Sejarah Suram Ikhwanul
Muslimin
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan
Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi
tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai gerakan-gerakan
dakwah di berbagai negara. Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas
dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan
Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut
dan simpatisannya, yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran
Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya. Untuk mengetahui lebih dekat hakikat
gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya
gerakan Ikhwanul Muslimin.
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka,
semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf
Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat
mewar-nai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara. Ikhwanul Muslimin,
gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah
gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya
benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian
senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah
sepeninggalnya. Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita
simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul
Muslimin.
Kelahirannya Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun
1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah.
Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah
seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau
adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan
As-Sa’ati.
Pendidikannya Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad
Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta
dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang
pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan
sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan
kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut
meninggalkan madrasah. Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di
Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan
Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perke-nalannya
dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq
Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan
Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga
ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia
berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan
majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan
oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di
antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh
Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun
aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari.
Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi
bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat
‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan.
Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari
nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan
suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam
bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109) Di antara
aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman
se-tarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka tentang kematian dan hisab
(perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan
salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di
dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti. Al-Banna terus
bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada
syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan:
“…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu,
sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.”
Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab
Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid
tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman
dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin
mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul
Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah
Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri
saya wirid dan amalan tarekat itu.” Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok
tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah
Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara
Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini,
nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah
Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam
perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah
itu.” Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun
1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang
diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah
yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka
mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan
salafinya. Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum,
sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan
interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah
seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan. Ia akhirnya
memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat
membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus
dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di
warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada
akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M. Usai pendidikannya
di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun
mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu
pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk
mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi
perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat
berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir
panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan
berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun
dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah
pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin Pada bulan
Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya
mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama
bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu
muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya
meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul
Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya
bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi
yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada
tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam
pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari
Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana
Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris
memanipulasi hasil pemilihan umum.
Wafatnya Pada tahun 1949 M,
Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi
Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak
naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut
dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya.
Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal
menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya. Demikian sejarah
ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin
berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang
digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya
dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang
suram. Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah
sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan
bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri
sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan,
dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai
pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk,
dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang
yang berakidah salafi. Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh
dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas,
buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi n
katakan:
تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا
كَنَهَارِهَا
“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya
seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33) Untuk
melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan
berikutnya.
Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin Sekilas,
dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya.
Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami
nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna
sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya. Pertama: Menggabung
Kelompok-kelompok Bid’ah Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara
mutlak dalam agama:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Semua bid’ah itu
sesat.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002) Kata-kata ini senantiasa Nabi
n ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi n juga katakan:
لَعَنَ
اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً
“Allah melaknati orang yang melindungi bid’ah.”
(HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)
Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits
yang lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah
sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah
dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…”
(Majmu’ah Rasa`il, hal. 122) Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara
al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya
adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin
dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis
yang diimpor dari Barat. Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa:
“Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka
dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada
sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,”
demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal.
405). Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha
Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota
gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus
pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: “Pada tahun empat-puluhan
seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu
Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna)
berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh
tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka
robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh
mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk
masuk dalam permasalahan semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa
Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah
menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama
dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada
perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya
At-Tilmisani, hal. 249-250) Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam
dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah
ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah
menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara-perkara
ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa Malaikat
Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi n–?
Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki Syi’ah, mungkinkah
didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bid’ah
Syi’ah. Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara` Pembaca, tentu anda tahu
bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap
kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam. Abu ‘Utsman
Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya
bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta
menjauhi mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan
diri kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal.
123, no. 175) Tapi prinsip ini menjadi luntur dan benar-benar luntur dalam
manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga
sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran
wihdatul wujud yang menganggap Allah menjadi satu dengan makhluk (lihat
Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda
boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita
dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk
bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat
kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita
dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah
menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun
Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164) Apa yang
pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di
sini:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ
بِبَعْضٍ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85) Ke mana hafalan
Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan
Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi
Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi n. Apakah ini semua tidak
pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam
pandangannya? Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa
sebagian penasehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi,
katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban untuk Islam. Madrasah
ini, yang memimpinnya adalah seorang yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam
pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini
sendiri adalah umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua
manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni
suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke dalam
departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72,
dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4) Padahal Allah k
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ
دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang
di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih
besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118) Ketiga: Tidak Perhatian terhadap
Aqidah Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim
sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah
segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba. Tapi tidak demikian
adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di
atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak beraqidah salaf dalam
mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah
salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi
salaf). Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan
ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan
tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan
sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan makna yang tidak kita
ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’
Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324) Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah
salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah k. Intinya
adalah mengimani nama-nama Allah k dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah k
sebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi n sebutkan dalam hadits yang
shahih. Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota
Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi t, ketika ditanya oleh
seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu?” Dengan
bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: “Naik di atas itu diketahui
maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah wajib. Dan bertanya
tentang itu adalah bid’ah!” Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung
empat hal: 1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat
dan perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya.
Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa
dimengerti. 2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan
seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah k tidak memberi-tahukan perincian
tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain. 3. Iman dengannya
adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi n
mengabarkan dalam haditsnya yang shahih. 4. Dan bertanya tentang itu adalah
bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut
adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa
adanya, karena Allah k tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda
dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat
tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan:
Bagaimana? Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu
dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan
tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan
manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang
menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf
muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yang tidak
diketahui maknanya. Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah
menganggap Nabi n dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui
makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa:
“Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil
‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah
Al-Mufidah, hal. 71) Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan
terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di
sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar
kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan
lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan
tawassul kepada Allah k dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah
perbedaan pendapat yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan
bukan termasuk perkara aqidah.” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal.
270) Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada
dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang
tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa
kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya
dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik
akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai
aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna. Keempat: Menganggap
Sepele Bid’ah dalam Agama Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah
yang Nabi n katakan:
شَرُّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا
“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.”
(HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002) Oleh karenanya, Nabi n
berpesan:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ...
“Dan jauhi
oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu
sesat, dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi) Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin,
sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia
kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti
maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan sebagian bacaannya
mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti
dengan penegasannya: “Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada
ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing
punya pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal.
270) Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba
bandingkan dengan wasiat Nabi n di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka
yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan
saling mamaklumi pada apa yang kita perselisihkan.” Pada prakteknya, mereka
saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani,
apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka. Sedikit penjelasan
terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada
asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu
yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak
terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam
pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan iltizam
(terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam
sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan
jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya. Bid’ah
tarkiyyah, adalah mening-galkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan
niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu.
Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti
yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka.
(lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72) Kelima: Bai’at Bid’ah Bai’at
adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali
dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi n. Dalam sejarah Nabi
dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak
pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim.
Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang
tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal
itu bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal.
165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai
agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari
Hukmul Intima`, hal. 165) Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at,
beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa)
kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini adalah bid’ah, dan merupakan
akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum
muslimin yang berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka
hanya satu dan untuk satu pimpinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan
lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang
hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi
sebelumnya. Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat
shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan
ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan
Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at
kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5.
Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.”
(Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268) Untuk mengkaji kritis secara
tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk
mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas bai’at
yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point
keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua yaitu
periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini adalah
keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan
selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang,
bertanya, segan.” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274) Yakni taat
komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi
n saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat: 1.
Pada perkara yang sesuai syariat. 2. Sebatas kemampuan. (lihat Al-Maurid
Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217) Tahukah pula anda, apa yang
dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam
ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin
bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam
sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas
seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356) Pembaca,
haruskah seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang
sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia
pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila
prinsip-prinsip itu benar? Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban
muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya adalah: “Jangan
berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yang membuat susah
tidur.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud
Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak menyinggung masalah
pembenahan aqidah. Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu
anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan
yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari
Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi n dan kita diperintahkan
menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga,
tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan
tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi
Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap
merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui
prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya
berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati
syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia
(yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat
Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117,
228) Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih
Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu
beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa
Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah
diundi), maka ketika ia sakit kami mera-watnya. Tatkala wafat, aku katakan:
‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib ('Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah
telah memuliakanmu’. Maka Nabi n mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah
telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah.
Demi Allah, saya tidak tahu.’ Maka Nabi n mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi
Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah
perlakukan kepadaku dan kepada kalian’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari) Wahai
saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran....
(
http://asysyariah.com/print.php?id_online=303 )
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar