shahabat Buraidah radhiallahu 'anhu dan asalnya di
dalam riwayat Muslim). Ibnul Atsir rahimahullah di dalam kitab An-Nihayah
(5/240) mengatakan: “Al-Hujra dengan didhammahkan huruf ha, artinya ‘ucapan
keji’.” Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah
mengatakan: “Lihatlah –semoga Allah merahmatimu– bagaimana Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil
ketika berziarah ke kuburan dan apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan
kebatilannya daripada menyeru (berdo’a) kepada orang-orang yang telah mati dan
meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?” (Al-Qaulul
Mufid, hal. 193) Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena
tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu. 2. Ziarah Bid’ah Ziarah
yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas. 3. Ziarah
Syirik Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa
kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan,
meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan
sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.4 Dari pembagian ketiga jenis ini,
bisa kita ukur dan nilai, masuk kategori mana ziarah yang dilakukan mayoritas
muslimin di makam-makam terkenal di seluruh pelosok tanah air ini. Dan ziarah
ini telah menjadi rutinitas kalangan tertentu meski dengan hajat yang berbeda.
Sehingga tidak ada satu kuburanpun yang terkenal dan memiliki nilai sejarah
dalam kehidupan nenek moyang kecuali setiap waktu dibanjiri oleh para peziarah.
Seakan-akan ia bagai Baitullah Al-Haram di tanah suci Makkah. Dari yang
tingkatan rendah dalam dunia dan agama, hingga yang memiliki kedudukan
tinggi. Akankah semua ini berakhir? Dan di manakah para da’i penyeru kepada
kebenaran? Dari kebenaran mereka jauh dan dari kemungkaran mereka diam. Tentu
masih banyak lagi bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan dan ini adalah
sebagian kecil daripadanya, semoga mewakili yang lain. Dari semuanya ini
tergambar: Pertama: Betapa jauhnya muslimin dari aqidah yang benar. Kedua:
Jauhnya mereka dari syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketiga: Kebutuhan
mereka terhadap tauhid dan dakwah tauhid. Keempat: Jauhnya mereka dari
pemahaman salafush shalih. Wallahu a’lam.
1 Lihat secara ringkas pada
Majalah Asy-Syari’ah edisi 07 hal. 18 kolom 1 2 Tambahan dalam riwayat
Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud 3 Tambahan dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan
An-Nasai 4 Tambahan dalam riwayat Al-Imam An-Nasai 5 Lihat kitab Ahkamul
Janaiz karya Asy-Syaikh Muhammad ibn Nuh Nashiruddin Al-Albani, kitab Al-Qaulul
Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani, Al-Qaulul Mufid
Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin. http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=235
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar