Bahaya Pemikiran Takfir
Sayid Quthb
Penulis: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis dalam
kertas ini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan
kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan
dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal dan hisab akan
Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas
dengan seadil-adilnya.
Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum
muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan telah
dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau
ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada gerakan,
keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka
mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran Sayid Quthb, mereka
tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. "Seorang pejuang Islam
yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?" Seakan-akan
orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan
bahaya pemikiran.
Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis
dalam kertas ini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah,
bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara
kebaikan dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal dan
hisab akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah
balas dengan seadil-adilnya.
Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh
kaum muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan
telah dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran
beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada gerakan,
keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka
mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran Sayid Quthb, mereka
tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. "Seorang pejuang Islam
yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?" Seakan-akan
orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan
bahaya pemikiran.
Maka untuk Allah 'Azza wa Jalla, kemudian untuk
kebaikan dan keselamatan manhaj kaum muslimin serta untuk kebaikan Sayid Quthb
sendiri yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh
orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosanya, kami akan jelaskan
beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah
pengkafiran kaum muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat
berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayid Quthb, maka
saya memakai kitab Adlwa' Islamiyah 'ala Aqidah Sayid Quthb oleh Syaikh Rabi'
bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan
utamanya.
KERANCUAN PEMAHAMAN SAYID TERHADAP "LA ILAAHA
ILLALLAH"
Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan
keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia
menafsirkan kata ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis
seperti pemikiran Abul A'la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini
dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah
Al-Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang
ulama salaf di India) berkata: "Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat
barat dari buku Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam."
(Adlwa' Islamiyah hal. 59)
Sebagai contoh, kita nukilkan di sini
terjemahan ucapan Sayid dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima'iyah (Keadilan Sosial)
hal. 182 cet. 12: "Sesungguhnya perkara yang menyakinkan dalam Dien ini adalah
bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan
dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah, yaitu laa
hakimiyata illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang
berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan
perintahnya."
Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash:
Huwallahulladzi la ilaha illahuwa. Dia berkata: "Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya
dalam penciptaan dan ikhtiar." (Fi Dhilalil Qur`an 5/2707)
Bahkan lebih
jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas bahwa Al-ilah adalah
al-musta'li, al-mustauli, al-mutasallith. (Fi Dhilal 6/4010) yang semuanya itu
bermakna kurang lebih sama yaitu "Yang Menguasai".
Demikianlah Sayid
mempersempit makna ilah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki
dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu "yang berhak untuk
diibadahi". Penafsiran Sayid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama
Ahlus Sunnah.
Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat
Al-Qashash di atas: "Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang
tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh
diibadahi kecuali Dia." (Tafsir At-Thabari 20/102)
Demikian pula dalam
Tafsir Ibnu Katsir dikatakan: "Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak
ada yang berhak diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang
menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia."
(Tafsir Ibnu Katsir 3/398)
Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami
kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih,
yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung
di dalamnya makna rububiyah dan asma wa sifat. Adapun pemahaman Sayid bahwa
al-ilah adalah al-hakim atau al-musta'li, al-mustauli dan al-mutasallith
(penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti
ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama
salaf?
Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum
telah memahami bahwa tauhid rububiyah –yaitu mengakui bahwa Allah penguasa dan
pencipta— telah diakui oleh sebagian besar orang-orang musyrik
jahiliyah.
Allah berfirman tentang mereka:
قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ
وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ
تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ
شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: 'Kepunyaan
siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan
menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: 'Maka apakah kamu tidak ingat?'
Katakanlah: 'Siapa pemilik langit yang tujuh dan pemilik 'Arsy yang besar?'
Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: 'Maka apakah kamu tidak
bertakwa?' Katakanlah: 'Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (azab)-Nya,
jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah:
'(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?' (Al-Mukminun:
84-89)
Lupakah Sayid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna
kalimat tauhid dengan tauhidul ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah
kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Tuhan
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.' (Al-Anbiya:
25)
Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup
keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan,
kekhusyu'an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud,
ruku', thawaf, doa, istighatsah, isti'anah, serta mencakup puji-pujian lisan
seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh
hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka (menghambakan diri) dan
beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Anehnya Sayid Quthb membawa nama Arab
dan bahasa Arab dalam "pemahaman"nya itu. Dia berkata: "...bahwasanya mereka
(orang-orang Arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa makna ilah
dan makna laa ilaha illallah.… Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah
yang paling tinggi." (Fi Dhilal 2/1005).
Dia juga berkata pada halaman
berikutnya: "Laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab yang
mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu: Tidak ada hakimiyah
kecuali untuk Allah dan tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada
kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah." (Fi
Dhilal 2/1006).
Syaikh Rabi' dalam membantah ucapan ini berkata:
"Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayid kepada bahasa Arab yaitu tentang
makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang Arab dan tidak pula
dikenal oleh pakar-pakar bahasa Arab ataupun selain mereka. Bahkan al-ilah
menurut orang-orang arab adalah al-ma'bud (yang diibadahi) yang para hamba
mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri,
kecintaan dan ketakutan, ... Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum
kepadanya." (hal. 63)
Orang-orang Arab jahiliyah dahulu memiliki
tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka
tidak menamakannya dengan ILAH (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki
berhala-berhala yang mereka namakan ILAH-ILAH. Seperti LATTA yang berbentuk
kuburan. UZZA yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang
mereka bertawasul, berkurban dan beribadah kepadanya, tetapi mereka tidak
menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim, atau
HAKIMIYAH!
Demikian pula di masa mereka terdapat raja-raja di timur dan
di barat, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH.
Ingat! Yang kita
bantah di sini bukan kewajiban bertahkim kepada Allah, melainkan pemahaman
sempit Sayid dengan mengatasnamakan bahasa Arab dan orang-orang Arab. Padahal
sama sekali tidak dikenal dalam bahasa Arab bahwa makna ILAH adalah
HAKIM.
KABURNYA PEMAHAMAN SAYID TERHADAP RUBUBIYAH DAN
ULUHIYAH
Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah.
Terkadang pula sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52:
"Makna al-ilah adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi,
Yang memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan." (Fi
Dhilal 4/2114)
Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyah adalah dalam masalah
rububiyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama ahlus sunnah.
Dia mengatakan: "...perkara uluhiyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian
pada kebanyakan orang-orang jahiliyah, khususnya jahiliyah Arab. Hanya saja yang
selalu menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyah. Yaitu masalah
penerapan Dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi
kehidupan manusia." (Fi Dhilal)
Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayid
tidak dapat membedakan antara uluhiyah dan rububiyah. Kemudian apakah akibat
dari kerancuan pemahaman Sayid terhadap rububiyah dan uluhiyah dan sempitnya
pandangan Sayid terhadap laa ilaha illallah ini?!
PENGKAFIRAN
SAYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN
Akibatnya sungguh mengerikan! Dia
mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat Islam secara tersirat dan tersurat
dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya:
"...termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku
dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke dalam lingkungan ini bukan karena
meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula karena menghadapkan
syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat
jahiliyah ini karena tidak beragama dengan 'peribadatan' kepada Allah dalam
undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian –walaupun mereka tidak
meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah— tetapi mereka telah memberikan yang
paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan ketuhanan kepada selain Allah dan
beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain Allah...." (Fi Dhilal)
Tampak
dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka
adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar ibadah
kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana dijelaskan oleh
Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali bahwa hampir pada semua tulisan Sayid dalam Fi
Dhilalil Qur`an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur,
orang-orang yang melampaui batas terhadap ahlul bait dan para wali, serta
orang-orang yang memberikan sifat uluhiyah dan ubudiyah kepada mereka. Dia tidak
menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyah. Dan
penafsiran Sayid terhadap la ilaha illallah tidak keluar dari HAKIMIYAH,
KEKUASAAN dan KEPEMIMPINAN semata.
Juga ucapan Sayid ketika menafsirkan
surat Yusuf ayat 106:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ
مُشْرِكُونَ
Tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali dalam
keadaan musyrik. (Yusuf: 106)
Setelah Sayid menyebutkan syirik yang samar
dia mengatakan: "Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada
selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syariat
yang dijadikan (oleh manusia) sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam
kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat
kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh
manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk kepada aturan pakaian yang
menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka
aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutup[1]. Urusan seperti
ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan
itu merupakan ketaatan dan ketundukan kepada pemahaman yang umum pada masyarakat
berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara jelas yang muncul dari penguasa
para hamba....
Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa
melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan kepada selain
Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah...." (Fi Dhilal
4/2023)
Dalam ucapan Sayid di atas terdapat dua bahaya besar: Pertama,
pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan,
berpakaian yang menyelisihi syariat dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al-Qur`an
tidak seperti apa yang dikehendaki Allah, khususnya dalam masalah
kesyirikan.
Hal ini terjadi karena Sayid bersikap ghuluw pada masalah
hakimiyah sampai-sampai dia berkata: "Sesungguhnya kesyirikian mereka
(jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tetapi pada masalah hakimiyah." (Fi
Dhilal 3/1492)
Sungguh aneh pemahaman Sayid ini. Bagaimana kira-kira dia
menghukumi raja Najasyi yang masuk Islam dengan keyakinannya dan belum sempat
mempraktekkan hukum-hukum Islam dan belum menerapkan al-hakimiyah di negerinya?
Kalau menurut pemahaman Sayid berarti dia tetap kafir karena –menurutnya—
kesyirikan yang hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan
keyakinan!
Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika
mendengar Raja Najasyi meninggal:
قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ
مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ. (رواه البخاري)
Telah
meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari!
Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)
Bagaimana
pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini
aqidah tauhid dan beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan
menganggap dia sebagai muslim?!
ANGGAPAN SAYID BAHWA UMAT ISLAM
TELAH LENYAP
Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid Quthb tidak
menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat Islam telah
lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya
Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok): "Kami mengajak untuk
mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan hukum
aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat
Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam
seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan
Islam pun telah berhenti...."
Tenanglah sebentar! Jangan tergesa-gesa
menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayid akan berkata lebih jelas
lagi, yaitu: "...kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan
menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang
masih tetap menginginkan untuk menjadi muslimin."
Lihatlah dia menyebut
kaum muslimin dengan ungkapan: "Orang-orang yang ingin menjadi
muslimin!"
Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya
Al-Adalah Al-Ijtima'iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah:
"Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan bumi hari ini, di bawah cahaya
ketetapan ilahi terhadap pemahaman Dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaan
Dien ini.... Sesungguhnya keberadaan Dien telah lenyap sejak kelompok terakhir
dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan
manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syariat
Allah semata dalam segala aspek kehidupan.
Kita harus mengakui kenyataan
pahit ini dan harus menampakkannya. Janganlah kita khawatir munculnya "putus
harapan" dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi
muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi
muslimin.
Sesungguhnya musuh-musuh Dien ini telah menjalankan usaha sejak
beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan
jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi muslimin?"
(Al-Adalah hal. 183-184)
Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayid yang
berbahaya di antaranya anggapan beliau bahwa:
1. Kehidupan Islam telah
tiada.
2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.
3. Anggapan bahwa
kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan
Islam.
4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.
5. Dia
mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat
Islam.
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayid
Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak
dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki
pandangan!
UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH
KERAS DARIPADA ORANG KAFIR LAINNYA
Sayid Quthb berkata: "Telah bergeser
jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya Dien ini kepada manusia
(yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada
hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari la
ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di
menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti
apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak
pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal
ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh
pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun oleh masyarakat...." (Fi Dhilal
2/1057)
Bahkan lebih kejam lagi dia berkata: "...yaitu kemanusiaan
seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara
adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat laa ilaha illallah tanpa maksud
dan tanpa kenyataan....
Mereka paling berat dosanya dan paling keras
adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas
baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam Dien Allah." (Fi
Dhilal 2/1057)
Lihatlah betapa beraninya Sayid mengkafirkan kaum muslimin
dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal
mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia
tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?
MASJID MENURUT SAYID
ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH
Bertolak dari pengkafiran dia
terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap masjid-masjid mereka sebagai
tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah
dalam surat Yunus:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ
لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan
saudaranya: 'Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal
bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan
dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.
(Yunus: 87)
Dia berkata: "...inilah pengalaman yang Allah tunjukkan
kepada kelompok mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi
ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman
mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah,
karena fitnah telah merata, thaghut telah bertambah sombong dan manusia telah
rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir'aun
pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara:
1.
Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya dan kejelekannya
sebisa mungkin. Dan mengumpulkan "kelompok mukmin" yang baik dan bersih dirinya
untuk mensucikan, membersihkan dan melatih serta menyusun mereka hingga datang
janji Allah untuk mereka.
2. Menghindari tempat-tempat peribadatan
jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah "kelompok muslim" sebagai masjid yang di
sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah.
Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara
yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan
(tandhim) dalam lingkungan suasana ibadah yang suci." (Fi Dhilal
3/1816)
Apa yang terjadi kalau dakwah Sayid yang seperti ini
dibiarkan?!
Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan
ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang
memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa
yang dimaksud "kelompok mukmin", "kelompok muslim" dalam masyarakat jahiliyah
ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang
telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang
yang mengikuti pemikirannya.
JALAN KELUAR MENURUT
SAYID
Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah
kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan
jahiliyah....
Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan
keluar bagi yang ingin menjadi "kelompok muslim"? Dengarlah apa kata Sayid Quthb
berkenaan dengan pertanyaan ini: "Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi
'kelompok muslim' di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:
...
أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ...
...atau
Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan
merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.... (Al-An'am:
65)
kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip
hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga
Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka
berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan dengan seluruh
perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa
yang di sekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah
jahiliyah dan masyarakat jahiliyah...." (Fi Dhilal 2/1125)
Inilah jalan
keluar menurut Sayid, yaitu dengan menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan
diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Tidakkah Sayid
melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulamanya di jazirah Arab, Yaman, India atau
yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan
ajaran Islam? Bahkan apakah Sayid tidak melihat di sampingnya seorang ulama yang
berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib
rahimahullah?!
PEMIKIRAN TAKFIR SAYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN
SENDIRI
Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin
dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin
sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka:
1. Berkata Yusuf
Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:
"Dalam fase
ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase terakhir dari
pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah sampai kepada
keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya. Menghidupkan
ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat,
memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh
manusia...." (Awlawiyat hal. 110)
2. Berkata Farid Abdul Khaliq, salah
seorang tokoh besar Ikhwan dalam kitabnya Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq hal.
115: "Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir
(pengkafiran) di kalangan beberapa ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir
tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayid Quthb
dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat
ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah
yang merasa asing dengan hakimiyah Allah karena tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal
itu."
3. Berkata Ali Gharisah –juga salah seorang tokoh besar Ikhwan—
sebagai berikut:
"Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari
kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara...
bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok
Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran
pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok
tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing
mengkafirkan yang lain...." (Lihat kembali kitab beliau Al-Ittijahat Al-Fikriyah
Al-Mu'ashirah hal. 279)
Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa
pemikiran takfir Sayid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja
ketika bantahan itu dari "kawan" satu harakah, selalu diiringi basa-basi atau
penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan
besar. Seperti Qardlawi setelah ucapan di atas dia berkata: "...Dan buku-buku
beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang
besar di samping pengaruh-pengaruh negatif." (hal. 110)
Atau seperti
ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jamaah apa,
dia hanya mengatakan "kelompok kecil" dan "kelompok
besar".
Saudara-saudaraku kaum muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan
penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah
karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan Hizibnya dengan
prinsip mereka yang terkenal: KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA
SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA.
Kalau begitu
bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah,
salafiyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?
SIKAP
SAYID TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN radliallahu 'anhu
Ikhwani fiddien
a'azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan permasalahan
sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa sungguh sangat
berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi
Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa
shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek
makhluk?
Pemikiran Sayid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan
tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan
Khawarij dan Syiah, khususnya terhadap Utsman bin Affan dan Muawiyah radliallahu
'anhuma.
Sayid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah Utsman
radliallahu 'anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata:
"Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu 'anhu adalah
kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan Umar, pent).
Adapun masa Utsman merupakan celah antara keduanya." (Al-Adalah, hal. 206).
Mengapa?
Hal ini setelah Sayid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang
Utsman sebagai berikut: "Sesungguhnya di antara kejelekan yang muncul adalah
bahwa Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya
dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu
daya Bani Umayah di dalamnya." (Al-Adalah dalam terjemahan terbitan pustaka hal.
270)
Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada
Utsman, yaitu setelah Sayid menyebutkan cerita-cerita tentang Utsman yang
membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah
menceritakan bahwa Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya
sendiri, seperti Muawiyah dan Al-Hakam radliallahu 'anhum...dst. Kemudian dia
berkata: "...Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dari ruh
Islam ini. Maka mereka saling memanggil untuk menyelamatkan Islam dan
menyelamatkan khalifah dari bencana ini. Khalifah –dengan ketuaan dan
kepikunannya— tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat
susah meragukan ruh Islam di dalam hati Utsman. Tetapi juga sangat sulit
memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah
dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran
orang-orang jelek dari Bani Umayah...." (Al-Adalah hal. 187, cet kelima dan
secara makna pada cet. ke 12 hal 159, dan dalam terjemahan PUSTAKA hal.
272)
Sebaliknya Sayid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak
yang membunuh Utsman. Dia berkata: "...akhirnya, terjadilah pemberontakan atas
Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan.
Tetapi bagi yang memandang perkara ini dengan "kaca mata Islam" dan merasakan
urusan ini dengan ruh Islam, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan
tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ruh Islam dan arahannya daripada
sikap Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di
belakangnya dari Bani Umayyah." (Al-Adalah hal. 189 cet. ke 5 dan hal. 161, 162
cet. ke 12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya pada cetakan
terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba' dan
dalam terjemahan, hal. 275)[2]
Seharusnya dia mengucapkan: "Barangsiapa
memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya...." Karena
kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Dan saya
(penulis) sudah menulis pada edisi ke-4 tentang pembelaan terhadap Utsman dan
sekaligus pembelaan para shahabat terhadap Utsman. Silahkan simak kembali
tulisan tersebut. Adapun pandangan Sayid adalah pandangan Khawarij, Syiah dan
Ahli Bid'ah!
Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari
penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta
menghilangkan sikap fanatik mereka kepadanya. Amin.
Sumber:
SALAFY edisi
XVI/Dzulhijjah/1417/1997
--------------------------------------------------------------------------------
[1]
Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya yang mengikuti kebiasaan orang-orang
kafir barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan
berdasi?
[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman)
Bandung dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua
apa yang kami nukil di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang
sedikit berbeda terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama.
Wallahu
A'lam.
|
|
| |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar